Faithful patriotisme
Meskipun Indonesia telah merdeka dari tanggal 17 Agustus 1945, dengan Pancasila, Undang-Undang dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Eka sebagai kesepakatan bersama (kalimah sawa’) dan perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalidza) untuk membangun negara bangsa baru, namun pencoretan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” dari Piagam Jakarta masih mengganggu dan menjadi batu kerikil dalam perjalanan bangsa yang masih sangat muda. Bayang-bayang debat konstituante yang tidak sampai mencapai titik temu dan diikuti dengan Dekrit Presiden untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 pada 1959 masih terasa menggelayut dalam benak dan hati sanubari sebagian kelompok umat Islam Indonesia.
Tidak terkecuali Buya Syafii Maarif muda. Darah muda Buya pasti mengalir simpati dengan perjuangan Masyumi yang ingin mendirikan Negara Islam. Terlebih lagi mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Namun, mengingat kesepakatan agung untuk mendirikan negara bangsa oleh tokoh-tokoh pendiri bangsa juga tidak dapat dikesampingkan begitu saja, maka dilemma tersebut terus membayang-bayangi perjalanan hidup di usia muda Buya. Dalam situasi goncangan hebat dan pergulatan luar biasa seperti itulah Buya akhirnya memutuskan untuk melanjutkan studi magister di Ohio[20] dan doktoral di Chicago, Amerika Serikat, untuk memperdalam studi tentang pemikiran Islam.[21] Di bawah asuhan, bimbingan dan pergulatan dengan Fazlur Rahman, cara berpikir Buya lebih terstuktur dan sistematis dalam menghadapi berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam dan bangsa Indonesia dalam komparasinya dengan bangsa-bangsa lain yang mayoritas beragama Islam seperti Malaysia, Pakistan, Mesir, Turki, Saudi Arabia dan banyak yang lain. Sekembali dari Chicago terjadi proses perubahan atau transformasi diri (self transformation) yang luar biasa pada diri Buya yang jarang dapat dilakukan oleh yang lain.
Dalam perjalanan panjang pergumulan pemikiran kebangsaan, kenegaraan, keislaman dan keindonesiaan, Buya berkesimpulan bahwa kitab al-Qur’an tidak membicarakan sama sekali bentuk formal kelembagaan negara. Tidak ada penyebutan negara Islam secara eksplisit dalam al-Qur’an. Yang ada hanyalah pesan bahwa tata kelola negara harus berdasarkan keadilan dan etika yang prima. Berikut pendapat Buya:
“In retrospect, the Qur’an does not appear interested in any specific theory of state to be followed by the Muslim umma. The primary concern of the Qur’an is that the society be based on justice and morality. It is on Qur’anic ethical values that the Islamic political edifice should be based. Since the Qur’an does not lay down any specific form of state, the model and structure of Islamic polity is [sic] not immutable; it is always subject to change, modification, and improvement according to the requirements of the time and the need of Muslims.”[22]
Sekali lagi bahkan terus meneruskan diulangi bahwa al-Qur’an lebih menggarisbawahi etika, dan bukannya pada bentuk formal kelembagaan negara. Oleh karenanya Buya tetap tidak setuju untuk menjadikan Islam sebagai landasan dasar politik untuk mendirikan negara Islam, bahkan disebut bahwa hal itu menunjukkan sebagai kemalasan berpikir (intellectual laziness).[23] Mengomentari kegagalan sidang konstituante untuk mencapai kesepakatan, ditulis sebagai berikut:
“By repeating the confession that the Qur’an maintained is the last Word of God but without trying seriously to comprehend its message intelligently and formulate it in a unity of logic is not, in effect, different from ignoring the Holy Book and putting it in the limbo of history. This is what actually happen in the history of Islam for centuries. If the Muslim really grasps what we mean, he will be definitely circumspect in using the term “an Islamic state” or “a state based on Islam” as proposed by the Muslim leaders in the Constituent Assembly of Indonesia”. [24]
