Kamis, April 25, 2024

Benarkah Negara Sudah Tak Beradab?

M. Nurul Fajri
M. Nurul Fajri
Alumni Program Magister Ilmu Hukum dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

Dalam beberapa waktu terakhir gelombang kritik terhadap kinerja legislasi Dewan Perwakilan Rakyat bersama  Presiden mengalami peningkatan secara politik maupun jumlah. Pada saat yang sama gelombang kritik juga berbalas dengan berbagai tudingan yang keluar lewat beberapa pejabat negara tentang adanya penumpang gelap dalam gerakan mahasiswa akhir-akhir ini. Sejurus kemudian semua dibungkus dengan  persoalan keadaban dalam bernegara menyangkut protes atas produk legislasi pemerintah bersama DPR.

Setidaknya perang tagar #turunkanjokowi dengan #gejayanmemanggil sempat menghiasi tren lini masa Twitter. Hal inilah kemudian yang membuat pemerintah, melalui beberapa pejabatnya, menuding bahwa gerakan massa dicurigai telah ditunggangi oleh mereka yang hendak menurunkan Presiden Joko Widodo dari jabatannya atau hendak menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober nanti. Padahal ihwal penunggang dalam gerakan mahasiswa semestinya dapat dilihat dari sisi tuntutan aksi yang dibawa.

Jika dicermati, simpul-simpul gerakan mahasiswa di berbagai daerah akhir-akhir ini tidak satu pun yang menuntut Jokowi diturunkan atau mereka hendak menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden. Gerakan massa di bawah payung tagar #reformasidikuropsi terang benderang tidak satu pun memuat tuntutan untuk menurunkan Jokowi atau menggagalkan pelantikan.

Tentu patut disayangkan tudingan yang keluar dari pejabat negara tersebut minim pembuktian. Meski beberapa analisis jejak digital telah beredar yang semestinya mampu membantu perwakilan pemerintah untuk bisa menyampaikan pernyataan yang lebih bijak. Segala tudingan yang dibuat sejauh ini tidak satu pun mengarah pada pembuktian. Selama tudingan tidak mampu dibuktikan, narasi yang ada justru lebih mengarah pada upaya mendistraksi gerakan dan sekadar pepesan kosong.

Sementara itu, ihwal pemakzulan Presiden harus melalui keputusan sidang paripurna DPR, putusan Mahkamah Konstitusi, dan ketetapan sidang umum MPR. Dan pelantikan presiden dilakukan oleh MPR. Bukan sekadar perang tagar. Alih-alih menjawab substansi kritik atas berbagi sikap dan kebijakan legislasi akhir-akhir ini, pemerintah justru merespons dengan sesuatu yang mereka sendiri tak bisa buktikan.

Adab Berhukum

Lalu, apakah kemudian kita dapat mengatakan bahwa gelombang demonstrasi terhadap sikap dan keputusan legislasi hari ini sebagai bentuk tindakan yang tidak beradab? Mendefinisikan keadaban memang teramat sulit dalam sebuah persoalan yang relatif kompleks. Namun, tudingan ketidakberadaban akan lebih mudah dijawab apakah gerakan mahasiswa tersebut punya dasar atau tidak.

Pertama, yang perlu ditegaskan adalah, sebuah RUU hanya dapat disahkan setelah mendapatkan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR sebagaimana dinyatakan pada Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, alasan cuci tangan untuk menghindari beban kritik hingga kekeliruan yang mengatakan sebuah undang-undang itu hadir karena usulan pemerintah atau inisiatif DPR adalah hal yang keliru dan menyesatkan.

Kedua, kehadiran Mahkamah Konstitusi memang dimaksudkan untuk memperkuat mekanisme checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Agar Presiden bersama DPR tidak membentuk undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Namun, meski sistem ketatanegaraan kita memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian konstitusionalitas sebuah undang-undang, bukan secara otomatis menghilangkan tanggung jawab legislasi milik Presiden dan DPR atas sebuah undang-undang.

Baik Presiden maupun DPR masih punya kesempatan tidak terbatas untuk melakukan revisi bahkan mengganti undang-undang yang mereka bentuk sendiri. Bahkan Presiden sendiri diberikan kewenangan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintan Pengganti Undang-Undang apabila dirasakan ada sesuatu alasan ihwal kegentingan dan memaksa.

Adanya Mahkamah Konstitusi bukan berarti membuat satu saluran demokrasi berupa aksi demonstrasi menjadi mati ketika dihadapkan dengan sebuah produk legislasi yang dinilai bermasalah. Meski Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang berwenang melakukan uji konstitusional undang-undang, bukan berarti lembaga ini bisa dijadikan keranjang sampah produk legislasi.

Ketiga, secara filosofis jika ditarik lebih jauh dalam pandangan John Locke bahwa negara dibentuk berdasarkan pada asas pactum unionis dan pactum subjectionis. Pactum unionis adalah perjanjian antarindividu untuk membentuk negara, sedangkan pactum unionis adalah perjanjian antara individu dan negara yang dibentuk. Perjanjian tersebut menyatakan bahwa individu memberikan mandat kepada negara atau pemerintah.

Mandat tersebut diberikan agar pemerintan mendapakan kekuasaan dalam mengelola negara berdasarkan konstitusi yang telah ditetapkan (dalam pactum subjectionis). Intinya, kehadiran negara untuk menjalankan amanah dan bekerja berdasarkan konstitusi yang telah disepakati. Dan hal tersebut juga tidak jauh berbeda dalam proses lahirnya Republik Indonesia mulai dari momentum Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Peristiwa Rengasdengklok, BPUPK serta PPKI.

Pasal 28 UUD 1945 menjamin kemerdekaan mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan. Hal yang sama juga diatur lebih rinci dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Tuntutan yang disampaikan melalui beragam gelombang demonstrasi hari-hari ini setidaknya dilandasi atas landasan filosofis bahwa kekuasaan pemerintahan diperoleh berdasarkan mandat rakyat yang hari ini peroleh melalui pemilu, kewajiban penjalanan kekuasaan berdasarkan komitmen konstitusional dan komitmen politik saat kampanye serta landasan hukum yang konstitusional.

Ketiga alasan tersebut mengharuskan kita bertanya ulang ihwal keadaban apa yang dimaksud dalam benegara tersebut. Pantaskah kita bertanya kepada Presiden dan DPR, apakah sebelum membicarakan keadaban publik yang mengkritik, mereka mempertanyakan keadaban mereka dalam menjalankan amanah kekuasaan? Khususnya terkait adab seperti apa yang tengah mereka tunjukkan dalam membentuk beberapa peraturan perundang-undangan akhir-akhir ini?

Kolom terkait

Indonesia dan Rezim Hukum Represif

Mengembalikan Kehormatan Presiden

Tik Tok, Blokir, Sensor, dan Tindakan Represif

Jokowi di Tengah “Negara Bayangan”

Menjadikan RI Negara Polisi

M. Nurul Fajri
M. Nurul Fajri
Alumni Program Magister Ilmu Hukum dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.