Jumat, April 26, 2024

Bencana Asap dan Kejahatan Korporasi

Abetnego Tarigan
Abetnego Tarigan
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Aktivis di Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta
Kepulan asap tebal membumbung ke udara saat terjadi kebakaran lahan di Pekanbaru, Riau, Sabtu (29/8). Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru pada Sabtu (29/8) mencatat terdapat 291 titik panas di Sumatera. ANTARA FOTO/Rony Muharrman/foc/15.
Kepulan asap tebal membumbung ke udara saat terjadi kebakaran lahan di Pekanbaru, Riau, Sabtu (29/8). Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru pada Sabtu (29/8) mencatat terdapat 291 titik panas di Sumatera. ANTARA FOTO/Rony Muharrman/foc/15.

Bencana asap kembali melanda Indonesia, lebih masif dari tahun lalu. Tahun 2015 ini kebakaran melanda Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah–dengan status darurat. Ironisnya, meski bencana asap terus berulang setiap tahunnya dengan kerugian yang sangat besar, penanganannya tetap sama. Reaksioner dan berkutat di urusan teknis pemadaman.

Tahun ini plus dengan penanganan medisnya, karena status udara yang dinilai sudah berbahaya dan menyebabkan jatuhnya banyak korban, khususnya anak-anak yang menderita ISPA (infeksi saluran pernafasan akut).

Pemerintah bukan tidak tahu, apa akar masalahnya sehingga asap seperti menjadi musim tambahan bagi rakyat Indonesia–khususnya di bagian Sumatera dan Kalimantan, dan di mana sebaran titik api itu berada.

Dari pantauan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), khususnya di wilayah yang setiap tahunnya dilanda bencana kebakaran hutan dan lahan, sebagian besar titik api berada di wilayah konsesi perusahaan perkebunan maupun hutan tanaman industri.

Jika pada 2014 titik api yang ditemukan di kawasan hutan yang dibebani hak hutan tanaman (IUPHHK-HT) sebanyak 4.084 titik api di 150 konsesi dan 603 titik api di 85 konsesi perusahaan (IUPHHK-HA), data yang diolah Walhi Sumsel dari berbagai sumber menunjukkan, pada 2015 ada 383 titik api di hutan tanaman industri dan 426 titik di konsesi perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan. Di Kalimantan Barat ada 314 sebaran dan titik api berada di wilayah konsesi.

Angka-angka ini menunjukkan, problem mendasar dari kebakaran hutan dan lahan adalah salah urus sumber daya alam yang selama ini dilanggengkan dengan praktik-praktik buruk, termasuk monopoli pada penguasaannya. Dan semua praktik buruk tersebut dilanggengkan melalui legitimasi berupa izin.

Bencana asap yang diakibatkan dari praktik buruk dilakukan korporasi dengan pola yang umum. Untuk menekan biaya produksi, perusahaan membakar lahan ketika land clearing. Ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang  No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Perusahaan yang mendapatkan izin artinya tunduk pada syarat dan ketentuan hukum yang mengatur bagaimana mereka seharusnya berusaha, termasuk di dalamnya tidak boleh membakar, dan wajib menjaga kawasannya. Kalau semua pelanggaran terjadi secara sistematis, itu karena memang tak pernah ada penegakan hukum terhadap korporasi yang di wilayah kawasannya ditemukan titik api.

Kejahatan korporasi ini bukan hanya melanggar hukum, tapi juga melanggar hak asasi manusia (HAM) secara serius, khususnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana termaktub dalam Konstitusi pasal 28H, UU No. 32/2009, dan UU No. 39/1999, khususnya hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Bahkan, jika dilihat dari pola berulang yang dilakukan perusahaan—yaitu dengan sengaja melakukan praktik buruk yang menimbulkan bencana ekologis—maka dapat dikatakan bahwa korporasi telah melakukan pelanggaran HAM berat, karena memenuhi unsur terencana dan meluas.

Dalam perkembangan global, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan Prinsip Ruggie yang juga meletakkan kewajiban penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia pada aktor lain selain negara, termasuk pelaku bisnis. Pelaku bisnis harus menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam berusaha.

Pelaku bisnis boleh berusaha, namun dalam menjalankan bisnisnya tidak boleh menyuap, melakukan kekerasan, dan merusak lingkungan hidup, terlebih yang mengakibatkan hilangnya hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Melakukan pelanggaran atasnya, sama artinya dengan melakukan kejahatan lingkungan dan kejahatan kemanusiaan.

Tantangan bagi Presiden
Pada saat blusukan asap ke Sungai Tohor Riau pada November 2014 lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan komitmennya untuk menangani kebakaran hutan dan lahan. Ia memerintahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menanganinya. Sebagai sebuah langkah awal, ini menjadi angin segar, dengan harapan tahun 2015 Indonesia dapat bebas dari asap, tak ada lagi kebakaran hutan dan lahan, atau setidaknya berkurang. Ternyata di 2015, kondisinya semakin memburuk dan jauh dari harapan.

Ketika itu Presiden Jokowi memerintahkan KLHK untuk menindak hingga mencabut izin perusahaan. Namun hampir 1 tahun setelah komitmen Presiden disampaikan, penghentian kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan KLHK lebih pada hal-hal teknis seperti membasahi kawasan gambut dengan blockingcanal.

Semestinya, langkah yang ditempuh lebih bersifat struktural. Sebab, problemnya memang struktural, antara lain meninjau kembali perizinan sebagai tahapan pencabutan izin bagi perusahaan yang telah sering kali melakukan kejahatan lingkungan ini. Dengan demikian, pemulihan fungsi ekologis bisa menjadi gerakan menyeluruh di daerah, karena juga ada kewajiban dari pemerintah daerah di sana.

Tim KLHK perlu menyegel perusahaan yang titik apinya ditemukan di wilayah konsesinya. “Segelisasi” oleh KLHK tentu kita hargai. Tapi tanpa penegakan hukum dan ketidakmauan melakukan tindakan hukum untuk menggugat perusahaan, maka bencana asap akan terjadi lagi tahun depan dan terus sepanjang tahun.

Penting juga dicatat baru sebagian kecil perusahaan yang disegel, dari begitu banyaknya wilayah konsesi yang ada sebaran titik apinya.

Negara sesungguhnya bisa menjerat perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan perundang-undangan secara serius dengan menggunakan berbagai UU. Selain No. 32/2009, juga ada UU Kehutanan dan UU Perkebunan. Disebutkan secara tegas di sana bahwa bila ada kebakaran di area konsesi, maka para pemegang izin dapat diminta pertanggungjawabannya (absolute liability).

Pada tahun 2014 pemerintah menggugat PT Bumi Mekar Hijau (Asia Pulp and Paper Group) yang merugikan negara mencapai Rp 7,9 triliun. Kita tunggu apakah pemerintah menggunakan bencana asap ini sebagai momentum emas untuk menunjukkan komitmen melakukan tindakan hukum terhadap para pelaku kejahatan lingkungan yang menyebabkan Indonesia berulang kali berada dalam kondisi darurat asap. Atau pemerintah akan menyerahkan sepenuhnya pada proses pengadilan tanpa pengawalan sungguh-sungguh.

Akhirnya, di tengah darurat asap, kolom ini menantang Presiden Jokowi untuk menjalankan komitmennya pasca-blusukan, yakni penegakan hukum—termasuk meninjau ulang hingga mencabut izin—terhadap perusahaan-perusahaan yang pada konsesinya ditemukan sebaran titik api, apalagi yang terjadi secara berulang.

Abetnego Tarigan
Abetnego Tarigan
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Aktivis di Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.