Keyakinan ini yang Buya pegang kuat sampai akhir hayatnya. Sekembali tiga pendekar dari Chicago – menggunakan istilah yang digunakan Gus Dur – yaitu Nurcholish Madjid, Ahmad Syafii Maarif dan M. Amien Rais, sejak akhir tahun 1980 hingga tahun 2000 tidak begitu muncul lagi wacana keinginan sebagian kelompok Muslim untuk mendirikan negara Islam, apalagi yang diekspresikan dengan cara keras bersenjata. Ketiga pendekar dan ditambah Abdurrahman Wahid sendiri sangat berkeyakinan bahwa Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebhineka Tunggal Eka-an adalah pedoman hidup manusia Indonesia dalam hidup berbangsa dan bernegara di tanah air Indonesia. Riak-riak riyuh dan sayup-sayup suara untuk mendirikan negara Islam mulai terdengar lagi dengan nama lain, yaitu Khilafah atau NKRI bersyariah muncul belakangan setelah bertemunya gerakan tuntutan demokrasi paska reformasi tahun 1998 dan gerakan transnasionalisme dari Timur Tengah sejak tahun 2000an ke atas. Buya Syafii Maarif bersama KH Hasyim Muzadi dari Nahdhatul Ulama secara bersama-sama menolak usulan untuk memasukkan kembali ke tujuh kata ke Pasal 29 UUD yang mengemuka kembali pasca-Orde Baru.[25]
Pasca reformasi tahun 1998, setelah lengsernya pemerintahan Orde Baru beralih ke Orde Reformasi, angin demokrasi bertiup keras di bumi Indonesia. Tiupan angin tersebut juga menerpa persyarikatan Muhammadiyah. Tantangan sebagai pemimpin persyarikatan Muhammadiyah (1995-2000) dan tantangan sebagai intelektual publik semakin bertambah. Pertama, di lingkungan internal persyarikitan Muhammadiyah. Seperti diketahui bahwa Ketua PP Muhammadiyah Prof. Dr. Amien Rais mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) 28 Agustus 1998 dan secara otomatis mengundurkan diri dari Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dengan mundurnya Amien Rais, maka Buya Syafii Maarif menjadi Ketua PP Muhammadiyah (1998-2000). Euforia berpartai, terutama PAN, berimbas sangat kuat mewarnai perjalanan Muhammadiyah dari tingkat pusat hingga daerah dan ranting di seluruh Indonesia. Dengan penuh liku dan kesabaran tinggi, singkat ceritera, Buya Syafii berhasil menjaga Muhammadiyah dari keterjebakannya dalam kepentingan partai politik.[26]
Kedua, di lingkungan umat Islam Indonesia. Gerakan menyuarakan tuntutan untuk mendirikan negara berdasar “khilafah” bermunculan. Diikuti munculnya perda-perda Syari’ah di berbagai daerah. Para pengamat menyebutnya sebagai “conservative turn” melanda bumi Nusantara.[27] Puncaknya terjadi pada tahun 2016-2017, unjuk rasa besar-besaran yang digerakkan oleh gerakan Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI (GNPF-MUI), Aksi Bela Islam, yang menuntut Basuki Cahaya Purnama (Ahok) dihukum dan dipenjara dengan dalih menodai agama Islam. Di tengah badai tuntutan seperti itu, Buya tetap konsisten dengan pendapatnya bahwa Ahok tidak bersalah, tidak menodai agama. Hanya mulutnya memang liar. Di hukum 400 tahun pun tidak cukup.[28]
Buya total berseberangan dengan arus besar yang secara bergelombang berhembus di tanah air. Buya tetap konsisten mencium ada aroma ketidaksukaan dan membenci orang yang lain yang berbeda (karahiyyatu al-ghair) dan bahkan menolak keberadaaan orang atau kelompok lain yang berbeda (rafdhu al-ghair). Lagi-lagi hal-hal seperti itulah yang dianggap Buya sebagai sikap, pandangan dan pendapat picik yang tidak selaras dengan tuntutan ajaran dan moralitas al-Qur’an. Apalagi jika dilihat dari perspektif hukum dan Undang-Undang Dasar Negara Bangsa yang menegaskan kesamaan di depan hukum (equality before law) dengan berbagai hak dan kewajiban yang melekat sebagai warga negara. Biarpun sendirian, Buya teguh memegang prinsip etika al-Qur’an, apapun resiko yang dihadapi. Buya bagaikan karang kuat di tengah laut yang betubi-tubi diterjang ombak besar, tapi tidak tumbang dan terseret arus ombak besar yang menuju ke arah sebaliknya, yaitu ke arah sikap, pandangan dan pendapat yang tidak Qur’anic. Mantra “Berdialog dengan al-Qur’an” tetap Buya pegang teguh apapun kata dan cemooh orang dan kelompok terhadap sikap tersebut.[29]
