Minggu, November 24, 2024

Bara Papua, antara Agama dan Kemanusiaan

Roy Martin Simamora
Roy Martin Simamora
Peminat gender studies. Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.
- Advertisement -

Saya sedih bercampur kecewa ketika membaca sebuah berita tentang penyerangan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Mereka diperlakukan tidak manusiawi. Diteriaki monyet. Ada pula yang menyerang dengan isu-isu rasial. Beginikah sesama manusia memperlakukan manusia lain? Malahan, pemberitaan penyerangan itu tidak seheboh dengan pemberitaan seorang pemuka agama yang menghina simbol agama tertentu di lini massa.

Peristiwa ini seolah tidak terlalu penting atas nama kemanusiaan dan akhirnya sudah saya tahu: kasus ini pasti menguap begitu saja. Menyedihkan bahwa kita terjebak di antara dua pilihan: agama atau kemanusiaan. Manakah yang harus kita dahulukan?

Seandainya saya disuruh memilih, manakah yang akan saya dahulukan—agama atau kemanusiaan? Saya akan memilih kemanusiaan. Dengan alasan apa pun saya akan tetap menekankan kemanusiaan bagi orang Papua. Bagaimanapun, kemanusiaan adalah kualitas menjadi manusiawi—penuh kebajikan, sikap belas kasih, kebaikan, dan simpati terhadap manusia lain.

Kemanusiaan adalah langkah amat penting menuju tujuan agama, tetapi sayangnya beberapa “agama” telah kehilangan kontak dengan tujuan agama itu sendiri. Dan, beberapa dari kita yang telah kehilangan kontak menjadi manusiawi atas nama agama.

Tujuan agama adalah mengenal diri sendiri, dan mengetahui Yang Kuasa—seperti yang diyakini setiap orang. Ada banyak corak agama, dan tidak banyak dari kita berurusan dengan realisasi diri, tetapi kebanyakan dari kita menggabungkan beberapa pemahaman tentang “apa yang lebih tinggi dari kita,” atau “kita yang lebih baik dari mereka.” Agama harus menjadi proses untuk mengetahui kebenaran tentang Tuhan—untuk mencintai-Nya dan melayani-Nya dan mencintai siapa pun yang berbeda dengan kita—baik warna kulit, ras, dan identitas.

Tetapi, bagi sebagian orang itu langkah terlalu besar sehingga ada agama yang ikut serta dan mengakomodasi pemahaman tentang kekuatan yang lebih tinggi yang tidak memasukkan urusan kemanusiaan, tetapi lebih kepada urusan pribadi. Misalnya, menghina agama dan keyakinan tertentu untuk menunjukkan bahwa agamanya lebih baik daripada yang dihina. Atau, ketika seorang pemuka agama menyebut simbol agama tertentu untuk tujuan yang tidak patut. Atau lebih kejam, menebar isu rasial atas nama agama.

Keributan soal agama kemudian meluber ke mana-mana. Alhasil, terjadi chaos, perpecahan sosial, perundungan atas nama agama tetapi melupakan kemanusiaan. Fanatisme agama telah membutakan nurani kemanusiaan.

Bukankah semua agama menanamkan kemanusiaan? Jika manusia adalah bagian dari agama, lalu mengapa kita melihat agama vs kemanusiaan harus saling berhadapan? Lalu, mengapa kita lebih sibuk meributkan agama ketimbang melihat saudara kita mahasiswa Papua yang diintimidasi semena-mena itu? Di ruang publik ataupun di media sosial kita masih saja sibuk membincangkan agama ketimbang kemanusiaan. Tidak ada habisnya.

Pada era modern ini, orang-orang dari berbagai budaya saling berbaur dan menemukan bahwa hal-hal tertentu yang mereka anggap manusiawi dianggap tidak manusiawi dalam budaya di dunia bagian lain dan sebaliknya. Jika kita melihat pada era internet dan penalaran logis prinsip-prinsip tertentu dari hampir setiap agama dapat ditentang, ini telah semakin meremehkan pentingnya agama untuk mendefinisikan kemanusiaan bagi kita. Itu karena kita sedang masih dalam proses mengembangkan pandangan global “kemanusiaan.” Belum pada tahap memahami satu sama lain.

Jadi, saat ini lebih dari sekadar memilih antara ruang lingkup tradisional kemanusiaan yang dipengaruhi oleh agama (atau tradisi geografi tertentu) dan definisi baru kemanusiaan yang berkembang. Manusia menerima agama karena membuat mereka lebih manusiawi daripada generasi sebelumnya pada masa itu. Benarkah demikian? Bukankah agama adalah salah satu pemicu permusuhan dari dulu hingga hari ini?

- Advertisement -

Jadi, saya ingin bertanya: jika entitas supernatural seperti Tuhan ada, apakah kita akan menjadi peduli tentang kemanusiaan? Apakah kita peduli dengan kemanusiaan bagi orang Papua?

Prinsip Kemanusiaan

Pada prinsipnya, kemanusiaan mengajarkan cinta satu sama lain terlepas dari latar belakang atau asal-usul kita. Kemanusiaan tidak menekankan pada undang-undang, baik tertulis atau tidak tertulis. Kemanusiaan berbicara tentang melihat satu sama lain dari rahim alam dan mengakui keberagamannya.

Kemanusiaan berbicara tentang keunikan kita sebagai manusia dan menekankan apa yang harus dilakukan untuk menumbuhkan masyarakat yang lebih baik. Tempat di mana kita semua bisa hidup dan makmur sebagai manusia. Kemanusiaan tentang apa yang kita lakukan di bumi ini dan menjadikan kita keluarga manusia yang lebih baik. Kemanusiaan tidak didorong oleh imbalan di luar planet ini tetapi tentang cinta satu sama lain dan cara terbaik untuk meringankan penderitaan umat manusia.

Kemanusiaan adalah tentang melakukan apa yang benar dan tidak berharap untuk dihargai di akhirat. Kita melakukannya karena kita ingin berkontribusi pada dunia yang lebih baik. Ini adalah tentang mematahkan batasan etnosentrisme dan superioritas dan menerima orang lain sebagai manusia, tidak menilai mereka sebagai kelas bawah atau warga kelas dua dan tiga. Ini adalah tentang memiliki simpati dan empati ketika kita melihat orang lain mengalami kesulitan.

Demi kemanusiaan kita harus mengulurkan tangan untuk membantu mereka. Kemanusiaan berada di atas agama karena ia tidak mengutuk orang, ia memandang manusia sebagai sama, ia menerima kelemahan mereka dan menciptakan ruang untuk mengakomodasi mereka. Kemanusiaan tidak memaksa siapa pun dengan cara apa pun melainkan menerima semua orang apa adanya.

Jadi, saya akan tetap memilih kemanusiaan bagi semuanya—termasuk kemanusiaan orang Papua—bila agama justru mengajarkan kita untuk saling membenci. Mungkinkah saya keliru tentang semua yang saya katakan barusan? Mungkin. Yang terpenting bagi saya adalah keyakinan. Saya memiliki sudut pandang saya sendiri yang tidak dibentuk oleh pendapat orang lain—baik soal agama ataupun apa pun itu. Kemanusiaan adalah sesuatu yang paling saya yakini hingga hari ini.

Baca juga

Memandang Kemerdekaan dari Papua

Sumpah Pemuda: Papua yang Indonesia dan Jakarta yang Bukan

Papua 2017: Kenyang Wacana, Haus Tindakan

Selamat Hari Ibu, Mama-Mama Papua

Papua Bukan Cuma Freeport

Roy Martin Simamora
Roy Martin Simamora
Peminat gender studies. Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.