Kamis, April 25, 2024

Bangkitnya Politik Baru Ala Anak Muda

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Peneliti Senior MAARIF Institute dan Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia

Sejak beberapa waktu belakangan politik di Indonesia disebut-sebut dikuasai oleh politisi-politisi tua. Regenerasi mengalami kemacetan di kalangan elite politik Jakarta, sementara di daerah-daerah kalangan muda mulai mengambil alih kepemimpinan politik.

CSIS pernah mensurvei 2000-an pimpinan partai politik di daerah pada 2015 lalu, yang didominasi usia 30-40 tahunan. Dalam diskusi Pojok Tanah Abang, direktur CSIS Philips J Vermonte mengungkapkan bahwa karier politik di tingkat nasional mentok di tingkat sekjen, tidak mungkin sampai ketua umum.

Kemacetan regenerasi mulai tampak ketika koalisi PDIP-Gerindra memutuskan mengusung Jokowi yang saat itu menjabat walikota Solo dua periode pada Pilkada DKI 2012 silam. Sejak kemunculan Jokowi di pentas politik Jakarta, gelombang kebangkitan politik baru muncul di daerah-daerah.

Di Bandung, arsitek profesional muda Ridwan Kamil (Kang Emil) memutuskan terjun ke politik dengan mencalonkan diri sebagai walikota. Pendukung Kang Emil rata-rata berlatar belakang komunitas anak-anak muda kreatif yang menjadi ciri khas kota Bandung.

Dari kota kecil Trenggalek di Jawa Timur, duet pasangan muda Emil Dardak dan Mochamad Nur Arifin memenangkan Pilkada 2016 ketika usianya masih di bawah 35 dan 30 tahun. Emil kemudian melawan keputusan PDIP dengan maju sebagai wakil gubernur Jawa Timur mendampingi Khofifah, dan menang.

Puncak dari gelombang politik baru ini adalah fenomena anak-anak muda yang mendirikan partai politiknya sendiri, Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Mereka menepis anggapan bahwa generasi milenial cenderung apatis terhadap politik dan enggan berpartisipasi dalam proses politik.

Para pengurus PSI di daerah-daerah berjibaku dengan persyaratan administratif untuk membentuk partai politik, hambatan yang kerap kali gagal dilakukan oleh elemen-elemen gerakan sosial. Perjuangan PSI berbuah manis dengan lolos verifikasi sebagai syarat untuk bertarung dalam proses elektoral.

Memasuki kancah politik yang sesungguhnya, PSI menjadi target serangan para politisi tua yang tidak menginginkan adanya kompetitor baru. Anak-anak muda PSI memilih fokus pada rekrutmen caleg, lagi-lagi bukan hal yang mudah di tengah maraknya politik uang dalam pelembagaan partai politik selama ini.

Pada akhirnya memang PSI tidak lolos ambang batas persyaratan 4% untuk menempatkan wakil di parlemen nasional (parliamentary threshold). Tetapi sebagai partai baru secara mengejutkan PSI berhasil meraup dukungan 2,8 juta suara dan memenangkan pemilihan di luar negeri.

Selain itu PSI juga merajai perolehan kursi di parlemen daerah. Di DKI Jakarta, PSI berhasil mengirim 8 wakil anak muda di Kebon Sirih, menggusur partai lama Hanura yang hancur di tingkat Senayan. Di DPRD Surabaya, Tangerang Selatan, dan Ende (NTT) PSI mampu membentuk fraksi tersendiri.

Di daerah-daerah lain, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, PSI mampu mengirim wakil-wakil terbaiknya dengan bersama partai-partai lain membentuk fraksi gabungan. Tersebar dari Nias Selatan hingga Yahukimo di Papua, dari Sumba Tengah (NTT) hingga Singkawang di Kalimantan.

Gebrakan awal PSI mengkritisi penyusunan KUA-PPAS oleh Gubernur Anies Baswedan mengundang perhatian publik. Selama ini proses pembahasan APBN/APBD kerap luput dari sorotan, bahkan nyaris tidak transparan, kecuali oleh kalangan pegiat masyarakat sipil yang memang fokus pada isu anggaran.

Padahal anggaran yang didapatkan sebagian besar dari pajak masyarakat merupakan kunci dari proses kebijakan publik direalisasikan. Masyarakat seringkali tidak tahu ke mana saja uangnya dipergunakan, sehingga tingkat kepercayaan untuk membayar pajak pun sulit ditingkatkan.

Politik baru saat ini menghadirkan tokoh-tokoh populer di ranah eksekutif, seperti Jokowi, Kang Emil, dan Risma. Setelah memenangkan proses elektoral, mereka mengawal kebijakan dan anggaran yang harus dinegosiasikan dengan parlemen, agar dideliver kepada rakyat dalam proses politik lima tahunan.

Kini PSI memunculkan politik baru ala anak muda yang berjuang di ranah legislatif, mengawal proses penganggaran agar berjalan transparan dan tepat sasaran. Setelah sebelumnya PSI juga memenangkan pertarungan elektoral di tingkat lokal.

Gejala baru ini menegaskan adagium bahwa perubahan sosial politik lebih banyak didorong oleh lapisan generasi baru yang menginginkan cara-cara baru mengelola kehidupan bernegara. Sejak Kebangkitan Nasional hingga demokratisasi pada 1998, anak muda selalu berada di garis depan perubahan.

Fenomena ini sekaligus mencerminkan akan adanya gelombang baru perubahan berikutnya, yang akan mengubah wajah masyarakat Indonesia untuk jangka waktu ke depan. Sudah saatnya generasi yang lebih tua memberi jalan bagi kelahiran angkatan baru untuk Indonesia maju.

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Peneliti Senior MAARIF Institute dan Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.