Pendirian dan sikap teguh, konsisten, istiqamah dalam beragama Islam dan bersikap adil terhadap sesama warga negara tanpa memandang agama, kepercayaan, ras, suku, etnis, golongan, madzhab, organisasi seperti itulah yang saya sebut sebagai faithful patriotism. Buya Syafii Maarif adalah sosok Muslim yang sangat patriotik, yang secara teguh dan konsisten berpegang teguh pada ajaran agamanya, dalam hal ini adalah al-Qur’an tentang ketaqwaaan dan keadilan sebagai inti dasarnya (faithful), namun dalam kesempatan yang sama Buya juga tetap konsisten membela dengan gigih hak-hak penuh kewargaan (al-muwathanah) warga negara dalam hidup berbangsa dan bernegara (patriotism). 100 persen beragama Islam, dan 100 persen menghargai dan menghormati hak dan martabat kemanusiaan (al-karamah al-insaniyyah) sebagai sama-sama hamba Tuhan di muka bumi dan sama-sama sebagai warga negara bangsa. Tidak terlintas dalam benak Buya untuk bergeser ke religious nationalism, apalagi di bawah dekapan ethnoreligous nationalism, seperti yang terjadi di berbagai negara di dunia, seperti di India, Myanmar, Afghanistan, Suriah dan beberapa negara lainnya yang acap kali secara membabi buta dan mata gelap membela negara atas nama pemahaman dan penafsiran agama oleh kelompok tertentu atau membela pemahaman dan penafsiran agama atas nama negara meskipun dengan cara melanggar harkat dan martabat kemanusiaan, ketertiban dan keamanan publik, al-karamah al-insaniyyah, human dignity yang sepenuhnya non-derogable. Hak-hak warga negara yang tercakup dalam hak-hak sipil dan politik yang bersifat absolut tidak boleh sedikitpun dikurangi pemenuhannya oleh siapapun dalam keadaan apapun.[30]
Di atas semua itu, Buya tetap kritis terhadap pejabat, aparatur dan penyelenggara negara yang tidak dapat menjalankan tugas kepemerintahan dan kenegaraan dengan baik dan bertanggungjawab. Juga terhadap para pengusaha dan konglemerat yang selalu ada di belakang layar percaturan kehidupan politik dan ekonomi. Buya sangat mencintai negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tanpa reserve. Tapi ketika para penyelenggara negara terjebak dalam kubangan lumpur korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), maka Buya tidak segan-segan teriak keras melontarkan kritik. “Jangan memuja-memuja Pancasila, tetapi mengkhianatinya dalam praktik kehidupan sehari-hari” dengan berbuat KKN sesuka hati. Buya gemas dan sedih sekali melihat realitas kehidupan rakyat Indonesia yang jurang antara kaya dan miskin di tanah air masih sangat tajam, dengan mengatakan: “Dari 5 (lima) sila dalam Pancasila, sila ke 5 (lima) lah, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang paling tertinggal di buritan peradaban”. Sila ke 5 lah yang disebut sebagai “yatim piatu” dan paling terlantar. Semua itu adalah cara penjiwaan Buya terhadap amanah para pendiri bangsa yang belum kunjung tercapai. Buya adalah penyambung lidah penderitaan rakyat seperti yang biasa didengungkan oleh para pendiri bangsa di awal-awal kemerdekaan 77 tahun yang lalu. Isi pesan dan lontaran kritik (the power the words) yang keras dan tajam inilah yang perlu terus menerus dicamkan, direnungkan, dipertimbangkan dan dijadikan acuan bertindak bagi para penyelenggara negara Pancasila untuk memakmurkan, mencerdaskan dan mensejahterakan rakyat Indonesia.
