Senin, Oktober 14, 2024

Bahtiar Effendy, Muhammadiyah, dan Etos Intelektual

Ranah, Rantau dan Jokowi

Membedah Anxiety

Ahmad Fuad Fanani
Ahmad Fuad Fanani
Kader Muhammadiyah, Peneliti MAARIF Institute for Culture and Humanity, dan pernah mengajar di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kabar wafatnya Pak Bahtiar Effendy pada tanggal 21 November 2019 benar-benar sebuah kehilangan besar bagi Muhammadiyah dan intelektual Muslim Indonesia. Tapi saya yakin semangat dan spirit intelektual Pak Bahtiar terus bersemi di Muhammadiyah dan di kalangan intelektual Muslim Indonesia.

Dalam artikel ini, saya ingin mengenang kembali dan sekaligus memberi garis bawah tentang bagaimana perhatian beliau terhadap kaderisasi di Muhammadiyah dan pentingnya membangun etos intelektual di Indonesia.

Proses Pengenalan

Pengetahuan saya tentang Pak Bahtiar berjalan seiring dengan keterlibatan saya di Muhammadiyah. Saya mengetahui nama beliau ketika saya melanjutkan belajar di Fakultas Ushuluddin IAIN (Sekarang Universitas Islam Negeri (UIN)) Jakarta pada penghujung akhir abad ke 20 dan saya aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Ciputat.

Nama Bahtiar Effendy secara tidak sengaja muncul ketika saya menemukan undangan dari Pak Din Syamsuddin yang terselip di buku kakak saya (Ahmad Najib Burhani). Surat tahun 1994 itu berisi undangan untuk menghadiri tasyakuran Pak Bahtiar atas keberhasilan studi PhD-nya dari Amerika Serikat.

Pengenalan saya terhadap nama Pak Bahtiar berlanjut ketika teman saya (Edi Amin) pada tahun 1998 menenteng sebuah buku baru. Buku itu terlihat menarik, tebal, dan sangat ilmiah. Saya membuka dan membaca buku itu sekilas, banyak istilah-istilah yang saat itu belum saya pahami.

Teman saya itu dengan tekun membaca, mengkhatamkan, dan meresensinya di Kompas. Buku Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Paramadina, 1998) itu ternyata terjemahan disertasi Bahtiar di Ohio State University. Buku itu hingga saat ini banyak berpengaruh dan menjadi rujukan luas. Siapa pun yang mengkaji hubungan Islam dan negara di Indonesia, banyak merujuk ke buku itu. Mungkin hampir sama seperti buku Deliar Noer Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942 (1980) yang juga berasal dari disertasinya di Cornell University.

Setelah mendengar nama besar Pak Bahtiar dan bukunya, saya sangat antusias ingin mengikuti kuliahnya ketika mendengar bahwa pada semester keempat (awal 1999), akan ada jadwal mata kuliah beliau. Pak Din Syamsuddin juga dijadwalkan untuk mengajar di semester yang sama. Pak Din aktif mengajar dengan metode yang menarik dan merangsang mahasiswa untuk berani berpikir, berpendapat, dan memberi tugas akhir yang tidak konvensional: menulis riset paper.

Saya berharap berjumpa dengan Pak Bahtiar dan mendapat ilmu langsung dengan beliau. Namun sayangnya, Pak Bahtiar tidak pernah masuk di kelas dan diganti dosen lain. Konon katanya beliau sibuk mengajar di Pasca Sarjana UIN Jakarta dan sibuk dengan aktivitasnya di luar.

Kaderisasi di Muhammadiyah

Perjumpaan saya dengan Pak Bahtiar secara langsung baru terjadi pada tahun 2000. Tepatnya di acara bedah buku beliau (Re)politisasi Islam: Pernahkan Islam berhenti berpolitik? (Mizan, 2000) yang diselenggarakan oleh IMM Ciputat dan kebetulan saya sebagai ketua panitianya. Sebelum acara kita menemui beliau di PPIM UIN Jakarta dan beliau antusias dengan acara itu. Bahkan beliau menghadiri acara di Aula Fastabiqul Khairat dan menjadi salah satu pembicaranya.

