Tidak hanya Muhammadiyah, tetapi juga bangsa ini telah kehilangan salah satu putera terbaiknya, Prof. Abdul Malik Fadjar. Tepat pada tanggal 7 September 2020, beliau menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Mayapada, Kuningan, Jakarta pukul 19.00 WIB.
Tentu, banyak yang menyampaikan doa dan ungkapan belasungkawa atas kepulangan tokoh Muhammadiyah dan juga menteri pada masanya ini, termasuk dua tokoh bangsa, yakni Buya Syafii dan Buya Azra.
Sosok Harfiah Malik Fadjar
Abdul Malik Fadjar, itulah nama yang diberikan orang tuanya kepada putera keempat dari tujuh bersauadara ini. Malik Fadjar lahir di Yogyakarta pada tanggal 22 Februari tahun 1939. Beliau adalah putera dari seorang ayah yang bernama Fadjar Martodihardjo dan lahir dari rahim seorang ibu yang bernama Hj. Salamah Fadjar.
Barang tentu, kepribadian Malik Fadjar tak lepas dari peran serta pengaruh orang tuanya. Terdapat beberapa hal yang diwarisi Malik dari ayahnya, yaitu kesederhanaan, komitmen pendidikan, dan kepedulian terhadap sanak saudara. Sedangkan ibunya yang juga keturunan ningrat, banyak mempengaruhi Malik dari aspek tata krama dan sopan santun.
Di sisi lain, Malik sempat putus dari bangku sekolah. Namun, akhirnya beliau bisa kembali mengenyam pendidikan dengan masuk di Sekolah Rakyat (SD) Pangenan Mertoyudan, Magelang pada tahun 1947-1953. Setamat dari sekolah tersebut, beliau melanjutkan pendidikannya ke Pendidikan Guru Agama Petama Negeri (PGAPN) dan Pendidikan Guru Agama Atas Negeri (PGAAN) Yogyakarta.
Sejak di bangku sekolah, Malik aktif di berbagai organisasi. Selain aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII), beliau juga aktif di organisasi kepanduan Hizbul Wathan sekaligus telah meniti sebagian sejarah hidup ayahnya. Setelah lulus dari PGAA, Malik memulai babak baru dalam kehidupannya. Beliau ditugaskan menjadi guru di desa terpencil, yakni di desa Taliwang, Sumbawa Besar, NTB.
Selepas itu, dengan mewarisi sikap komitmen terhadap pendidikan dari ayahnya tersebut, Malik kemudian melanjutkan studinya di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang (sekarang UIN Malang) dan meraih gelar sarjananya pada tahun 1972.
Beliau sempat diangkat sebagai pengajar dan sekretaris Fakultas di almamaternya. Namun, pengabdiannya sebagai sekretaris tak berlangsung lama. Hal tersebut dikarenakan beliau memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya di Florida State University di Department Of Educational Research, Development, and Foundation, Amerika Serikat dan memperleh gelar Master of Science pada 1981.
Sepulangnya dari Amerika Serikat, beliau diangkat menjadi Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tahun 1982. Tak berselang lama, Malik Fadjar pun diangkat menjadi Rektor UMM (1983-2000) sekaligus menjadi jabatan yang paling lama disandangnya. Tatkala masih menjabat sebagai rektor di UMM, beliau juga diminta untuk merangkap menjadi rektor di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mulai dari tahun 1993 sampai dengan 1996.
Kecapakan Malik Fadjar dalam mensinergikan head (rasio), heart (hati), dan hand (tangan) telah membuahkan banyak hasil, lebih-lebih bagi dua universitas yang dipimpinnya di atas. Berkat sentuhan tangan midasnya, citra universitas tersebut menjadi lebih baik dan tak dipandang sebelah mata lagi.
Peran, kontribusi, dan kepakaran Malik Fadjar dalam bidang pendidikan jelas tak diragukan lagi. Hal ini terbukti dengan dikukuhkannya beliau sebagai guru besar di IAIN Sunan Ampel pada Fakultas Tarbiyah tahun 1995. Selain itu, beliau juga mendapatkan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dari Fakultas Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Di luar jabatan kampus, Malik Fadjar pernah menjadi Menteri Agama pada masa kepemimpinan BJ. Habibie tahun 1998-1999. Sempat pula menjadi menterinya para guru alias Menteri Pendidikan Nasional dalam Kabinet Gotong Royong (2001-2004) dan merangkap sebagai Menko Kesra ad interim di tahun 2004 selama kurang lebih satu semester.
Di samping itu, beliau juga dipercaya sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Presidan pada era pertama kepemimpinan Joko Widodo dan sekaligus juga sebagai pengurus di PP Muhammadiyah (2000-2015).
Malik Fadjar dan Warisan yang Ditinggalkan
Kepulangan Prof. Malik Fadjar ke pangkuan Sang Ilahi tak hanya menjadi duka bagi warga atau kalangan Persyarikatan belaka, namun juga bagi umat, dan seluruh warga bangsa. Kontribusi dan perjuangannya terhadap dunia pendidikan mesti harus dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya.
Barang tentu, peran beliau sangat besar dalam reformasi dan moderniasai pendidikan di Indonesia dan hal tersebut merupakan suatu warisan (legacy) yang penting untuk kemajuan Indonesia, utamanya dalam bidang pendidikan. Hal ini sebagaimana pesan yang disampaikan oleh Buya Azra, “Sebagai Menag, Mendikbud, Menko Kesra, dan anggota Wantimpres, Prof. Malik berperan besar dalam reformasi dan modernisasi pendidikan Indonesia—legacy sangat penting untuk kemajuan Indonesia. Kita sungguh kehilangan guru bangsa ini… Insya Allah almarhum husnul khatimah.”
Di sisi lain, ungkapan belasungkawa juga disampaikan oleh Buya Syafii Maarif yang sebenarnya telah menyiapkan sebuah video testimoni untuk usia Prof. Malik yang ke-81. Dalam video tersebut, Buya mengatakan bahwa jasa Prof. Malik demikian besar, bukan saja kepada Muhammadiyah, tetapi juga kepada bangsa ini. Namun, perihal usia tak satu pun orang bisa menebaknya, bukan? Akhirnya ungkapan sukacita yang telah disiapkan itu pun dengan berat hati direvisi menjadi ungkapan dukacita.
Buya Syafii menuliskan, “Ya, Allah, baru kemaren saya membuat video testimoni untuk usianya yg ke-81. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi w’afu ‘anhu. Semoga beliau Prof. DR. A. Malik Fadjar mendapatkan husnul khatimah di ujung hayatnya.”
Prof. Malik Fadjar telah memberikan, mencurahkan, dan mengabdikan sebagian besar hidupnya dan berjuang demi kemajuan pendidikan Indonesia. Kini, Prof. Malik berpulang dan kebetulan bertepatan dengan tanggal wafatnya salah seorang pejuang HAM, Munir Said Thalib pada 16 tahun silam. Selamat Jalan Prof, selamat jalan pejuang!