Tulisan ini membahas riwayat penyebutan dari orang Tionghoa, yang sudah berbilang abad, jauh sebelum masa penjajahan Belanda. Orang Tionghoa menyebutnya Kalapa bukan Batavia! Meski telah dijajah lebih dari 300 tahun, orang Tionghoa tetap memperingati kemerdekaan negeri ini, dengan tetap menyebutnya: Kalapa.
Orang boleh namakan Batavia atau apa saja, tetapi sehingga kini kita tetap sebut Kalapa atau Kelapa. Tidak ada satu orang Tionghoa yang berbicara dalam bahasa Tionghoa, menyebut Batavia, untuk ibu kota daerah ini. Lihat saja nama sekolah kita yang tertua dan terbesar pun dinamakan Pa Chen Chung Hua Hsioh (Pa Shia Tiong Hoa Hak Hauw). Itu perkataan Pa adalah singkatan dari Kelapa. Pernyataan ini dan berikutnya, saya kutip dari artikel tahun 1957 karya Liem Thian Joe (1895-1963). Beliau adalah penulis buku terkenal berjudul “Riwajat Semarang” yang terbit tahun 1933.
Kenapa orang-orang Tionghoa menyebutnya Kelapa? Karena di negeri leluhur, telah dikenal sejak berabad-abad lamanya nama Kelapa itu, sebagai satu negeri atau ibukota di mana orang bebas merdeka untuk lakukan usaha (berdagang). Satu negara yang makmur, aman dan sentosa. Maka hampir setiap bulan senantiasa datang Jung-Jung (Kapal) Tiongkok yang membawa aneka warna barang perdagangan.
Dengan menyebut Kalapa, seolah-olah senantiasa memperingati kemerdekaan negeri ini, memperingati zaman tatkala masih bebas merdeka untuk berniaga, pula memperingati zaman kemakmuran daerah ini.
Begitulah tulisan Peh Pin Chow, seorang pengikut Dr Sun Yat Sen yang datang ke Jakarta sekitar tahun 1909, kemudian memimpin mingguan Hoa Toh yang diterbitkan oleh kongsi Hoa Boe Pian Ek Sia, Pasar Pisang, Jakarta.
Belakangan ia datang pula di Jawa dan berdiam di Semarang, menerbitkan majalah Chen Li Pao. Lantasan tulisannya selalu memusuhi pemerintah Hindia Belanda, beberapakali ia mendapat teguran dan ancaman dari residen Semarang, akhirnya majalah ini ditutup atas titah dari pemrintah Hindia Belanda, staf redaksinya ditahan dan kemudian diusir.
Mengenai sebutan Kalapa, De Haan dalam bukunya Oud Batavia juga menyatakan bahwa sebutan itu memang khusus digunakan oleh golongan Tionghoa sejak zaman kuno sekali. Juga, D. Van Hinloopen Labberton dalam bukunya Insulinde, mengatakan bahwa orang Tionghoa sebut Batavia dengan perkataan Kalapa, dan sebutan ini senantiasa hidup dikalangan Tionghoa.
Sampai zaman pendudukan Jepang, kemudian zaman Nica (Belanda), golongan Tionghoa masih menulis dan menyebut Batavia/Jakarta dengan perkataan Pa-Chen atau Pa-shia. Hanyalah setelah Indonesia menjadi Republik, kita sakasikan nama itu mendapat perubahan, kini golongan Tionghoa menyebut dan menulis Ye-chen atau Ya-shia untuk Jakarta, yang jika di-Indonesia-kan pun berarti: Kalapa!
Tak Kenal Maka Tak Sayang.
Sumber:
Majalah Sin Tjun No.2 Tahun 1957.
Koleksi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa.