Rabu, Oktober 16, 2024

Bilakah Dunia Tanpa Islam?

Syaefudin Simon
Syaefudin Simon
Freelance Columnist

Tragedi World Trade Center, New York (11/9/01) yang mengguncang dunia; kekejaman Organisasi Islam radikal Boko Haram di Nigeria; algojo ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) di Timur Tengah; bom bunuh diri Taliban di Afghanistan; ledakan bom Ansharud Daulah di Indonesia; dan lain-lain; mencuatkan pertanyaan — what’s wrong with Islam?

Kekejaman Boko Haram di Nigeria (yang telah membunuh ribuan warga sipil dan menculik ratusan siswi sekolah berasrama) membuat masyarakat internasional marah. Inggris, Prancis, Amerika Setikat, Jepang, dan Cina sepakat untuk menghentikan kebrutalan Boko Haram di Nigeria. Tapi sejauh ini, usaha untuk menghentikan kekejaman Boko Haram belum berhasil.

ISIS adalah ikon kekejaman dan radikalisme Islam abad 21. Puluhan ribu orang tak bersalah dipenggal kepalanya secara sangat sadis. Meski nyaris runtuh now, secara ideologis ISIS tetap kokoh dan berpotensi membesar kembali di negeri Islam. Dulu ISIS berencana mendirikan negara Islam yang wilayahnya meliputi Irak, Suriah, dan Libanon. Sekarang ISIS nyungsep. Khalifah ISIS Abu Bakar Al-Baghdadi sudah tewas, meledakkan diri, Oktober 2019 lalu di Idlib, Syria.

Selain Boko Haram dan ISIS, masih banyak lagi organisasi Islam radikal di berbagai wilayah. Ada Al-Qaedah di Afrika Utara, Al-Shahab di Somalia, Anshar Dine di Mali, Taliban di Afghanistan, dan Ansharud Daulah di Indonesia. Tragisnya semua organisasi radikal tersebut, tak pernah surut menerima dukungan dari “sebagian” umat Islam di dunia. Termasuk di Indonesia.

Semua organisasi radikal ini bertujuan mendirikan Negara Islam dengan menegakkan hukum syariah. Bagi mereka, orang non-islam dan orang Islam yang berbeda pandangan denganya adalah musuh yang harus dilenyapkan. Semua organisasi radikal itu, menurut Dr. Ahmad Murtada dari Islamic Studies Departement, Unversitas Bayero, Nigeria berideologi hakimiyyah: sebuah ideologi yang menekankan kedaulatan hukum Allah. Prinsip ideologi ini adalah Laa Hukma illa Allah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah) – persis seperti ideologi Kaum Khawarij, cikal bakal gerakan Islam radikal yang membunuh Ali bin Abi Thalib.

Landasan ilmiahnya merujuk kepada kitab-kitab karya Ibnu Taimiyah dan mereka bersekutu dengan pandangan kelompok Jihadi dan Takfiri. Tersebarnya radikalisme yang mengatasnamakan agama tersebut, membuat dunia kembali “menatap Islam”.
Kenapa Islam punya stereotip umat semacam itu?

Di sebagian masyarakat Barat, kata Islam itu amat menyeramkan. Islam identik bom bunuh diri, pembantaian warga sipil tak berdosa, permusuhan antarmazhab, dan antipendidikan Barat. Islam adalah enigma yang menyebarkan kecemasan. Dengan latar belakang seperti itulah, sebagian masyarakat Barat berandai-andai – bagaimana keadaan dunia bila tanpa Islam? Bilakah dunia tanpa Islam?

Graham E. Fuller, mencoba menjawabnya dalam buku A World Without Islam. Fuller dalam buku tersebut menyatakan: hampir tidak mungkin dunia seperti sekarang muncul tanpa Islam. Kenapa demikian? Karena Islam sangat menonjol dalam pemberitaan media masa Barat. Kata Jihad, fatwa, madrasa, Taliban, wahabi, mullah, martir, mujahidin, Islam radikal, dan hukum syariah, nyaris tak pernah berhenti tertulis di media Barat dan tak pernah berhenti dibicarakan dalam kajian sosial, politik, dan budaya di Barat. Islam selalu menempel di tiap sudut perjuangan orang Amerika melawan terorisme.

Tapi di balik itu, Islam juga bisa memberikan pisau analisis yang sederhana dan instan untuk memahami berbagai kasus di Timur Tengah. Dengan menunjuk Islam, dunia bisa mengurangi ketajaman polarisasi antara nilai-nilai Barat dan nilai-nilai Islam.

Namun demikian bagi seorang neokonservatif – khususnya Islamofasism – Islam tetap merupakan sebuah monster yang akan mengacaukan dunia. Islamofasism dianggap sebagai biang keladi yang akan memicu munculnya perang dunia keempat antara Barat dan Timur. Dalam kaitan ini, Fuller menulis, kaum neokonservatism Barat tampaknya menihilkan banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konfrontasi antara Barat dan Timur tersebut.