Kamanusiaan adil dan beradab
Dialog dengan al-Qur’an masih terus menggema dan bergelegar dalam hati sanubari Buya. Pandangan humanistik yang imperatif sangat mewarnai pemahaman Buya tentang agama Islam. Benar ungkapan Romo Magnis Suseno, dari Katolik yang menyatakan dalam takziyah daring bahwa Buya Syafii memiliki akar yang sangat kuat pada agama yang dipeluk, tetapi sekaligus terbuka, toleran, respek terhadap orang lain, terhadap pemeluk agama lain yang berbeda.[31] Posisi Buya berbeda dan berseberangan dari kebanyakan para pemeluk agama pada umumnya. Sisi kemanusiaan dari agama sangat dipentingkan dalam beragama. Etika berada di atas teologi yang seringkali dipahami secara sempit. Buya melihat manusia sebagai hamba ciptaan Allah dan khalifah al-Allah di muka bumi sama dan sederajat dihadapanNya dan tidak bisa dibeda-bedakan apalagi disekat-sekat oleh batas-batas tembok afiliasi agama, ras, suku, etnis, umur, kelompok, sekte, madzhab, organisasi maupun golongan dan kelas. Semuanya lebur dalam kata bahwa manusia itu terhormat, mempunyai harkat dan martabat yang sama yang tidak dapat diganggu oleh kepentingan apapun.
Setahu saya, Buya jarang atau agak jarang menggunakan istilah Wasatiyyah al-Islam. Tidak pula istilah Moderasi Beragama. Pernah sedikit mengulas apa itu “ummatan wasatho”. Yang sering digunakan adalah bahwasanya agama, menurut bahasa otentik al-Qur’an adalah Rahmatan li al-‘Alamin. Agama adalah rahmah dan berkah bagi kemanusiaan. Bukan terbalik, sebagai alat atau media untuk memercikkan rasa permusuhan, kebencian, adu domba, provokasi, pertikaian, polarisasi dan konflik seperti yang belakangan menjamur di masyarakat yang difasilitasi oleh lewat media sosial seperti istilah hate speech (syiar kebencian), karahiyyatu al-ghair (membenci keberadaan orang lain yang berbeda agama, kepercayaan, ras, suku, golongan, organisasi, partai) dan rafdhu al-ghair (menolak orang atau kelompok lain yang berbeda pandangan dan pendirian). Kata al-Rahman dan al-Rahim (potongan dari kata Bismillahi al-Rahman al-Rahim), masih seakar kata dengan kata “rahmah atau rahmatan”, diartikan bahwa misi suci agama, agama apapun, adalah untuk “menyayangi semua makhluk di muka bumi” (compassionate; compassion to all) dan saling mencintai dan melindungi (merciful). Melindungi, menghargai, mengayomi, tolong menolong, bekerja sama untuk menanggulangi berbagai kesulitan seperti kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, perubahan iklim, kerusakan lingkungan hidup, krisis pangan dan seterusnya. Nabi Muhammad adalah Nabiyyu al-Rahmah, nabi yang mengedepankan rasa kasih sayang, welas asih kepada semua makhluk ciptaan Allah di muka bumi.
Berlandaskan dialog dengan al-Qur’an yang otentik seperti itu, radius pergaulan Buya sangat luas. Semua umat beragama disapanya dengan hangat dan teduh. Tidak ada kosa kata “haram” mengucapkan selamat natal kepada pengikut agama Kristen-Katolik. Ucapan selamat Natal, Waisak, Galungan dan lainnya sering dikirim lewat WA kepada handai tolan yang non-Muslim. Sebagai ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1998-2005), Buya semakin banyak interaksi dengan tokoh-tokoh lintas agama, lintas kultural, lintas etnis, lintas organisasi keagamaan, para jenderal, birokrat, dan pengusaha muslim dan non-Muslim.[32] Tapi yang harus segera dicatat, Buya juga akrab dengan “wong cilik” seperti tukang sapu, tukang kebun, pedagang sayur, tambal ban, dan marbot masjid.
