Sabtu, April 20, 2024

Balada SP3 Rizieq Shihab Dan Sikap Presiden Joko Widodo

Made Supriatma
Made Supriatma
Peneliti masalah sosial dan politik.

Pemerintahan Jokowi akhirnya memberikan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas kasus chat mesum yang dituduhkan kepada Rizieq Shihab. Sejak awal tuduhan ini memang lemah. Isinya adalah perbincangan pribadi antara dua orang. Tidak ada persekongkolan untuk merugikan orang lain. Untuk saya, ini adalah wilayah privat yang tidak boleh dimasuki oleh siapapun. Sulit sekali membangun kasus hukum untuk persoalan ini.

Pihak Polri mengatakan bahwa mereka menghentikan kasus ini karena tidak menemukan siapa pengunggah isi chat ini ke publik. Kalau ada tuntutan hukum, maka memang betul bahwa yang mengunggah itulah yang seharusnya terkena kasus hukum. Bukan Rizieq Shihab.

Saya juga tidak mengerti logika mengapa Rizieq Shihab harus hengkang dari Indonesia. Mengapa pihak yang perempuan yang diajak chatting harus ditahan? Apa yang salah dari dua orang bercakap di ruang privat — bahkan ketika mereka terlibat dalam asmara dan seksual? Sekali lagi mereka tidak melakukan persekongkolan untuk melakukan tindak kejahatan yang merugikan orang lain.

Menariknya, pihak Polri tidak pernah mengatakan bahwa chat ini tidak ada. Pada awal kasus ini, pihak Polri bahkan “pura-pura” dengan tidak sengaja meloloskan foto barang-barang yang disita, yang menunjukkan kesamaan dengan gambar-gambar yang ada di-chat tersebut. Penghentian penyidikan kasus ini tidak dengan serta merta menihilkan kemungkinan bahwa chat itu tidak terjadi.

Namun ada kelindan lain dalam kasus ini. Dan itu adalah menyangkut Muhammad Rizieq Shihab (MRS) sendiri. Dia adalah pemimpin sebuah organisasi yang sangat keras menuntut standar moral yang menurut mereka benar. Rizieq dan organisasinya mendefinisikan sendiri apa yang mereka namakan sebagai maksiat. Mereka mengangkat dirinya sendiri sebagai pihak yang menjadi ‘penegak’ (enforcer) atas hukum yang mereka bikin sendiri (sekalipun mereka klaim itu berasal dari Tuhan).

Dari sinilah persoalan itu muncul. Bukan persoalan hukum tetapi persoalan substansial yang menyangkut eksistensi Rizieq Shihab dan organisasinya di depan mahkamah opini publik (the court of public opinion). MRS mendaku diri sebagai moralis. Bukan hanya hanya sekedar moralis namun dia juga mengangkat diri sebagai penegak moral dengan segala anti-maksiatnya. Kasus ini persis menghujam ke jantungnya: bahwa polisi swakarsa anti-maksiat adalah justru pelaku maksiat ketika dia tidak berada di ruang publik!

Dia diadili oleh hukum yang diklaimnya dan dipakainya untuk menghakimi dan menghukum orang lain. Dalam hal ini, MRS beruntung karena kasusnya tidak dapat dituntut secara hukum positif.

Sekali pun demikian, MRS tidak akan terbebas dari mahkamah opini publik. Oleh karena itu, pertarungannya sekarang ini adalah pertarungan untuk membentuk opini publik. Namun ini mungkin tidak terlalu sulit diatasi. Rizieq Shihab sudah sangat berhasil membentuk citra dirinya. Pengikut dan simpatisannya tentu akan memberikannya cek kosong (blank check) dengan tidak mempertanyakan klaim-klaim moral yang selama ini dia khotbahkan.

Itulah sebabnya, dalam video pidatonya menyambut penghentian kasusnya, Rizieq Shihab, yang dikelilingi anak istrinya, berkali-kali menyebut chat itu sebagai ‘fitnah.’ Para simpatisan dan pengikutnya pun, mudah diduga, akan membebek dengan menyebut “chat fitnah.”

