Bayangkan sejenak, hari ini bukan sekadar tanggal di kalender, melainkan sebuah dedikasi istimewa untuk rumah yang kita pijak: Bumi. Hari Bumi hadir sebagai pengingat penting akan tantangan lingkungan dan krisis iklim yang mendera. Sebuah gerakan global yang menyatukan sekitar satu miliar jiwa di penjuru dunia. Kita melihat anak-anak bersemangat memunguti sampah, seruan lembut untuk memadamkan lampu menggema, dan korporasi raksasa berlomba menampilkan citra “hijau” mereka. Namun, di tengah hiruk pikuk ini, pertanyaan mendasar menyeruak: di era pemanasan global yang kian mengkhawatirkan, apakah aksi-aksi simbolis ini benar-benar membawa perubahan? Masihkah relevan Hari Bumi di tengah urgensi krisis ini?
Kilasan balik ke tahun 1970, tepatnya pada tanggal 22 April, Amerika Serikat diguncang oleh gelombang protes yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dua puluh juta orang turun ke jalan-jalan kota, menyuarakan keprihatinan mendalam atas luka yang diderita planet ini. Dari sinilah Hari Bumi lahir, bukan sekadar perayaan, melainkan sebuah momentum internasional yang didedikasikan sepenuhnya untuk Bumi kita. Meskipun bukan aksi lingkungan pertama dalam sejarah, gelombang protes kala itu mengukir jejak abadi dalam peta kebijakan iklim. Akhir dekade tersebut ditandai dengan lahirnya serangkaian undang-undang lingkungan yang progresif di AS. Dua puluh tahun berselang, gaung Hari Bumi semakin meluas, merangkul sekitar 200 juta orang dari 141 negara yang bersatu padu dalam gerakan daur ulang. Kini, lebih dari lima dekade kemudian, sekitar satu miliar orang di seluruh dunia masih memperingati Hari Bumi. Namun, pertanyaan yang sama kembali menghantui: di zaman modern ini, masihkah Hari Bumi memiliki makna yang sesungguhnya?
Apakah perayaan Hari Bumi saat ini tak lebih dari ritual tahunan yang hambar? Sering kali, esensi peringatan ini tereduksi menjadi imbauan sederhana kepada anak-anak sekolah untuk memadamkan lampu selama satu jam, sebuah gestur simbolis yang terasa bagai setetes air di tengah gurun krisis iklim. Lebih jauh lagi, Hari Bumi kerap dimanfaatkan oleh korporasi-korporasi raksasa sebagai panggung untuk mempromosikan produk-produk berlabel “berkelanjutan” melalui taktik pemasaran greenwashing yang meragukan. Di tengah banjir klaim ramah lingkungan yang belum tentu berakar pada praktik nyata, muncul pertanyaan krusial: masihkah Hari Bumi memiliki taring dan tujuan yang sesungguhnya?
Tahun ini, tema yang diusung adalah “Kekuatan Kita, Planet Kita,” sebuah seruan lantang bagi persatuan global dalam mengadopsi energi terbarukan. Visi ambisius terpampang jelas: melipatgandakan produksi listrik bersih secara global pada tahun 2030 demi menggapai nir emisi karbon. Para ilmuwan sepakat, pencapaian target krusial ini adalah benteng terakhir untuk membendung laju kenaikan suhu global yang semakin mengkhawatirkan. Namun, realitas di lapangan justru menghadirkan jurang yang menganga antara idealisme dan kenyataan.
