Ben adalah raksasa di dunia ilmu sosial dan ilmu politik, yang dihormati di seluruh dunia. Karya-karyanya juga dihormati di seluruh dunia. Kajian dia soal Indonesia, Thailand, dan Filipina.
Jadi, saya ingin bercerita sedikit tentang “interaksi” saya yang hanya dari jarak amat jauh dengan dia, hanya dari tulisan dan ceramahnya. Yang jelas, sebetulnya Ben Anderson bukan pembicara publik yang baik, nada bicaranya monoton. Saya pernah hadir ke ceramah dia di Universitas Chicago, AS, nyetir menembus salju brutal yang tengah turun dari tempat saya tinggal/studi beberapa mil dari arah barat Chicago.
Sampai di lokasi saya rada kecewa karena gaya bicara Ben Anderson yang datar. Bertolak belakang dengan buku-buku dan tulisannya yang menghujam.
Pada sebuah musim panas saat libur panjang kampus sekitar tahun 2008, saya dapat part-time job di perpustakaan kampus Northern Illinois University (NIU). Pekerjaannya “ringan”, scan buku-buku tua koleksi Asia Tenggara perpustakaan NIU dan bikin database digital dari buku-buku itu.
Suatu hari, saya mengerjakan sebuah buku mengenai Burma yang diterbitkan di London tahun 1900. Bukunya dikarang oleh dua orang Barat, berkisah mengenai seputar kehidupan masyarakat Burma di akhir tahun 1800-an. Banyak sekali foto di dalamnya. Hitam putih.
Sambil meng-entry foto-foto dari buku itu ke database, saya melihat-lihat dan membaca sedikit. Tergambar lengkap kehidupan masyarakat Burma seratus tahun lebih yang lalu itu. Saya baru sadar, ternyata saya menggemari sejarah. Sejak kecil saya suka hal-hal berbau sejarah. Menyenangkan sekali bisa mengetahui kehidupan masa lalu.
Melihat foto-foto itu, ada satu section yang menarik perhatian saya. Yaitu foto-foto di monastery, pesantrennya agama Budha. Ada banyak foto “santri-santri” agama Budha, mempelajari kitab-kitab yang tertulis di atas kayu. Duduk melingkar, dengan pusatnya seorang biksu.
Saya lantas berpikir-pikir, mungkin salah satu temuan manusia yang luar biasa adalah institusi pendidikan alias sekolah.
Bagaimana pengetahuan diajarkan dan ditransfer dari masa ke masa dan manusia terus menerus berusaha menyempurnakan metode pengajaran pengetahuan.
Melihat foto-foto itu, kelihatan peran otoritatif seorang biksu. Mungkin sama dengan kiai di pesantren. Saya sempat berpikir, di situlah letak perbedaannya dengan sistem pendidikan Barat. Tapi pikiran itu saya sanggah sendiri. Peran profesor di kelas, ya mirip-mirip juga dengan otoritas kiai atau biksu. Dalam bidang filsafat, malah hampir mirip dengan para sufi yang berguru pada ulama-ulama tertentu.
Ketika melihat foto-foto itu, saya ingat dua buku. Pertama, Imagined Community-nya Ben Anderson. Ben Anderson menjelaskan asal usul nasionalisme, yang menurut dia antara lain berkembang setelah institusi agama mengalami kemerosotan. Terutama “bahasa” agama. Dia merujuk pada agama Kristen/Katolik dulu, ketika bahasa Latin hanya dikuasai oleh tokoh agama. Ketika mesin cetak ditemukan, kitab suci dicetak dalam jumlah eksemplar berlipat-lipat, dengan akibat kitab suci bisa diakses orang banyak dan karenanya penafsiran agama tidak lagi menjadi monopoli tokoh agama.
Saya rasa semua agama mengalami hal itu. Ben Anderson kurang lebih menyebutnya sebagai efek dari print capitalism.
Dari foto-foto tadi, saya melihat bagaimana para “santri” Budha mempelajari kitab yang ditulis di atas pelepah kayu. Pastinya jumlah kitab itu terbatas, tidak mungkin bisa diakses banyak orang, seperti yang terjadi ketika mesin cetak semakin meluas penggunaannya.
Di sisi lain, melihat foto-foto “santri” Budha mengelilingi biksu belajar, saya juga ingat sebuah buku yang ditulis Michael Laffan, judulnya Ummah Below the Wind. Laffan mengkritik Ben Anderson yang menafikan peran agama dalam tumbuh berkembangnya nasionalisme. Studi Michael Laffan adalah mengenai peran agama (Islam) dalam tumbuh berkembangnya nasionalisme di Indonesia. Dia menunjukkan bahwa Islam sangat menonjol perannya pada awal perkembangan nasionalisme Indonesia. Terutama, kata Laffan, dari muslim Nusantara yang pergi haji (di akhir 1800-an).
Setelah haji, mereka tidak langsung pulang, tetapi menyebar untuk berguru pada intelektual-intelektual besar muslim di berbagai negeri di Timur Tengah dan Afrika. Lantas terbentuklah jaringan intelektual Muslim Indonesia modern, yang pulang dengan pemikiran baru yang progresif.
Ben Anderson meyakini bahwa salah satu asal muasal nasionalisme adalah rotasi birokrasi kolonial, terutama di Amerika Latin. Di masa kolonial Amerika Latin, terbentuk kelompok masyarakat bernama mestizo alias campuran. Bisa dari kawin campur antara mereka yang berdarah kolonial (Portugis atau Spanyol) dengan penduduk lokal. Juga terbentuk generasi kedua kolonial, yang orang tuanya lahir di Spanyol atau Portugal tetapi dirinya dilahirkan di bumi Amerika Latin.
Birokrat-birokrat mestizo atau dari generasi kedua bangsa penjajah ini hanya dirotasi di negara kolonial saja. Tidak pernah (tidak berhak) dikirim ke Lisabon di Portugal atau Madrid di Spanyol. Karena “karir” yang dihambat ini muncul benih-benih nasionalisme di Amerika Latin.
Birokrat-birokrat mestizo ataupun yang keturunan generasi kedua ini, karena pekerjaannya, mengalami “bureaucratic pilgrimage”, terbentuk jaringan sesama birokrat (hampir sinonim dengan “kelas menengah”) yang pelan-pelan berkembang menjadi semangat perlawanan anti kolonialisme yang berpusat di jantung kota-kota Eropa.
Michael Laffan pada dasarnya juga mempercayai bahwa perpindahan orang (pilgrimage) juga menjadi basis terbentuknya nasionalisme Indonesia. Bedanya, dia mempercayai bahwa dalam konteks Indonesia, yang terjadi adalah intellectual dan religious pilgrimage.
Rest in peace, Om Ben.