Sabtu, April 27, 2024

Belajar dari Kisruh Pasca Pemilu di Negara Lain

Achmad Murtafi Haris
Achmad Murtafi Haris
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

Ada beberapa catatan dari rentetan hiruk pikuk pemilu 2019 ini. Khususnya yang terkait dengan perlawanan kubu 02 terhadap hasil penghitungan suara yang memenangkan kubu 01 Jokowi-Makruf. Tanpa menyangkal kemungkinan kecurangan dilakukan oleh pihak yang menang, tapi kecenderungan tidak bisa menerima kekalahan adalah masalah mendasar dalam kontestasi apa pun.

Konflik Pasca Pemilu di Tiga Negara
Banyak konflik bahkan perang sipil terjadi akibat ketidakmampuan menerima kekalahan pemilu. Di negara Afrika kerap terjadi hal itu. Juga di Amerika Latin, seperti di Honduras, di mana bentrokan terjadi antara polisi anti huru-hara dan pendukung paslon yang kalah meski pemilu sudah lewat dua tahun. Pemilu yang dimenangkan oleh Hernandez lawan Manuel Zelaya (mantan presiden) ternyata menyisakan kerusuhan yang tidak kunjung usai.

Sementara di Mesir, pemilu 2012 yang memenangkan Muhammad Mursi dari kelompok Ikhwanul Muslimin pada akhirnya memunculkan gerakan penolakan massal yang berujung penggulingan sang presiden oleh militer. Abdel Fatah el-Sisi sang Jendral pun melenggang ke tampuk kekuasaan dan mewarisi kekuasaan junta militer di sana. Parlemen Mesir belum lama ini bahkan menyetujui perpanjangan kekuasaan el-Sisi hingga 2030. Suatu hal yang bertentangan dengan keharusan adanya rotasi kepemimpinan periodik dalam praktek demokrasi.

Di negara maju konflik pasca pemilu juga terjadi. Pasca kemenangan Donald Trump melawan Hillary Clinton pada pemilu Amerika Serikat 2016, warga New York yang mayoritas memilih Hillary melakukan demonstrasi menolak kemenangan Trump. Namun aksi-aksi itu akhirnya reda dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.

Dari ketiga contoh keributan pasca pemilu di Honduras, Mesir, dan Amerika, nampaknya apa yang terjadi di Amerika adalah relatif paling baik. Kekalahan Hillary Clinton yang sungguh di luar dugaan, sangat bisa dimaklumi meninggalkan kekecewaan berat di kalangan pendukungnya terutama di New York. Tetapi penolakan akan hasil pemilu itu tidak berlangsung lama.

Kehebatannya lagi, Hillary yang menang secara populist vote, tapi kalau secara electoral, dengan cepat menerima kekalahan dan menyatakannya di depan publik. Dalam pidatonya dia mengajak para pendukungnya untuk menerima kekalahan dan tetap berbuat yang terbaik untuk Amerika.

Hillary mengingatkan akan fondasi demokrasi yang harus dijaga yaitu pergantian kepemimpinan yang aman. Dia memotivasi para kaum wanita muda bahwa masa depan terbuka untuk mereka menjadi presiden Amerika. Sebuah harapan yang pudar seiring kekalahannya dalam Pilpres. Dia juga menanamkan jiwa besar dan menyampaikan pengalaamannya yang panjang di dunia politik bahwa berjuang untuk kebenaran tidak pernah rugi (Never stop believing that fighting for what is right is worth it).

Pidato yang sungguh menenangkan hati, menghibur jiwa, menyadarkan akan mahalnya nilai perjuangan dan membangkitkan optimisme para pendukung yang sedang menangis badai karena kekalahan.

Tragedi Terparah Pasca Pemilu Amerika
Konflik pasca pemilu di negara Paman Sam bukanlah suatu hal yang aneh. Pada awal pendirian negara, 1804, Aaron Burr wakil presiden Thomas Jefferson, terlibat pembunuhan lawan politiknya Alexander Hamilton sekretaris keuangan George Washington.

Pada tahun pemilu 1820 terjadi perang sipil seiring dengan memanasnya isu ras dan agama. Yaitu kekhawatiran kaum kulit putih Protestan terhadap kehadiran warga Irlandia dan Jerman yang Katolik. Mereka, kaum Protestan, mengkhawatirkan identitas Amerika yang dominan akan tergerus oleh pendatang baru. Mereka pun membuat Partai Amerika yang anti-Katolik pada 1850an. Konflik berdarah terjadi pada pemilu 1855 yang terkenal dengan sebutan ‘Bloody Monday’ di mana 22 warga asal Jerman dan Irlandia meregang nyawa di Louisville, Kentucky agar tidak ikut serta dalam pencoblosan.

Yang paling parah adalah pada pilpres 1860 yang bertanding empat calon presiden dan dimenangkan oleh Abraham Lincoln. Lincoln meraih kemenangan setelah meraih 39,9 persen suara yang kemudian ditolak oleh warga Amerika bagian Selatan dan berakibat pada perang sipil. Mesti Lincoln tidak mendukung perubahan drastis sistem perbudakan namun warga yang tinggal di Amerika bagian Selatan meyakini bahwa Lincoln akan mengarah ke sana, kemerdekaan para budak. Warga selatan menuntut pemisahan diri dari Amerika yang kemudian ditolak oleh Lincoln sehingga berujung pada perang sipil dan terbunuhnya Lincoln sendiri.

Setelah kemenangan bagian utara atas selatan, konflik masih terjadi dalam kaitannya dengan pemilu. Yaitu ketika Utara menuntut agar mereka warga Afro-Amerika diberi hak untuk mencoblos dan tuduhan bahwa mereka akan dijadikan pendulang suara Partai Republik. Pada 1873 pembantaian terjadi 62-150 warga Afro-Amerika yang mengawasi perolehan suara Partai Republik dalam pemilihan gubernur.

Demikianlah, Amerika yang telah melewati perjalanan panjang demokrasi ternyata menyimpan kejadian tragis seputar pemilu. Dan itu semua terjadi tatkala pemilu mengusung sentimen SARA atau salah dari Suku, Agama atau Ras. Dalam pemilu 2019 kali ini di Indonesia, isu sejenis telah muncul dan digunakan untuk pendulang suara. Akankah tragedi buruk akan menimpa Indonesia seperti halnya Amerika dua abad?! Semoga tidak. Dan semoga ada solusi berujung pada penerimaan semua pihak akan hasil Pemilu.

Achmad Murtafi Haris
Achmad Murtafi Haris
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.