Jumat, Maret 29, 2024

Buya Syafii tentang Filsafat Matahari

Muhammad Ridha Basri
Muhammad Ridha Basri
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Studi Al-Quran dan Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Dari Buya Syafii Maarif kita sering mendengar tentang filsafat garam. Makna filosofi garam adalah tentang pentingnya mengutamakan substansi dan kedalaman isi. Garam tidak terlihat, tetapi asinnya terasa dalam makanan. Seperti kata Cicero, “esse quam videri”, bahwa yang diutamakan adalah menjadi sesuatu, meski tidak terlihat. Berbeda dengan gincu yang berwarna mencolok, tetapi tidak mengubah apa-apa. Perumpaan ini kerap dituju bagi umat beragama yang menghabiskan energi untuk memperjuangkan simbol agama, tetapi melupakan esensi di balik nilai etik agama.

Kali ini, saya mendengar filosofi lain yang juga punya kedalaman makna. Buya Syafii mengajukan filsafat matahari. Di hari Rabu, 20 Oktober 2021, saya dan Erik Tauvani makan siang di rumah Buya Syafii sembari ngobrol tentang berbagai tema. Kami saling berbagi pandangan dan bercerita tentang banyak hal, mulai tentang perbandingan makanan Jawa dan makanan Sumatera, uneg-uneg Buya tentang para sahabatnya, tentang kondisi umat dan bangsa yang carut marut, hingga tentang Fazlur Rahman dan tema pembaruan pemikiran Islam yang menggelinding kembali.

“Kita perlu pakai filsafat matahari. Matahari itu kan tahu kapan naik dan turun,” kata Buya ketika menceritakan tentang tokoh-tokoh negarawan. Menurutnya, semua negarawan semestinya mengerti hukum alam itu, dan hidup selaras dengannya. Bagi mereka yang terlalu berambisi untuk hal-hal yang tidak semestinya, Buya mengatakan bahwa matahari tidak bisa dilawan. “Manusia tidak semestinya berambisi memadamkan matahari.”

Saya menemukan korelasi filsafat matahari ini pada kehidupan nyata. Ada banyak tokoh yang di masa mudanya telah berkiprah luar biasa, tetapi kemudian menjadi tidak punya pegangan di masa tua. Di usia yang semestinya semakin bijak, ada tokoh yang berbalik arah menjadi tidak karuan, hidup dalam kondisi jiwa terombang-ambing, tanpa pegangan batin. Seperti gejala panik megalomania. Kehilangan teman, dan bahkan kehilangan dirinya sendiri. Kehilangan nilai yang dulu diperjuangkannya. Mereka tidak kuat melihat absurditas hidup yang jauh dari realita ideal menurut pandangan mereka, sementara kekuatannya sudah tidak seperti di usia muda.

Buya Syafii menjelaskan bahwa penting bagi manusia untuk tahu momentum seperti matahari. Buya sering merasa hidupnya terlambat sadar. Tetapi sebenarnya Buya punya kesadaran itu. Kata WS Rendra, “kesadaran adalah matahari.” Betapa pentingnya sikap eling. Tahu kapan harus berada di depan, kapan harus berada di samping, kapan harus mendorong dari belakang, kapan haru merangkul, kapan harus bicara, kapan harus mendengar. Seperti matahari, Buya Syafii berusaha memerankan diri sesuai dengan siklus yang semestinya. Matahari tidak naik ketika saatnya turun. Tidak juga redup dan sembunyi ketika saatnya sedang berada di siang terik.

Kita tentu merindukan pemimpin yang seperti itu, punya daya lentur dan kesadaran reflektif yang mumpuni. Ia tahu kapan harus memimpin dengan tegas, kapan dan bagaimana harus menginjak gas dan rem, kapan dan bagaimana harus menekan klakson peringatan, kapan dan bagaimana harus menyalakan lampu penerang, kapan harus menyerahkan kemudi ke orang lain, kapan harus berhenti untuk mengisi bahan bakar. Pemimpin yang punya kesadaran ini dikenal sebagai orang-orang besar sepanjang sejarah.