Fuller, yang juga menulis buku The Future of Political Islam ini mencoba membalik keadaan tersebut dengan membayangkan: seandainya Muhammad tidak pernah di lahirkan di Jazirah Arab; seandainya Islam tidak pernah tersebar di Timur Tengah; dan seandainya Islam tidak tersebar di Asia dan Afrika – lalu apa yang akan terjadi dengan dunia sekarang? Apakah hubungan antara Barat dan Islam akan berbeda jauh dengan keadaan seperti sekarang? Tidak, jawab Fuller.

Hubungan Barat dan Timur, seandainya tidak ada Islam, tak jauh berbeda dengan yang terjadi sekarang. Alasannya: secara geopolitik ketegangan antara Barat dan Timur Tengah sudah terjadi jauh sebelum Islam datang. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi evolusi ketegangan antara Barat dan Timur – mulai dari faktor perbedaan kepentingan ekonomi, etnis, nasionalisme, kekuasaan (imperium), sampai geopolitik. Karena itu, menjadikan Islam sebagai faktor yang menentukan dalam hubungan Barat dan Timur, bahkan hubungan Barat dan Timur Tengah, adalah terlalu menyederhanakan persoalan dan mengingkari sejarah panjang hubungan antara kedua kawasan tersebut.

Fuller, professor sejarah dari Simon Fraser University, Kanada ini menyayangkan media massa yang selalu mengusung perbedaan Dunia Islam dan Dunia Barat. Soalnya, kondisi yang sama dalam hubungan antara Islam dan Barat, terjadi pula dalam hubungan antara Barat dan Afrika, Barat dan Amerika Latin, dan Barat dan Asia. Kondisi tersebut, menurut Fuller, adalah problem yang tercipta dari masa kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan Dunia Barat terhadap dunia lainnya – bukan spesifikasi Dunia Barat dan Dunia Islam.

Fuller memang provokatif. Dia, kata John L. Esposito, Guru Besar Studi Islam di Georgetown University, AS, terlalu mengabaikan sesuatu yang amat penting: sumbangan Islam dalam ilmu pengetahuan seperti fisika (Al-Battani), matematika (Al-Kwarizmi), kedokteran (Ibnu Sina), dan lain-lain yang menjadi pijakan “kebangkitan Barat” sehingga melahirkan revolusi Industri di Inggris abad ke 18. Revolusi industri inilah yang telah menjadikan Barat sebagai penguasa dunia sejak abad ke 18 sampai sekarang. Dengan demikian, tulis Esposito, kemajuan Barat seperti sekarang tak akan terjadi bila dunia tanpa Islam.

Jika demikian, kenapa sebagian umat Islam menyebarkan radikalisme dan masih bercita-cita mendirikan negara Islam yang eksklusif untuk kemudian membangun kekhalifahan agung seperti Turki Osmani yang menguasai dua benua? Roger Crowly dalam bukunya, Constantinople The Last Great Siege, 1453 menyatakan pengepungan Konstantinople – awal kekalahan Romawi Timur (Byzanium) oleh Islam — sebetulnya tidak murni dilakukan pasukan muslim.

Kesultanan Osmani yang pluralis berhasil mendapatkan simpati orang-orang Romawi sehingga orang-orang kulit putih dari Eropa bergabung dengan tentara Islam mengepung ibu kota Byzantium tersebut. Dukungan orang-orang kulit putih non-Islam yang mengetahui betul pertahanan Byzantium di Konstantinopel menjadikan pasukan Islam mengetahui taktik musuh dan kemudian berhasil menguasai ibu kota Romawi tersebut di tahun 1453.

Dari ulasan Crowley, jelas kebesaran Islam bukan ditopang ideologi Islam radikal model Boko Haram, Al-Qaedah, Al-Shaba, ISIS, dan Thaliban – tapi justru karena mendapat simpati masyarakat sekitarnya, baik Islam maupun non-Islam. Saat itu, di abad pertengahan, ketika rejim teologis Romawi amat ketat mengatur agama penduduk agar sesuai dengan agama negara (Kristiani), Turki Osmani justru sebaliknya.

Kesultanan Turki mengusung Islam kosmopolit dan pluralis dengan mengedepankan keramahan dan saling pengertian. Kekhalifahan Turki Osmani menghormati semua agama dan melindungi semua warga negara, apa pun agamanya. Itulah sebabnya Turki Osmani medapat simpati rakyat Eropa yang berada di bawah kekuasan Romawi.Kosmopolitanisme Turki itulah yang menyebabkan Konstantinopel jatuh ke tangan Kesultanan Osmani, tulis Crowly.

Dari gambaran tersebut, jelas dunia tanpa Islam adalah mustahil. Islam di masa lalu telah membuktikan kebesarannya dengan mengedepankan keilmuan dan pluralisme – sesuatu yang kini diterapkan Barat. Jika kini muncul Islam radikal model Boko Haram, Thaliban, ISIS, dan lainnya – itulah tragedi. Islam yang hakikatnya rahmatan lil-alamin akan tercemar kelompok radikal dan anarkis tersebut.

Syaefudin Simon
Syaefudin Simon
Freelance Columnist
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.