Untuk menyebarluaskan gagasan Buya kepada generasi muda, didirikanlah Maarif Institut (MI) pada tahun 2003. MAARIF Fellowship bertujuan untuk melakukan kaderisasi intelektual pada kaum muda Indonesia untuk menjadi kritis, mencerahkan dan memihak pada kemanusiaan dan keadilan sosial, serta mewadahi potensi kreatif anak-anak muda untuk turut serta mencari jawaban terhadap berbagai persoalan sosial keagamaan yang terjadi di tanah air. Kegiatan ini juga memperkuat tradisi riset dan penulisan yang berbasiskan pada metode penelitian yang mempuni serta pembacaan sumber-sumber yang otoritatif dan diskusi yang intensif secara serius. Anak-anak muda yang gemar membaca, menulis, meneliti berhimpun disitu dengan berbagai kegiatan antara lain advokasi, penerbitan jurnal, seminar, menggelar Jambore Pelajar Teladan Bangsa (JPTB) sebagai upaya memperkuat nilai-nilai kebhinnekaan dan perdamaian di kalangan pelajar SMA kota dan kabupaten di berbagai wilayah di Indonesia, menyelenggarakan Maarif Award, mendirikan Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif (SKK-ASM).
Melihat kegiatan MI yang sungguh-sungguh, pada tahun 2010, bapak Jacob Utama membelikan tanah dan rumah di Tebet untuk dijadikan kantor MI. Saat itu statusnya masih “dipinjamkan” untuk sekian puluh tahun ke depan. Awalnya dipinjamkan untuk 30 tahun ke depan. Kepemilikan kantor tersebut masih di tangan Kompas. Ketika statusnya masih dipinjamkan, setiap 5 tahun MI harus membat laporan kepada pihak Kompas dan memperbaharui secara administratif terkait penggunaan rumah sebagai kantor. Setelah sekian lama, dan juga dengan melihat kinerja dan kepercayaan pihak Kompas pada MI, akhirnya pada tahun 2018, pihak Kompas menghibahkan rumah dan lahan yang menjadi kantor MI tersebut secara resmi pada Yayasan Ahmad Syafii Maarif (ASM). Saat penyerahan dihadiri oleh Buya, pengurus yayasan dan beberapa dewan Pembina.
Di akhir hayatnya, sekitar tahun 2020-2021, di era covid-19, Buya sering bertukar pikiran dengan Leimena Institut Jakarta, lewat zoom, bersama Prof. Alwi Shihab dan saya. Dari hasil diskusi mendalam dan berkesinambungan tersebut menghasilkan program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB). Sampai usia 86 tahun jiwa LSM dan NGO Buya masih berkobar, menyala-nyala, tanpa pernah padam. Dari ide Buya yang sangat prihatin tentang kapasitas dan kapabilitas Guru Madrasah di tanah air dalam mengenal dan memahami keberadaan pengikut agama lain lahirlah program LKLB.[33] Pelatihan kapasitas guru Madrasah tentang agama-agama Abrahamik dengan pembicara internasional sesuai agama yang dianut, Yahudi, Kristen, dan Islam. Yang menyentuh dari kesaksian salah satu peserta pelatihan yang menyatakan bahwa seumur-umur, dari kecil sampai usia dewasa, dari bangku sekolah dasar sampai selesai kuliah, kami tidak pernah mendengar dan mendapatkan penjelasan sedikitpun tentang keyakinan, kepercayaan, ritual, tata cara hidup dan keberadaan pengikut agama lain. Dalam masyarakat majemuk secara keagamaan seperti Indonesia dan juga negara-negara lainnya sangat menggugah kesaksian pesrta pelatihan tersebut bahwa memang ada yang masih harus diperbaiki dan disempurnakan sistem pendidikan dan pengajaran agama di tanah air.
