Jumat, November 15, 2024

Betapa Kejamnya Memanggil Seseorang Kafir

Arif Utama
Arif Utama
Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.
- Advertisement -

agama-negaraPolitik kita memang paling menyebalkan. Ia bisa membuat kita membenci dengan mudahnya. Dalam sebuah khutbah Jum’at, saya pernah mendengar ulasan yang membicarakan tentang kaum kafir. Membahas bagaimana amalan kaum kafir yang sebanyak apa pun takkan diterima dan takkan masuk surga.

Sialnya, itu terjadi di ruang akademik, tempat saya sudah mempelajari banyak tentang toleransi. Saya pikir kemudian, apa perasaan teman-teman saya yang non-Muslim saat mendengar kata “kafir”?

Pembingkaian (framing) yang digunakan dengan menggunakan kata kafir memang sangat buruk. Dalam sebuah kisah, ia bisa menuntut mahasiswa untuk menolak seseorang yang ingin mencalonkan lagi menjadi gubernur DKI Jakarta. Atau dalam kisah lainnya, ia akan memberikan kita ruang cukup besar terhadap kecurigaan dan kebencian yang tak perlu.

Banyak ulama berkoar-koar untuk mendapatkan hati para muslimin. Banyak laman yang mendaku sebagai media Islam menggunakan kata kafir sebagai clickbait agar traffic situs mereka meningkat tajam.

Tapi, ada hal yang kemudian dilupakan dari cara-cara ini: berempati. Yang mereka lupa adalah, penggunaan kata “kafir” ini sendiri sudah sama derajatnya dengan penggunaan kata “jihadist” di dunia Barat. Atau bahkan membuat imaji non-Muslim melayang dan membenarkan sejumlah kisah buruk tentang Muslim dari dunia Barat. Mari saya kisahkan sebuah kisah yang berkebalikan.

Pada 23 November 2015, The Guardian (Does the Sun’s claim about UK Muslims’ sympathy for jihadis stack up?) mengeluarkan kritik terhadap harian The Sun yang merilis sebuah berita kontroversial di halaman utamanya. Headline itu berbunyi, “Satu dari Lima Muslim Inggris Bersimpati terhadap Jihadist.” Berita ini muncul setelah tak lama terjadi tragedi Paris dengan ISIS sebagai biang keladinya. Akibatnya Islamophobia muncul kembali dan berita ini jelas membuat kepanikan massal.

Apa beberapa poin yang dikritik The Guardian dalam ulasannya tersebut. Pertama, mengenai data itu sendiri. The Guardian kemudian menyayangkan bagaimana satu dari lima Muslim tersebut bisa dengan mudahnya disimpulkan.

The Guardian menemukan hanya sekitar 5% dari responden yang mengatakan sangat bersimpati terhadap jihadist yang pergi dari Inggris ke Syiria. Sementara 14.5% mengatakan mereka sedikit bersimpati terhadap para jihadist. Pun tak jelas Muslim macam apa yang dijadikan acuan data dari The Sun.

Kedua, bagian penggunaan kata “jihadist” dan “simpati”. Penggunaan “simpati” dan “jihadist” yang digunakan The Sun akan menuai pemaknaan yang berbahaya. Kata jihadist, yang diambil dari kata jihad, diterima oleh masyarakat Barat sebagai simbol terorisme: kata ini lekat dengan Bin Laden, ISIS, dan kaum ekstrimis lainnya.  Dan diperparah dengan kata “simpati” yang pemaknaannya menggantung dan sengaja untuk membingkai penggunaan kata “Muslim” dalam judul tersebut.

Stigma negatif dunia Barat terhadap Muslim telah berlangsung panjang. Dari kasus Charlie Hebdo dengan penggambaran karikatur yang dianggap melecehkan Islam hingga Amir Khan yang harus melewati jalan berliku sebelum akhirnya menjadi Wali Kota London. Semuanya menggunakan medium yang sama: politik identitas dengan melabelkan Muslim sebagai teroris.

- Advertisement -

Tak jarang hal yang tujuannya menyerang balik serangan buruk yang bertubi-tubi ini dilengserkan. Anda bisa lihat bagaimana video debat Dr. Zakir Naik dibuatkan subtitle-nya dan disebarkan di YouTube. Dan tebak video macam apa yang banyak dibuat subtitle-nya: video di mana Dr. Zakir Naik debat dengan orang-orang beragama lain.

Sangat disayangkan pengetahuan Zakir mengkaji berbagai kitab dari berbagai agama disia-siakan hanya untuk pelabelan “kafir itu salah”, sementara “Muslim itu benar.” Semua tujuannya sama seperti dengan dunia Barat: untuk menekan kaum minoritas.

Saya tak mempersoalkan dunia Barat. Pertanyaannya, mengapa hal macam ini bisa berkembang di negeri yang menggunakan bhinneka tunggal ika sebagai semboyannya. Lalu kenapa kalau memang saya Muslim dan si itu kafir? Toh, bukan pertanda bahwa saya bisa lebih baik dari orang lain.

Yang sering kita lupa, surga sendiri ditujukan kepada sosok yang altruistik. Menekankan ego takkan memenangkan apa-apa kecuali sikap defensif. Dale Carnegie dalam How to Win Friends and Influence People mengatakan bahwa poin dari komunikasi adalah berfokus dalam ketertarikan orang lain. Kesalahan tiap orang adalah kerapkali menggunakan komunikasi sebagai medan perang. Sesuatu yang harus dimenangkan. Sesuatu yang harus berfokus pada diri sendiri. Sesuatu yang harus dilandasi kecurigaan. Padahal, tentu bukan itu intinya.

Dalam sebuah kisah, paman kesayangan Nabi Muhammad, Abu Thalib, bahkan diselamatkan Rasulullah saat ia sudah akan divonis masuk neraka. Meski tak selamat sepenuhnya karena jempol kakinya berada di neraka, tetap ada poin yang seharusnya bisa kita pelajari, alih-alih sibuk melabelkan kafir atau tidak. Berbelas kasih dan toleransi adalah hal yang ingin ditekankan di sini.

Paman Rasulullah adalah orang yang dikisahkan selalu membantu Rasulullah, kendati bukan Muslim alias kafir. Proses kebaikan tersebut terjadi karena kedua pihak menyadari kepentingan komunikasi antar-personal. Keduanya fokus dalam melihat dampak dari hubungan mereka, alih-alih sibuk mendebat sesuatu yang sifatnya preferensi pribadi seperti agama. Kerendahan hati dan sikap penuh altruistik inilah yang membuat kisah indah seperti paman Rasulullah bisa diselamatkan di dunia selanjutnya bisa terjadi.

Dan di sanalah yang kerap tak disadari. Jika Anda ingin memenangkan hati, Anda akan mulai dari orang lain. Bukankah sangat menyenangkan bilamana anda diberikan kue yang sangat nikmat oleh orang lain? Bahkan saking nikmatnya Anda sampai lupa bertanya apa agama yang dianut orang tersebut. Dan itulah yang seringkali terlupa dari penekanan frase “kafir”.

Ia hanya membuat kelompok baru yang sangat ekslusif, yang sangat jauh dari sikap semangat berbagi namun dekat dengan arogansi. Sementara sisanya membangun sikap antipati dan afirmatif sesuai pandangan Barat terhadap Muslim itu sendiri.

Arif Utama
Arif Utama
Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.