Belum lama ini, awal 2020, di Youtube beredar ceramah menarik: sebuah penjelasan seorang penginjil, kenapa masuk Islam. Nama penginjil (evangelist) itu, Ignatius Yohanes. Ia mengaku putra tunggal Kardinal Ignatius Sastrawardaya, alumnus IVS (Injil Vatikan School), Roma, Italia.
Dalam video Youtube berdurasi 2 menit 19 detik tersebut, terlihat seorang pria yang memakai baju serta sorban berwarna cokelat tengah memperkenalkan diri dalam sebuah majelis kajian Islam. Jika pemirsa di majelis pengajian Islam itu kritis dan berwawasan luas, langsung ketahuan kebohongan Ignatius.
Pertama, ia memakai nama Ignatius Yohanes, dua nama baptis sekaligus. Nama jelas tidak lazim untuk orang Katolik. Istilahnya, keberatan nama! Kedua, ia mengaku anak tunggal Kardinal Sastrawardaya, pimimpin Katolik tertinggi saat ini di Indonesia. Padahal, kardinal di Indonesia sekarang adalah Ignatius Suharyo. Dan pastinya, seorang kardinal, tidak punya anak. Ketiga, kuliah di IVS, Vatikan, Roma. Faktanya, IVS tak ada di sana.
Dalam video itu, si “mualaf” Ignatius menyatakan: “Alhamdulillah saya memiliki nama asli agak unik. Uniknya saya memang terlahir bukan dari keluarga besar Islam. Saya terlahir dari keluarga besar Kristen. Nama asli saya adalah Ir. Ignatius Yohanes S.Th. Saya berangkat dari ketua misionaris Kristen Indonesia tahun 2004 selepas dari pendidikan saya IVS (Injil Vatikan School), Roma, Italia. Saya empat tahun mempelajari ilmu tafsir Injil dan teologi perbandingan agama,” ucap pria dalam video seperti dikutip suara.com.
“Saya terlahir sebagai anak tunggal, anak semata wayang dari pasangan rumah tangga bahagia dan sempurna yaitu ayah kandung tercinta adalah Prof. Dr. Ignatius Sastrawardaya, M.Th. Bapak saya untuk tahun ini menjabat sebagai seorang kardinal dan sekaligus guru besar ilmu teologi di Indonesia. Ibu kandung saya seorang penginjil atau evangelist (penceramah injil) di gereja yaitu Ir. Maria Laura, M.Th,” imbuhnya.
Dari penjelasan Yohanes Ignatius tersebut, kebohongannya jelas sekali. Anehnya, tak sedikit pun publik mempercayainya, dan ia mendapat panggung. Luar biasa! Fenomena macam apa yang nenyebabkan “pembohong” macam dia berani muncul di medsos dan melakukan pembohongan publik yang demikian dramatis?
Setelah di searching, ketahuanlah jati diri Yohanes Ignatius tadi. Ia, tulis facebooker Sansulung John Sum, aslinya bernama Joko Subandi, lahir di Kudus 43 tahun lalu. Ibunya bernama Surahma, bukan Ir. Maria Laura, MTh seperti pengakuannya.
Kisah lain yang juga muncul di video Youtube, setelah kasus “mualaf bohong” Ignatius Yohanes adalah pengakuan “orang murtad” bernama Josua Mohamad Yasin. Yasin mengaku, sebelum masuk Kristen, adalah putra seorang kyai di Bogor. Ia belajar Islam, mulai dari madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, hingga UIN Fakultas Dakwah Ushuludin, Jakarta.
Di mimbar kajian Kristen itu, Yasin menjelaskan bahwa orang tuanya seorang kyai beristri lima. Mana ada kyai beristri lima? Tak ada tuntunannya dalam Islam. Kalau pun poligami, dengan kondisi harus adil, maksimal empat. Yasin juga mengaku sering berdakwah ke pesantren, masjid, dan katanya, sering mengkristenkan sejumlah ustad di Bogor. Ini pun pernyataan bohong. Mana ada pendeta atau evengelist berani dakwah di pesantren dan masjid? Tak mungkin, dan tak pernah ada.