Generasi penerus
Telah banyak testimoni, lisan maupun tulisan, yang mengungkapkan sejarah intelektual dan kiprah Buya sebagai ulama, cendekiawan, intelektual, kritikus sosial dan pimpinan persyarikatan Muhammadiyah. Sebagai manusia Muslim yang kuat dan cintanya pada Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, membela Kebhinneka Tunggal Eka-an dan Negara Kesatuan Republik Indonesia mengantarkan almarhum menjadi salah satu anggota Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) dari 2017-2022. Sejatinya, beliau akan diangkat kembali untuk periode berikutnya, 2022-2027, namun Allah Subhanahu Wata’ala memanggilnya kembali ke haribaanNya tanggal 27 Mei 2022, 10 hari sebelum pelantikan anggota BPIP periode kedua di istana presiden, Jakarta oleh Presiden Republik Indonesia.
Buya Ahmad Syafii Maarif meninggalkan warisan (legacy) yang sangat kuat dalam hal bagaimana seorang Muslim progresif, yang taat beragama hidup dalam negara bangsa yang majemuk, plural, multikultural seperti Indonesia. Bagaimana contoh terbaik (best practices) dari faithful patriotisme dapat dipraktikkan, dikembangkan dan dihidup-suburkan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa mendikhotomikan secara diametral antara kebangsaan dan keagamaan atau keislaman. Dalam arti tanpa saling menuduh atau menuding seseorang atau kelompok lebih Pancasialis dan yang lain anti-Pancasila, tanpa menuding yang satu hendak membuat negara sekuler dan yang lain hendak mendirikan negara Islam. Tuduh-menuduh yang tiada guna untuk kepentingan upaya mencerdaskan, memakmurkan dan mensejahterakan seluruh warga negara Republik Indonesia.
Perjoangan panjang bangsa Indonesia untuk mencerdaskan bangsa dan memakmurkan rakyat seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 masih jauh panggang dari api. Status sila ke lima dari Pancasila adalah masih yatim piatu, masih terlantar, masih jauh tertinggal di buritan peradaban. Para penyelenggara negara kapan pun dan dimana pun dari pusat sampai seluruh pelosok tanah air jangan jauh dari amanat penderitaaan rakyat. Jangan-jangan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia masih terlantar karena (sebagian) penyelenggara dan aparatur negara masih bergelimang dalam tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme dengan banyaknya yang tertangkap tangan oleh KPK dan sistem ekonomi Pancasila memang belum terbangun dengan baik apalagi kokoh.
Kepada pimpinan Pusat Muhammadiyah bapak Prof. Dr. Haedar Nashir dan sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah, bapak Prof. Abdul Mu’ti, almarhum meninggalkan pesan kuat agar menjaga persatuan dan keutuhan Indonesia, keutuhan umat Islam dan keutuhan Muhammadiyah. Sebuah pesan yang sangat mendalam dan mendasar untuk warga Indonesia, umat Islam, dunia Muslim serta warga dunia. Pesan itu merefleksikan keprihatian mendalam almarhum tentang nasib warga Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama jika tidak terbimbing, terpandu, dan ternavigasi dengan baik di era digital sekarang ini. Dalam tulisan di Kompas, 5 Januari 2021, Buya menulis: “Pentingnya ketahanan warga Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama agar tidak mudah terjerembab pada godaan gerakan Islam yang intoleran bahkan radikal (sempit) tentang keagamaan dan mudah dipakai untuk kepentingan politik yang memecah-belah bangsa, bahkan yang merusak ke-Islam-an itu sendiri”
Wa ilainaa turja’u al-umur.
Kembali kepada kita semua, generasi penerus, segala urusan dititipkan oleh Buya untuk dicarikan pemecahannya.
Disampaikan dalam Syafii Maarif Memorial Lecture (SMML), Maarif Institute, Salihara Art Center, Jakarta, 5 Juli 2022
[20]Tesis master di Jurusan Sejarah di universitas Ohio, Amerika, diterbitkan menjadi buku Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.