Dalam sejarah Amerika Serikat, ada nama George Washington. Presiden pertama yang dikenang sebagai bapak pendiri Amerika. Mulanya adalah seorang petani di Virginia. Karirnya bermula di dunia militer yang memimpin bala tentara melawan penjajahan Britania Raya. Meskipun bukan ahli strategi militer, ia mampu menyatukan pasukan dan dikenang sebagai jenderal yang baik. Ketika perang usai pada 1783, Washington merasa telah selesai menunaikan tugasnya, ia segera mengembalikan mandat dan berniat kembali menjadi petani. Namun pada 1787, Konvensi Konstitusi memanggilnya untuk merancang konstitusi baru. Pada 1789, kongres sepakat bahwa hanya ia yang paling memenuhi syarat dan memintanya menjadi presiden pertama. Washington mulanya menolak, tetapi panggilan untuk mengabdi tidak dapat dihindari. Ia menjadi presiden yang penuh dedikasi. Di kemudian hari, Washington buru-buru mengumumkan penolakan jabatan presiden untuk ketiga kalinya.

Washington adalah “orang biasa”, tetapi punya kebesaran jiwa sebagai negarawan dan bapak bangsa. Seorang sejarawan, Page Smith dalam buku A New Age Now Begins menyebut bahwa kebesaran Washington terletak terutama bukan pada apa yang telah dilakukannya, melainkan pada apa yang tidak dilakukannya. Tidak melakukan atau tidak menjadi sesuatu, terkadang adalah suatu perilaku mulia. Sikap pengekangan atau pengendalian diri justru itulah yang menjadikan Washington menjadi tokoh besar. Pilihannya hanya menjabat dua periode menjadi standar bagi sistem demokrasi negara bangsa modern.

Dalam sepakbola, terdapat aturan offside, garis henti. Gol yang tercipta ketika pemain di posisi offside, tidak pernah dihitung sebagai gol. Menahan diri selalu menjadi hal yang tidak mudah di depan kekuasaan yang sangat menggoda. Orang begitu terobsesi untuk berkuasa selama-lamanya waktu yang bisa dilakukan. Orang begitu ingin berada di puncak dan dipuja sepanjang waktu. Sedikit sekali pemimpin yang punya kewaspadaan. Banyak orang begitu ingin selalu naik ke podium dan menceramahi orang lain. Sampai kadang lupa bahwa waktunya sudah menjelang isya, dan ia belum melaksanakan satu poin pun dari isi ceramahnya.

Buya Syafii juga sering menyebut istilah tentang karakter orang yang tidak ingin ada matahari kembar. Orang-orang seperti ini hanya ingin dirinya saja yang terang, sementara sinar lain akan dipadamkan. Orang-orang yang berkuasa terkadang juga berusaha keras untuk membentangkan tirai pada matahari. Kekuasaan ingin dijalankan dengan rahasia. Tetapi sekali lagi, cahaya matahari akan menembus celah jeruji. Sebab, seperti kata Artur Conan Doyle, tidak ada yang baru di bawah matahari. Perilaku orang-orang hari ini adalah modifikasi dan kelanjutan dari orang-orang di masa sebelumnya.

Begitulah makna filsafat matahari, yang sering dijadikan lambang negara, organisasi, hingga partai politik. Buya Syafii sadar tentang pentingnya berguru pada matahari. Terutama tentang gerak matahari. Buya tahu kapan harus menolak jabatan, semisal ketika beberapa tokoh memintanya memimpin suatu partai. Buya merasa bukan tempatnya untuk berada di partai politik, tetapi mendukung orang-orang di posisi itu dan menjaga silaturahim dengan partai-partai politik.

Meski tidak menjabat, bukan berarti Buya tidak berbuat. Buya Syafii sangat paham dengan ungkapan terkenal yang pernah juga dikutip oleh Budiman Tanuredjo, “urip kuwi migunani tumparing liyan.” Bahwa hidup manusia itu diupayakan untuk berguna bagi orang lain, bukan (hanya) bagi keluarga dan kelompoknya. Dengan pengendalian dirinya, Buya mampu hidup menyelarasi gerak matahari dan siklusnya yang dinamis.

Semoga penulis dan pembaca dapat belajar dari kebesaran matahari dan tidak terjerembab dalam lubang hitam. Wallahu a’lam.

Muhammad Ridha Basri
Muhammad Ridha Basri
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Studi Al-Quran dan Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.