Saat itu saya mengajukan satu pertanyaan dan diberi jawaban yang komprehensif dan mendalam oleh Pak Bahtiar. Yang saya ingat, waktu itu Pak Bahtiar juga memuji pertanyaan saya. Untuk anak muda yang sedang tumbuh dan mencari role model intelektual, pujiannya tentu sangat berarti buat saya.

Setelah perjumpaan di acara IMM Ciputat itu, saya sering bertemu dengan Pak Bahtiar dan beliau jika bertemu masih ingat dengan saya. Kita beberapa kali bertemu di beberapa acara, seperti ketika saya diajak oleh bang Saleh Partaonan Daulay ke acara MUI. Kita juga bertemu di acara Tanwir Muhammadiyah di Lombok tahun 2004. Dan berbagai perjumpaan dan perbincangan itu, saya menangkap kesan bahwa Pak Bahtiar sebetulnya tidak benar-benar angkuh dan “sulit didekati” seperti dikesankan banyak orang. Hanya beliau sepertinya sering jaim (jaga image) dan hanya akan akrab ketika kita sudah mengenalnya.

Setelah mengenal beliau, saya baru tahu bahwa Pak Bahtiar mau dekat dengan anak-anak muda sebagaimana Pak Din Syamsuddin, Pak Muhadjir Effendy, Pak Haedar Nashir, Mas Hajriyanto Thohari, Bang Jeffrie Geovanie, Bang Rizal Sukma, Mas Abdul Mu’ti, almarhum Kang Moeslim Abdurrahman, dan lainnya. Pak Bahtiar suka bercanda dan tidak jaim lagi, ketika kita sudah akrab dan dekat.

Perhatian Pak Bahtiar terhadap kaderisasi di Muhammadiyah mungkin tidak seterang dan seformal bapak-bapak Muhammadiyah lainnya. Namun beliau mempunyai cara dan metode sendiri dalam memberikan perhatian tentang pentingnya kaderisasi dan membina kader.

Pak Bahtiar memberikan sentuhan-sentuhan pribadi dan nasehat yang akan lekas kita ingat. Nasehat itu kadang diberikan di acara diskusi formal dan kadang diberikan secara khusus ketika kita bertemu dengannya. Misalnya, ketika pada tahun 2003 sedang maraknya wacana dan gerakan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah), beliau diundang menjadi pembicara di pengajian PP Muhammadiyah.

Saat itu Pak Bahtiar menyampaikan pentingnya anak-anak JIMM berpikir secara abstrak dan konseptual tentang berbagai masalah umat dan bangsa. Beliau juga menyarankan agar anak-anak JIMM jangan hanya puas berlindung di bawah tempurung dan hanya bergaul di internal Muhammadiyah saja. Beliau menekankan agar JIMM jangan hanya memikirkan masalah-masalah praktis dan rutinitas belaka.

Selain dalam forum-forum resmi, Pak Bahtiar juga mempunyai perhatian terhadap kiprah dan aktivitas anak-anak muda Muhammadiyah. Dalam berbagai kesempatan ketika saya dan Andar Nubowo sering bertemu dan dipanggil, beliau menanyakan tentang beberapa orang dan memberikan masukan substantif terhadap mereka.

Perhatiannya terhadap beberapa teman juga tampak ketika beliau menanyakan aktivitas kita dan memberikan nasehat yang sangat penting. Untuk saya pribadi, misalnya, beliau pernah memberikan nasehat tentang cara presentasi yang bagus dan meyakinkan setelah kita selesai menjadi pembicara bersama di sebuah forum. Yang sangat penting dan saya ingat hingga hari ini, beliau memberikan nasehat pada saya agar tidak hanya berhenti menjadi aktivis dan berpuas diri menjadi penulis kolom di media nasional saja, tapi harus sekolah lagi dan punya cita-cita yang tinggi. Beliau bersedia ikut mencarikan jalan ke arah itu dengan menyampaikannya ke Pak Din Syamsuddin. Saya yakin banyak teman-teman Muhammadiyah yang juga mendapatkan sentuhan pribadi dari Pak Bahtiar.