[21]Yang jarang diungkap, Buya sebenarnya sudah kuliah S2 tahun 1972, mengambil M.A Sejarah, di Northern Illinois University (NIU), Dekalb Illinois, tapi tidak rampung (hanya sempat diambil 2 semester) karena harus pulang tahun 1973 ke Padang saat puteranya Ikhwan sakit keras dan meninggalkan dunia. Ketika saya takziyah pada hari ketiga wafat Buya, saya mendapat uraian betapa beratnya perjalanan hidup Buya dari istrinya ibu Nurkhalifah saat menghadapi ujian hidup yang berat baik sebelum berangkat melanjutkan studi maupun ketika sedang menempuh studi di luar negeri. Kemudian berangkat melanjutkan studi S2 lagi di Ohio 1976-1978. Tesis S2 nya baru rampung 1979 setelah berada di Chicago. Kuliah S3 di Chicago antara tahun 1978 sampai dengan akhir 1983. Lebih lanjut Ahmad Syafii Maarif, Memoar Seorang Anak Kampung, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2020 (edisi revisi) h. 194-5.
[22]Ahmad Syafii Maarif, “Islam as the Basis of State. A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia”, h. 26-27. Disertasi di universitas Chicago diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi buku Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante, Jakarta: Penerbit LP3ES, 1985 (cetakan 1). Edisi revisi tahun 2006. Kemudian diterbitkan ulang kerjasama penerbit Mizan dan Maarif Institut tahun 2017.
[25] Fajar Riza Ul Haq, “Muslim Puritan Pembela Pancasila”, dalam David Krisna Alka dan Asmul Khairi (Ed.), op.cit., h. 84.
[26]Kisah kerumitan dan liku-liku yang kompleks dihadapi Buya dalam menghadang terpaan arus perubahan iklim demokrasi di tanah air dan imbasnya dalam persyarikatan Muhammadiyah, dapat dibaca dalam Abd Rohim Ghazali, “85 Tahun Ahmad Syafii Maarif: Cermin Berjalan Demokrat Sejati”, dalam David Krisna Alka dan Asmul Khairi (Ed.), Mencari Negarawan. … , h. 71-73. Juga Abdul Mu’ti, “Buya Yang Egaliter dan Teguh Pendirian”, dalam David Krisna Alka dan Asmul Khairi (Ed.), h. 2-5.
[27]Martin van Bruinessen (Ed.), Contemporary Developments in Indonesian Islam. Explaining the ‘Conservative Turn’, Singapore: ISEAS Publishing, 2013. Juga Ahmad Najib Burhani, “Plural Islam and Contestation of Religious Authority in Indonesia”, dalam Norshahril Saat (Ed.), Islam in Southeast Asia. Negotiating Modernity, Singapore: ISEAS Publishing, 2018, h. 140-163.
[28]Ahmad Syafi’i Maarif, “400 tahun untuk Ahok”, Koran Tempo, 2 Desember 2016.
[29]Tentang hujan deras hujatan, cemooh, cacian, hinaan terhadap Buya direkam oleh Ahmad Najib Burhani, “Buya Ahmad Syafii Maarif dan PKI”. Tulisan ini dimuat di Koran Sindo, 4 Oktober 2017 dan dimuat kembali dalam buku Mencari Negarawan …, h. 241-245. Khususnya h. 242.
[30]Beberapa dokumen kesepakatan internasional dapat dirujuk antara lain, Universal Declaration of Human Rights (UDHR); International Covenant on Civil and Political Rights; UN Declaration on the elimination of all forms of intolerance and discrimination on religion or belief; Juga Jaminan Konstitusional UUD 1945 pasal 28E: Ayat 1: Kebebasan Beragama; UUD 1945 pasal 29 :ayat Kebebasan Beribadah.
[31]Sedang kepada aktifis perdamaian dari Protestan, Ibu Elga Joan Sarapung, yang selama 30 tahun berkecimpung dan bergumul dengan isu Perdamaian dan Interfaith dialogue, Buya berpesan “Anda itu tidak pernah mengenal lelah mengkampanyekan perdamaian”. Lebih lanjut Elga Joan Sarapung, “Berkomitmen dan berintegritas: Pemikiran, tutur kata, sikap dan tindakan pak Syafii Maarif”, dalam Aulia Taarufi & Prima Sulistya (Ed.), Ibu Kamanusiaan …, h. 96-106.
[32]Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan … , ibid. h. 138.