Jumat, Maret 29, 2024

Budaya Bacot di Tengah Banjir Data

Arif Utama
Arif Utama
Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.

Setiap hari kita dibanjiri distorsi data. Informasi baru terus berdatangan dari hari ke hari ke kepala kita seakan tanpa titik dan bahkan tanpa koma. Beberapanya adalah kalimat-kalimat yang kita duga adalah menyejukkan, beberapanya adalah kalimat yang dipandang penuh curiga. Dalam kata-kata tersebut ada satu kesamaan: semuanya kacau balau dalam banjir bandang informasi.

Nicholas Carr, dalam bukunya The Shallows, memperingatkan kita kemudian: mereka yang biasa membaca dari link, hanya sedikit paham daripada mereka yang membaca linear teks yang tradisional (seperti buku, koran, dan hal-hal yang bersifat di-print); mereka yang terbuai dan sibuk dengan pemberian informasi secara multimedia akan sedikit ingat daripada mereka yang benar-benar berusaha terfokus akan informasi; mereka yang terdistraksi melalui email, dan notifikasi di telepon selular akan memahami sedikit daripada mereka yang benar-benar berkonsentrasi; juga mereka yang mengaku bahwa bisa multitasking adalah orang yang kurang kreatif dan kurang produktif daripada mereka yang melakukan satu hal di suatu waktu.

Kendati sudah diperingatkan Carr, sulit membendung keinginan untuk menggunakan teknologi. Internet bukan lagi suatu hal yang sifatnya tersier, namun sudah menjadi kebutuhan primer di masa kini. Manusia modern terobsesi dan mencintai informasi yang sifatnya termutakhir.

Di zaman di mana setiap individu dituntut bergerak cepat, informasi yang cepat juga pada akhirnya membuat kita tergesa-gesa. Membuat kita, pada akhirnya, terdorong dan kemudian tenggelam dalam kolom komentar.

Budaya berkomentar kemudian muncul, sayangnya, di masa di mana minat membaca tersebut sudah terkikis oleh banjir data. Orang-orang membaca, tapi tak benar-benar paham. Orang-orang berkomentar, tanpa mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Orang-orang hanya menggunakan satu perspektif untuk menghakimi dan, sayangnya, kerapkali lupa untuk memandang dari sisi yang lain.

Orang-orang sudah cukup puas jika hasratnya berbicara sudah bisa sesuai data. Tanpa merasa perlu beropini yang berarti memahami.

Orang-orang kemudian percaya bahwa data adalah segalanya. Informasi yang clickbait, pesan viral dari kolega mereka di Facebook, broadcast di BBM, sialnya, masuk bagian dari kategori data. Jika kemudian dahulu W. Edwards Deming mengatakan, “without data, you’re just a person with an opinion,” di masa kini ada tantangan yang terjadi di balik itu. Kita hidup di zaman di mana data itu banyak sekali, dan dalam kebingungan hebat untuk membingkainya.

Dalam kaitannya, skema musik elektronik lahir dalam keadaan serupa. Beberapa dari Anda mungkin akan mengkategorikan bahwa musik elektronik adalah musik berisik. Tak salah, karena beberapa musik elektronik memang kelewat ramai. Sehingga pendengarnya akan bingung karena diserang data dengan kapasitas yang sangat hebat tapi tak bermakna. Data-data yang tak berkata apa-apa. Dan hal ini jelas sekelumit contoh bagaimana musik elektronik berhasil menggambarkan manusia modern secara sempurna. Dan atas sebab itu mungkin mengapa kaum urban betul-betul menggilai jenis musik ini.

Musik elektronik lahir sebagai wahana eskapis bagi kaum urban. Kaum yang sangat tak punya waktu atas ceramah-ceramah yang menggurui dan lebih senang berhura-hura. Di bar, klub malam, mal-mal, hingga dalam kamar kosan, sangat mudah menemukan musik elektronik. Bahkan ketika Anda tak mau sekalipun mendengarnya.

Jenis musik elektronik mengajak Anda kacau sejak dalam pikiran: nada yang gembira dibalut dengan lirik yang sangat sendu. Beberapa komposer/DJ sengaja mengaransemen lagu aslinya, sementara musisi aslinya secara sukarela membiarkannya. Beberapa musisi bahkan sengaja bekerja sama dengan komposer/DJ untuk mendapatkan nuansa kekacauan ini. Bahkan Kodaline, yang notabene band bergenre folk yang lebih tenang, kemudian melahirkan lagu “Raging” bersama Kygo.

Atau yang paling mainstream, lagu-lagu di Album “Purpose”-nya Justin Bieber yang turut membiarkan Skrillex campur tangan di sana. “Sorry”, “What do You Mean”. Kata-kata sendu yang tersamarkan dalam nada-nada yang akan membuat Anda tak tahan untuk berdansa. Ujung-ujungnya, pilihan untuk berdansa tersebut yang dipilih.

Hal ini tentu persis dengan pola pikiran manusia modern di banjir data: sangat pandai dalam menciptakan chaos, asal bacot, namun terlalu dungu untuk urusan memahami apa yang sebenarnya terjadi. Mudah hanyut dalam terpaan media yang kerapkali memang membutuhkan pandangan luas dan pandangan yang lebih lebar dan lebih luas. Sialnya, kendati data-data tersebut sangat banyak, manusia modern kerapkali sudah puas jika mereka bisa sudah turut dalam kekacauan.

Beberapa data yang dianggap paling dipercaya kemudian dianggap sudah cukup untuk menyingkap apa yang terjadi di dunia mereka. Mereka, orang-orang macam ini, kemudian menjelma sebagai “True Believer” yang digambarkan oleh Dale Carnegie–tipikal orang yang mudah percaya dan, sialnya, terlampau bebal untuk dibantah.

Pada akhirnya, sama seperti skema musik elektronik, orang-orang hanya peduli apakah mereka bisa bersenang-senang dalam kekacauan ini atau tidak. Tanpa paham dan meluangkan waktu lebih terhadap makna sesungguhnya dalam setiap apa yang mereka lihat di dunia ini.

Arif Utama
Arif Utama
Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.