Orang di pesantren dan jamaah masjid, iman dan Islamnya sangat kuat. Mereka pasti marah bila ada pendeta atau evangelist yang berdakwah di sana. Ini berbeda kalau mereka hanya mampir atau bertamu demi sambung kasih atau saturahim. Para kyai dan santri akan menerimanya dengan senang hati.
Dalam ceramahnya, Yasin mengungkapkan, orang Islam boleh punya istri lima. Terus, Yasin menyatakan bahwa orang Islam itu tidak suka dengan orang Kristen dan Yahudi sambil mengutip penggalan ayat surat Al-Baqarah 120: walan tardhaa ‘ankal yahuudu walan nashaara khattaa tattabi’a millatahum. Tapi ayat yang dikutipnya, dibaca dengan lafad dan makhraj yang salah total.
Mendengar sepintas saja dari ceramah Yasin di gereja tersebut, langsung kita orang Islam tahu, apa yang dikatakannya bohong besar. Pertama, ia mengaku sekolah di madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan UIN Fakultas Dakwah Ushuludin.
Pertanyaannya, mungkinkah lulusan Aliyah dan UIN tidak bisa membaca Quran? Tidak mungkin. Di sini, jelas, Josua Muhamad Yasin, tidak bisa nembaca Quran. Bahkan membaca surah Al-Ikhlas saja tidak bisa. Padahal surah Al Ikhlas itu pendek, dan hanya terdiri atas empat ayat pendek. Setiap muslim, sebodoh apa pun, pasti bisa nembaca surat Al Ikhlas. Orang Islam kerap menyebutnya Qulhu, karena awal surat ini berbunyi Qulhu (Qulhuwallahu ahad). Berikutnya, mengaku kuliah di UIN Fakultas Dakwah Ushuludin.
Sejak kapan ada UIN yang menjadikan fakultas dakwah menjadi satu dengam ushuludin? Materi dakwah dan ushuludin itu jauh sekali bedanya. Dakwah dan ushuludin adalah dua entitas yang berbeda. Dakwah itu membahas komunikasi, berceramah agama, mengajak orang pada kebaikan.
Sementara ushuludin membahas konsep agama, filsafat, dan berbagai pemikiran keagamaan. Tak ada satu pun perguruan tinggi islam di Indonesia yang menggabungkan dakwah dan ushuludin. Sekali lagi, Yasin telah menunjukkan kebohongan dan ketololan orang yang ngaku-ngaku pindah agama.
Sebelum kasus penipuan publik Yohanes Ignatius dan Josua Mugamad Yasin, sudah sering kali terjadi, penipuan semacam itu. Yang memanfaatkan “kefanatikan” umat beragama — terutama Islam dan Kristen — untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Sebelumnya, tahun 2013 lalu, ada kasus Samuel Hermawan, yang mengaku ahli islamologi, lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bandung.
Ternyata, waktu diskusi di Bintaro, Jakarta ditantang untuk membaca Quran, dia tidak bisa sama sekali. Mana mungkin alumnus STAIN tidak bisa membaca Quran? Yang paling heboh adalah kasus Dr. Bangun Samudera, beberapa waktu lalu.
Dr. Bangun yang mengaku lulusan S-3 Injil Vatican School Roma, mendapat sambutan luas dari umat Islam. Dia dielu-elukan dan dipanggil ceramah di mana-mana untuk berceramah. Padahal, setelah dilacak, Bangun Samudra, hanya pernah sekolah di Seminari Garum Blitar — selevel SMA — selama satu tahun, dan drop out. Memalukan!
Topik populer ceramah migran agama ini dan paling disukai jamaah recehan — adalah, “Kenapa saya memilih Islam?”. Di pihak Kristen, topiknya sama, “Mengapa saya memilih Kristen?” Jamaahnya baik di Islam maupun Kristen, saya sebut recehan, karena umumnya orang-orang awam yang tak berilmu, wawasannya sempit, dan otaknya dangkal. Itulah sebabnya, mereka mudah tertipu.
