Donald Trump hampir dipastikan maju sebagai calon Presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Republik. Ia mengalahkan 17 kandidat lainnya. Trump tinggal menunggu calon dari Partai Demokrat yang masih bertarung sengit: Hillary Clinton atau Bernie Sanders.
Kemenangan Trump ini bukan hanya lebih cepat, tapi jauh lebih mulus, dari yang diperkirakan banyak pihak. Tadinya performa politiknya yang ultrakonservatif (ekstrem) diperkirakan akan membuat sebagian pendukung Partai Republik jengah untuk memilihnya. Nyatanya lain: Trump memikat hati sebagian besar Republiken.
Apa yang ada di benak Republiken sampai hati memilih Trump? Kok, bisa lelaki pengelola ajang Miss Universe yang sangat minim pengalaman politik ini dipilih oleh (sebagian) publik sebuah negara yang selama ini jadi patokan rasionalitas politik? Apa (i)rasionalitas politik penjelasnya?
Tak soal apakah nantinya Trump akan sampai ke Gedung Putih atau kalah dari capres Partai Demokrat. Namun, langkahnya yang bisa sampai sejauh ini sudah cukup menyimpulkan satu hal: berarti konstituen Partai Republik meyakini Trump sebagai figur yang tepat untuk mengatasi berbagai masalah dan tantangan kenegaraan yang dihadapi AS ke depan.
Kekagetan politik atas menangnya Trump bukan hanya muncul dari kelompok moderat. Bahkan beberapa mantan Presiden AS dari Partai Republik, yang ketika memimpin dahulu dianggap sudah konservatif, dibuat terkejut dengan kemenangan Trump. George Bush senior dan yunior, yang ketika memimpin AS membawa negeri itu ke kancah perang Teluk dan invasi Irak, dilaporkan memberi sinyal untuk tidak mendukung Trump. Jika keluarga Bush yang ambang batas konservatisme politiknya cukup tinggi saja menganggap Trump terlalu konservatif, apalagi yang nonkonservatif?
Tak hanya Bush bersaudara, Paul Ryan, Ketua DPR AS yang berasal dari Partai Republik, terus terang menyatakan belum siap mendukung Trump. John McCain dan Mitt Romney, mantan kandidat capres Republik tahun 2008 dan 2012, juga tak rela dengan kemenangan Trump.
Jika memang Trump tak disukai, mengapa ia bisa menang?
Apakah ada gap antara aspirasi konstituen Partai Republik dengan para elitenya? Artinya, yang tidak menghendaki Trump menang adalah hanya kalangan elite Partai Republik, sementara massa bawah menyukai Trump? Jangan-jangan, fenomena Trump mewakili psikologi-politik terdalam yang sedang dirasakan publik AS, namun tidak disadarinya. Semacam ekspresi bawah sadar nalar politik sebagian publik AS. Tapi ini baru dugaan awal.Untuk lebih pastinya, mari kita putar jarum jam sejarah pemilu AS ke belakang. Semoga ditemukan serpihan jawabannya.
Siklus Republik dan Demokrat
Terpilihnya Barack Obama (2009-2016) merupakan ekspresi lelahnya mental rakyat AS pada pendekatan politik “koboi” Bush. Publiks AS jenuh dengan pendekatan militeristik pasca Tragedi World Trade Center (WTC) 11 September 2001. Mereka bosan berbaju besi untuk melindungi keselamatannya. Ingin pendekatan yang lebih manusiawi. Obama menerjemahkannya dengan kata sandi: change and hope.
Pasca terpilih, Presiden Obama pun membangun tata politik yang berusaha melepas dari traumatisme rakyat AS pada teror, namun dengan pendekatan dialog-diplomasi. Bukan militeristik-keamanan. Obama sekuat tenaga membangun hubungan positif-konstruktif dengan negara-negara Timur Tengah dan Muslim lainnya. Meski untuk itu Gedung Putih harus bersitegang dengan Israel.
Obama sukses memoderatkan (kembali) politik luar negeri AS, setelah sebelumnya dikonservatifkan oleh George W. Bush. Keberhasian perundingan nuklir dengan Iran, penarikan pasukan dari Irak, perbaikan hubungan dengan Kuba, di antara sekian bukti nyatanya.