Sebagai seseorang yang hidup dalam jamannya Donald J. Trump, saya cukup akrab dengan persoalan ini. Taktik “katakan-terus-menerus-niscaya-orang-percaya” cukup berhasil dalam politik. Trump, dalam urusan tuduhan bahwa kampanyenya dibantu Rusia, selalu menghembus-hembuskan bahwa penyelidikan itu adalah sebuah ‘perburuan penyihir’ (witch hunt). Lama kelamaan publik Amerika percaya bahwa penyelidikan ini hanyalah soal politik yang ingin menjatuhkan presiden.

Yang juga menarik perhatian saya adalah bahwa belum pernah MRS tampil di depan publik lengkap dengan keluarganya – seorang istri dan lima putri yang cantik dan tampak saleh. Ini adalah sebuah public relations (PR) yang standar untuk orang yang terkena kasus skandal seksual. Biasanya, seorang tokoh publik yang tersangkut skandal macam ini akan berusaha memperlihatkan dia adalah bagian dari keluarga yang baik. Seringkali, sang istri juga memberikan pembelaan kepada suaminya dan menegaskan betapa si suami adalah orang yang bertanggungjawab.

Reaksi standar seperti ini mau tidak mau membikin saya bertanya-tanya, siapa yang berada dibalik public relations – yang tampak standar dan professional ini?

Dari berita-berita yang saya simak, hidup Rizieq Shihab di Arab Saudi tampaknya sangat berlimpah. Latar video pidatonya juga tidak menunjukkan kemiskinan atau standar hidup kebanyakan. Itu cenderung mewah. Ketika dia menerima Amien Rais dan Prabowo beberapa minggu lalu, tampak dia berada di ruangan suite yang mewah.

Jurnalis-jurnalis muda di Tirto.id pernah menulis laporan cerdas tentang hotel tempat dia menginap. Diantara berbagai kemungkinan, tarif hotel itu paling murah tujuh juta rupiah per malam.

Kita tidak pernah tahu bagaimana Rizieq Shihab hidup di Saudi. Adakah dia tinggal di hotel mewah terus menerus? Bagaimanakah rumahnya? Apakah yang dia kerjakan disana? Kalau melihat dari semua foto yang disebarkan di media, tidak ada satu pun yang tidak menggambarkan kemewahan.

MRS bukan pebisnis. Itu yang saya tahu. Siapakah yang membeayai hidupnya di Saudi? Tidak mudah hidup di negara asing dengan membawa semua anggota keluarga. Kabarnya dia dibeayai oleh Raja Saudi namun tidak ada bukti atas itu. Sayangnya, media kita tidak pernah berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

Politisi seperti Rizieq Shihab sekarang sedang naik daun. Saya kira, sebagaimana layaknya politisi, dia pun menata citranya dengan cukup hati-hati. Dia bertarung untuk memenangkan opini publik. Dia mulai dengan menjadi polisi moral. Namun, moralitas itu pulalah yang akan menghantui dia sebagai politisi. Dia akan diukur oleh meteran yang dia bikin sendiri.

Sodara, sebenarya tidak terlalu sulit untuk menilai seorang politisi macam MRS. Dia telah menetapkan standar untuk orang lain. Namun dia tidak mengharapkan Sodara akan menerapkan standar itu kepadanya. Para pengikut dan simpatisan fanatiknya pun tidak akan percaya bahwa dia akan melanggar meterannya sendiri. Itulah sebabnya narasi “fitnah” itu menjadi penting.

Untuk politisi macam Rizieq Shihab, Sodara tinggal mengukur dari meteran yang dia sediakan. Yang jauh lebih sulit adalah menilai presiden yang sekarang berkuasa di Amerika. Trump menetapkan standar yang serendah-rendahnya. Sehingga dia bisa menabrak apa saja. Sialnya, pemilih Amerika mengatakan bahwa ketidakberadaban Trump adalah bentuk kejujuran. Hal yang sama terjadi juga dengan Rodrigo Duterte di Philippine.

Kita bersyukur, politisi Indonesia belumlah secanggih Trump atau Duterte.

Made Supriatma
Made Supriatma
Peneliti masalah sosial dan politik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.