Sebetulnya, fenomena orang pindah agama adalah hal yang biasa dan banyak terjadi sejak dulu. Dalam sejarah Indonesia, nama Kyai Sadrach (1835-1924) sangat terkenal di Jawa karena mampu mengkristenkan banyak orang Islam. Pria kelahiran Demak itu, sebelum menjadi evangelist, adalah seorang ulama yang punya banyak santri. Keberhasilan mengkristenkan umat Islam di Jawa, lebih karena kesaktiannya yang mampu mengalahkan dukun-dukun di Jawa Tengah. Banyak orang Islam masuk Kristen jarena faktor “kesaktian” ini.
Orang pindah agama karena faktor “kesaktian” ini cukup banyak. Di antaranya pelawak Sri Mulat, Djudjuk, yang sebelumnya muslimah. Ia sembuh dari sakitnya setelah diobati seorang pendeta yang sakti. Kagum kesaktian sang pendeta, ia pun masuk Kristen. Sebaliknya, banyak juga orang yang pindah ke Islam, karena merasakan karomah atau kesaktian kyai.
Seorang suster, Fransisca, dari Malang masuk Islam karena sembuh dari sakitnya setelah diobati seorang kyai yang sakti. Model pindah agama semacam ini, banyak sekali terjadi. Ini artinya, faktor “kesaktian” pendeta maupun kyai menjadi alasan terbesar pindah agama. Bukan temuan kebenaran agama baru yang diyakininya setelah mengalami pergulatan batin.
Migrasi agama juga banyak terjadi karena pernikahan, baik dari Kristen ke Islam, dan sebaliknya. Banyak artis yang migrasi agama karena pernikahan tersebut seperti Didi Kempot (ke Islam), Salmafina Sunan (ke Kristen), dan lain-lain. Ini sah sah saja, kalau memang kedua belah pihak sepakat.
Satu lagi, seleb intelektual yang pindah ke Islam karena faktor pernikahan adalah Soe Hok Djin, atau Prof. Dr. Arief Budiman, guru besar di Melbourne University, Australia. Rumah tangga dan cinta Arief-Laela (muslimah asal Sumbar) berlangsung abadi. Arief meninggal dalam Islam awal Ramadhan lalu. Laela bersaksi bahwa suaminya Muslim yang baik.
Perpindahan agama paling fenomenal, tentu saja, dilakukan petinju Cassius Clay, yang kemudian berganti nama menjadi Mohamad Ali. Banyak sekali pengorbanan Ali karena keislamannya tersebut. Tapi karena kuatnya keyakinan Islam Ali, ia tanggung semua akibatnya. Masyarakat internasional, akhirnya menganggap Ali sebagai tokoh pejuang kemanusiaan yang sangat dihormati. Dengan basis keislamannya, Ali menentang rasisme, apartheid, kolonialisme, dan peperangan. Semua yang ditentang Ali adalah masalah-masalah akut yang telah lama menjadi keprihatinan dunia.
Kembali pada tulisan ini, kenapa judulnya “Bisnis Mualaf” di Indonesia? Karena belakangan ini di Indonesia, kegaduhan soal mualaf tersebut — seperti dilakukan Yohanes Ignatius, Josua Muhamad Yasin, Samuel Hermawan, dan Bangun Samudra adalah karena kebohongan publik yang dilakukannya. Bukan karena pindah agamanya itu sendiri. Mereka pindah agama dengan alasan bohong dan menjelek-jelekkan agama sebelumnya di medsos. Itulah yang jadi masalah serius sehingga publik meradang.
Migrasi agama adalah urusan pribadi masing-masing. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu tentang Kebenaran yang dikehendaki-Nya. Tapi kalau urusannya kebohongan publik dan migrasi agamanya karena “bisnis” (untuk tidak kasar menyatakan pindah agama lantaran fulus dengan menipu orang awam), mereka sangat berbahaya. Mereka tidak hanya mendegradasi kesucian agama, tapi juga memicu intoleransi. Karena itu, aparat hukum harus bertindak tegas terhadap penipu-penipu agama tadi. Jangan dibiarkan seolah-olah mereka aman dari jeratan hukum.