Sebelum Obama, rakyat AS memilih George W. Bush sebagai Presiden (2001-2009). Bush penganut konservatisme politik. Ia orang yang percaya bahwa pendekatan militer jauh lebih efektif ketimbang basa basi di meja perundingan. Bush menjanjikan kebijakan yang menjamin tak terluangnya tragedi teror berkedok agama, seperti Tragedi WTC. Publik AS terpikat.
Bujuk rayu Bush membuat publik AS percaya pendekatan militer dapat memberi rasa aman lebih cepat dan akurat, daripada pendekatan diplomatik-dialogis. Namun, janji tak semanis realisasi. Bush membawa AS pada “lubang hitam tak berdasar” perang di Irak. Hubungan AS dengan negara Timur Tengah dan publik Muslim menegang. Gaya kepemimpinan Bush ini sangat melelahkan mental, psikis, dan moril politik rakyat AS. Pendekatan militer teryata tidak efektif menumpas teror, malah memicu teror baru.
Sebelum Bush Yunior, rakyat AS memilih Bill Clinton sebagai Presiden (1993-2001). Dengan performa politiknya yang lembut, diplomatis, dan dialogis, Clinton menampilkan sisi elegan politik luar negeri AS. Komunikasi politik dijalin dengan baik dengan beberapa negara Timur Tengah. Publik AS mulai merasakan manisnya pendekatan dialogis sebagai kunci tata hubungan global yang baik.
Clinton berhasil mencegah terjadinya perang. Namun sayangnya, menjelang akhir kepemimpinannya, AS diguncang Tragedi WTC. Rontoklah trust politik publik AS pada jalan moderatisme politik, hingga akhirnya mereka memilih Bush yang “koboi”.
Sebelum Clinton, rakyat AS memilih Bush Senior (1989-1993). Di era ini, AS terlibat Perang Teluk akibat invasi Irak ke Kuwait. Perang ini cukup menyita energi militer AS. Seperti anaknya, Bush lebih percaya pada efektifnya pendekatan militeristik.
Trump Memutar Siklus?
Dari empat episode pemilu kepresidenan (1989-2016) di atas, tampaknya ada sebuah siklus yang bisa dibaca: moderatisme politik bergantian dengan konservatisme menduduki kursi kepresidenan. Hipotesisnya: rasa aman menjadi faktor penentu pilihan politik publik AS dalam 28 tahun terakhir ini. Secara silih berganti, publik AS mencoba dua pendekatan untuk memenuhi rasa amannya: militer (Bush Senior dan Yunior) dan nonmiliter (Clinton dan Obama).
Partai Republik cenderung memberi rasa aman dengan pendekatan militer. Sementara Partai Demokrat dengan pendekatan diplomatis-dialogis. Hasilnya: pendekatan militer memberi rasa aman secara instan, tapi tidak tahan lama. Ibarat orang memakai baju besi: aman, tapi terputus koneksi dengan dunia luar. Bahkan, pendekatan militer cenderung menyeret AS pada perang tak berkesudahan dan bersikap arogan. Bukannya menuai simpati, publik global malah cenderung antipati semasa AS di bawah kepemimpinan Bush.
Sebaliknya, pendekatan dialogis ala Clinton dan Obama memang tidak secara instan berbuah rasa aman. Namun, dalam jangka panjang menghasilkan itu. Di bawah Obama, hubungan AS dengan negara Timur Tengah dan Islam membaik. Negara-negara Muslim tidak merasa dijadikan kambing hitam aksi teror, namun secara aktif-partisipatif membantu memberantas akar terorisme. Rasa aman tidak dibangun oleh Obama dengan memakai baju besi, tapi menjalin kesepahaman dengan seluruh penduduk bumi. Ibarat sarang laba-laba: tampak lemah, namun sebenarnya kuat secara jejaring.