Hingga saat ini, upaya kolektif umat manusia untuk mewujudkan emisi nol bersih masih jauh panggang dari api, bahkan dapat dikatakan sebagai sebuah kegagalan yang mencolok. Alih-alih menunjukkan penurunan, produksi bahan bakar fosil—batu bara, minyak, dan gas alam—justru mencatatkan rekor tertinggi. Emisi gas rumah kaca, biang keladi pemanasan global, terus merangkak naik tanpa ampun. Satu demi satu, negara-negara di dunia tertatih-tatih dalam merealisasikan target-target lingkungan yang telah mereka tetapkan. Ironisnya, Amerika Serikat, negara tempat Hari Bumi pertama kali dicetuskan, justru mengambil langkah mundur yang mengkhawatirkan. Alih-alih mempercepat transisi menuju masa depan yang rendah karbon, sejak menduduki kursi kepresidenan pada bulan Januari, Presiden Donald Trump justru meluncurkan serangkaian kebijakan yang secara sistematis melemahkan komitmen iklim AS.
Inilah lanskap global yang kita huni saat ini—sebuah kenyataan yang begitu kelam hingga dapat merenggut secercah harapan akan masa depan yang lebih baik. Sepuluh tahun terakhir menjadi saksi bisu rekor suhu terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah, dengan tahun 2024 memegang predikat yang paling mengkhawatirkan. Lebih dari sekadar anomali cuaca, kita menyaksikan degradasi masif pada 40% permukaan Bumi, sebuah kerusakan ekologis yang mengancam fondasi kehidupan. Kehilangan keanekaragaman hayati mencapai titik nadir, dengan kepunahan flora dan fauna terjadi pada skala yang belum pernah terlihat dalam 10 juta tahun terakhir. Lebih dari satu juta spesies kini berdiri di tepi jurang kepunahan, terdorong oleh gelombang bencana iklim yang semakin dahsyat dan sering melanda.
Namun, krisis ini jauh melampaui sekadar isu lingkungan; ia menjelma menjadi ancaman nyata bagi stabilitas ekonomi global. Dalam dekade terakhir, kerugian ekonomi dunia akibat perubahan iklim telah mencapai angka yang mencengangkan, setidaknya 2,8 triliun dolar. Kerugian ini mencakup spektrum dampak yang luas, mulai dari kerusakan infrastruktur vital hingga lonjakan kasus penyakit akibat pemanasan global. Jika kita terus melangkah di jalur yang sama, proyeksi suram di tahun 2050 memperkirakan kerugian ekonomi global akan membengkak menjadi 122,5 triliun dolar, disertai dengan hilangnya lebih dari 14 juta nyawa.
Di tengah gambaran yang memilukan ini, mungkin timbul pertanyaan: apa yang dapat kita lakukan? Ada dua pemahaman mendasar yang perlu kitaInternalisasikan. Pertama, perubahan iklim bukanlah sekadar fenomena alam yang berdiri sendiri, melainkan manifestasi dari masalah yang jauh lebih fundamental: pola konsumsi manusia yang melampaui batas kemampuan planet untuk beregenerasi. Akibatnya, sumber daya alam semakin menipis, dan volume limbah yang kita hasilkan jauh melebihi kapasitas alam untuk menyerapnya. Oleh karena itu, langkah bijak adalah mengurangi konsumsi dan produksi limbah semaksimal mungkin dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, penting untuk menyadari bahwa krisis iklim bukanlah semata-mata masalah individual. Meskipun setiap tindakan kecil memiliki nilai, fokus eksklusif pada perubahan gaya hidup pribadi—seperti penggunaan sedotan kertas atau tisu toilet—hanya menyentuh permukaan masalah yang jauh lebih besar. Perubahan iklim adalah isu sistemik yang membutuhkan transformasi institusional yang mendalam. Pemanasan global adalah konsekuensi dari kebijakan yang keliru dan praktik industri yang merusak. Oleh karena itu, pihak-pihak yang secara signifikan berkontribusi terhadap krisis ini harus dimintai pertanggungjawaban secara tegas. Sudah saatnya kita mengubah paradigma perjuangan melawan perubahan iklim. Peringatan Hari Bumi tidak akan membuahkan hasil yang signifikan kecuali kita berani mengambil langkah-langkah konkret untuk mendorong perubahan kebijakan dan akuntabilitas korporasi.