Sebagai seorang kader dan pimpinan Muhammadiyah, Pak Bahtiar sangat kuat komitmennya terhadap Muhammadiyah. Beliau akan sangat marah jika ada pihak-pihak yang meledek atau mem-bully Muhammadiyah di media sosial atau di ruang publik. Beliau sering menyampaikan kegerahan dan kegeraman ketika ada pihak-pihak yang menuduh Muhammadiyah dekat dengan Islam radikal, mendukung terorisme, dan anti pemerintah. Beliau meminta beberapa kader Muhammadiyah untuk memberikan respon secara tegas ketika ada orang yang secara subyektif merendahkan marwah Muhammadiyah atau tokoh-tokohnya.

Etos Intelektual

Sebagai seorang pemegang PhD dari Ohio State University, Pak Bahtiar adalah seorang intelektual sejati dan terus berusaha memegang teguh prinsip-prinsip intelektual sepanjang hidupnya. Beliau terus berusaha untuk membaca, menulis, meneliti, dan meng-update ilmu pengetahuannya. Beliau tidak pernah merasa puas dan berbangga diri meskipun sudah menjadi profesor dan disertasinya diterbitkan oleh penerbit luar negeri—sesuatu yang masih menjadi barang mewah bagi intelektual di Indonesia. Ini menegaskan seperti yang disampaikan oleh Din Syamsuddin bahwa Bahtiar adalah seorang pembaca dan penulis sejati.

Berkaitan dengan komitmen dan etosnya sebagai seorang intelektual, Bahtiar aktif mencari dan membaca literatur-literatur terbaru. Beliau sering mengirim email ke saya dan beberapa teman untuk mencarikan buku-buku dan jurnal-jurnal terbaru. Bahan-bahan itu beliau pakai untuk meng-update ilmunya dan sebagai persiapannya untuk mengajar dan berceramah.

Pada suatu waktu, beliau meminta saya mencarikan literatur-literatur terbaru tentang Ahmadiyah dan Syiah. Di lain waktu beliau meminta tolong saya mencarikan literatur terbaru tentang populisme dan sekulerisme. Di saat yang lain beliau juga minta tolong untuk dicarikan bahan terbaru tentang Muslim Brotherhood, Islamic movements, dan pendidikan.

Pernah juga beliau meminta saya mencarikan literatur tentang politics of piety. Setelah saya kirim artikel-artikel yang dicarinya, beliau dalam emailnya tertanggal 28 Mei 2016 menyampaikan:

“Wah, mantaPPP itu Ad. Ternyata scholarship Islam itu berkembang luar biasa ya. Cakupannya juga luar biasa luasnya. Sayangnya kurang begitu besar ya sumbangan cendekiawan Indonesia. Malah ada kecenderungan menurun karena dalam menulis tdk didasarkan pada intellectual atau epistemic passion…..”

Pak Bahtiar memang seorang pembaca dan penulis yang tekun. Itu ditunjukkan dengan buku-buku dan bahan yang diterima tidak hanya dicetak dan disimpan. Namun beliau membacanya dengan tuntas dan mengajak orang lain mendiskusikannya. Beliau sampaikan itu di berbagai kesempatan pada dosen FISIP UIN Jakarta. Perhatian yang sama juga diberikan ke mahasiswa-mahasiswanya di Pasca Sarjana UIN Jakarta. Pada emailnya tanggal 27 Februari 2019 Bahtiar menulis:

“Saya mau beri bahan-bahan bacaan kepada mahasiswa saya di paska UIN. Carl Brown salah satunya; ada gak buku dalam bahasa Inggris yang membahas dasar-dasar teologi politik Islam (dari masa nabi, sahabat, dst, seperti buku pak Munawir Sjadzali); kemudian buku tentang lslam dan demokrasi (selain Mirnisi) Islam dan globalisasi (selain tulisan Akbar Ahmed). Apalagi ya yang harus mereka baca yang ada kaitannya antara Islam dan politik atau negara. Mungkin juga buku tentan negara Islam (saya sudah ada beberapa, kalau anda ada ide boleh juga dikirim. Kalau ada yang di pdf ya. Tks”

Pak Bahtiar senantiasa berusaha menulis dengan intellectual atau epistemic passion. Hal ini tampak pada standar penulisan beliau yang tinggi dan kadang terkesan sangat perfeksionis. Ketika beberapa teman dan saya dilibatkan oleh Pak Din Syamsuddin sebagai tim asistensi PP Muhammadiyah dalam pembuatan naskah akademik buku Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan  Kebangsaan Yang Bermakna (2014) sepanjang tahun pertengahan tahun 2013-2014, saya menyaksikan bagaimana Pak Bahtiar sangat serius dalam diskusi-diskusi pembahasan dan penulisan naskah itu.

Ketika naskah itu sudah dalam tahap akhir namun karena Pak Bahtiar melihat naskah itu masih ada kekurangan secara teknis dan substansial, Pak Bahtiar di suatu pagi meminta saya menemaninya menyempurnakan naskah buku itu. Akhirnya selama hampir selama hampir 2 hari 2 malam saya menemani dan mengasisteninya mengedit naskah buku itu. Saya melihat bagaimana etos Pak Bahtiar dalam bekerja dan mendengar berbagai nasihatnya. Misalnya, kalau bekerja itu sebaiknya setiap 2 jam sekali perlu relaks sebentar agar pikiran jernih. Kemudian ketika malam dan sudah letih, sebaiknya tidur dulu dan kemudian bangun sekitar jam 02.00/03.00 pagi untuk melanjutkan menulis.

Selain memberikan contoh, dalam soal komitmen dan etos intelektual ini, Pak Bahtiar mendorong pada kader Muhammadiyah dan dosen-dosen FISIP UIN Jakarta untuk melanjutkan sekolah setinggi-tingginya. Mungkin karena melihat saya tidak berbakat menjadi politisi dan tidak mempunyai urat syaraf politik yang tinggi, beliau mendorong agar saya menuntaskan pendidikan hingga level tertinggi. Beliau pun bersedia memberikan rekomendasi dan sering mengingatkan agar kita tetap istiqamah di jalur keilmuan.

Karena komitmen intelektualnya itu, Pak Bahtiar tidak tergoda dan berusaha terus istiqamah untuk tidak terjun ke politik praktis hingga akhir hayatnya. Terkait dengan komitmen dan etos intelektual ini, Pak Bahtiar memberikan refleksi tentang guru-gurunya:

“….mereka adalah contoh yang baik, bahwa berkecimpung dalam suatu komunitas epistemik adalah satisfying and sekaligus rewarding” (“The Genesis of an Intellectual Tradition: Terbentuknya Komunitas Epistemik IAIN/UIN Jakarta”, 2016).

Akhirnya, perhatian Pak Bahtiar terhadap kaderisasi di Muhammadiyah, komitmen totalnya dalam ber-Muhammadiyah, nasehat dan dorongannya terhadap para intelektual muda untuk maju, dan etos keilmuannya yang tinggi dengan karya-karyanya, Insya Allah akan menjadi amal jariyah beliau. Selamat jalan Pak Bahtiar. Titip salam untuk Kang Moeslim Abdurrahman, semoga kita bisa mewarisi ghirah dan etos keilmuan Anda.

Ahmad Fuad Fanani
Ahmad Fuad Fanani
Kader Muhammadiyah, Peneliti MAARIF Institute for Culture and Humanity, dan pernah mengajar di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.