Dan kini di tahun 2016, faktanya: Trump selangkah lagi menuju Gedung Putih. Siklus 28 tahun berpotensi terulang: publik AS kembali mempercayai pendekatan militeristik sebagai solusi. Apakah ini sudah menjadi pola yang mengendap di bawah sadar politik rakyat AS? Sebuah kesadaran politik yang dikontrol oleh bawah sadar? Ataukah, siklus yang repetitif ini sekadar respons sesaat sebagai bentuk pragmatisme politik publik AS terhadap problem yang dihadapinya?
Dalam 5 (lima) tahun terakhir ini, sepak terjang kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) menciptakan traumatisme, fobia, dan paranoia pada rakyat AS dan publik Eropa. Mirip traumatisme pasca Tragedi WTC, namun kali ini lebih sporadis. Beberapa bom bunuh diri terjadi di Eropa. ISIS mengklaim sebagai pelakunya.
Perang berkepanjangan di Suriah membuat imigran menyerbu Eropa. Publik Barat disergap dilema antara dua pilihan. Ppertama, menutup mata pada derita pengungsi, karena mereka bisa saja anggota ISIS yang menyusup. Kedua, atas nama kemanusiaan membuka pintu bagi imigran, namun dengan segala risiko keamanan di baliknya. Ini psikolog politik yang sedang menerpa publik Barat (AS dan Eropa).
Apakah keberhasilan Trump melangkah sampai sejauh ini pertanda kesuksesannya mengeksploitasi paranoia publik AS pada ancaman teror? Akankah Trump berhasil mengkapitalisasi fobia rakyat AS pada ISIS menjadi menjadi dukungan politik pemilu? Seperti kapitalisasi yang sukses dilakukan Bush dengan Tragedi WTC-nya.
Jika merujuk pada peryataan Trump yang ekstrem soal Muslim dan imigran, hipotesa tersebut relevan. Beberapa peryataan Trump sangat terkait dengan isu Islam, teror, dan imigran perang Suriah. Pertama, jika menjadi presiden, Trump akan melarang Muslim masuk ke AS. Kedua, Trump mengklaim tidak ada calon presiden yang lebih keras terhadap ISIS daripada dia. Ia akan membom ISIS dan memotong jalur minyaknya.
Ketiga, Trump menyatakan Muslim harus diawasi ketat sebagai program kontraterorisme, dengan cara mengawasi aktivitas masjid-masjid di Amerika Serikat. Keempat, Trump akan kembali menghidupkan metode waterboarding untuk memerangi ISIS. Kelima, Trump akan memulangkan kembali pengungsi Suriah, karena itu ancaman terhadap keamanan AS.
Kelima peryataan Trump tersebut khas gaya konservatisme politik: hendak memuaskan dahaga publik AS pada rasa aman akibat teror ISIS. Trump seperti sedang menawarkan “penghilang rasa sakit” (atas trauma teror) dosis tinggi kepada publik AS. Yaitu, dengan pendekatan militeristik-keamanan. Trump sering mengkritik lembeknya sikap Obama. Baginya, sekarang AS membutuhkan ketegasan dan sikap keras. Untuk memukul mundur segala ancaman teror yang potensial menyerang.
Jika merujuk pada siklus 28 tahun terakhir, ini memang saatnya bagi Partai Republik dengan konservatisme politiknya untuk memenangi pemilu. Moderatisme politik Obama sudah menjadi antitesis konservatisme politik Bush Yunior. Konservatisme politik Bush Yunior merupakan antitesis moderatisme politik Clinton. Moderatisme politik Clinton adalah antitesis konservatisme politik Bush Senior. Kini, akankah konservatisme politik Trump berhasil menjadi antitesis moderatisme politik Obama?
Akan berhasilkah Trump mengulangi siklus yang selama 28 tahun terakhir terjadi dalam Pemilu AS. Atau, untuk kali ini siklus ini akan terputus? Sehingga AS tetap konsisten pada jalur moderatisme politiknya? Semua tergantung pada pilihan politik rakyat AS di pemilu nanti. Dan satu hal lagi, kemenangan dalam Pilpres AS tidak ditentukan satu faktor saja, tapi multifaktor.
Jika akhirnya nanti Trump menang, bukan semata karena faktor tunggal yang dijelaskan di tulisan ini. Tapi, bisa saja faktor ini signifikan menunjang kemenangannya.