Masyarakat Indonesia, baik Muslim maupun non-Muslim, heboh karena video berdurasi 31 detik yang diunggah ke Youtube pada 6 Oktober 2016 oleh seseorang bernama Buni Yani. Dalam video tersebut, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berbicara kepada warga Kabupaten Kepulauan Seribu. Dalam sepenggal ujarannya, Ahok dinilai melecehkan surat al-Maidah, bahkan dianggap menistakan al-Qur’an.
Ujaran itu kemudian menjadi polemik di tengah masyarakat. Lalu, muncul berbagai pandangan dari sisi tafsir agama dan linguistik. Semua orang sekonyong-konyong menjadi “ahli tafsir” dan “pakar bahasa”.
Saya bukan pakar tafsir dan ahli bahasa. Saya cuma pengulas bahasa yang selama ini sering menulis dan mengomentari berbagai fenomena bahasa dalam kehidupan sehari-hari, terutama di media massa. Karena itu, saya tertarik pula untuk membahas ujaran Ahok tersebut.
Dalam penggalan video unggahan Buni Yani itu Ahok mengatakan, “Jadi, jangan percaya sama orang. Kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu enggak pilih saya. Dibohongi surat al-Maidah ayat 51, macam-macam itu.” Ada satu kata yang hilang di antara kata dibohongi dan surat, yakni pakai.
Dalam penggalan kalimat “dibohongi surat al-Maidah ayat 51”, hilangnya kata pakai mengubah arti kalimat tersebut. “Dibohongi surat al-Maidah ayat 51” artinya dibohongi oleh al-Maidah 51. Artinya, al-Maidah 51 itu bohong. Karena itu, umat Islam yang terprovokasi penggalan video tersebut marah besar kepada Ahok.
Pada Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One, 11 Oktober 2016, Buni Yani mengakui bahwa video unggahannya tak mengandung kata pakai. Ia mengaku bersalah dengan dalih bahwa ia tak sengaja menghilangkan kata itu. Terlepas dari sengaja atau tidak, hilangnya kata pakai sudah mengubah makna kalimat tersebut sehingga membuat orang terprovokasi.
Kembali ke persoalan ujaran yang keluar dari mulut alias bacot Ahok. Dalam video yang diunggah Pemerintah Provinsi DKI, ujaran Ahok mengandung kata pakai. Dalam Tesamoko Tesaurus Bahasa Indonesia (Gramedia, 2016), kata pakai (cak) ialah sinonim dengan. Dengan demikian, kalimat tersebut berarti bahwa al-Maidah 51 tidak bohong.
Sudah jelas begitu, namun sebagian orang menganggap bahwa kalimat yang mengandung kata dengan itu tetap berarti bahwa Ahok mengatakan al-Maidah 51 bohong. Mereka menganggap bahwa arti kata dengan sama dengan oleh. Jika memakai oleh, arti ayat tersebut sama dengan video unggahan Buni Yani yang di dalamnya tak terdapat kata dengan, bahwa ayat itu berarti bohong.
Padahal, dengan memakai kata dengan, ujaran Ahok itu berarti bahwa al-Maidah 51 benar, namun digunakan sebagai alat untuk berbohong. Dengan demikian, al-Maidah sebagai alat, sebagaimana alat lainnya, misalnya pisau, dapat digunakan untuk hal yang baik dan buruk. Pisau—sebagai alat bersifat netral—dapat digunakan untuk hal yang baik seperti memasak, dan bisa digunakan untuk membunuh orang. Apabila analogi perbandingan alat ini cocok, alatnya tidak bersalah.
Jika pembahasan tentang makna kata dengan dan oleh atau hilangnya kata dengan pada kalimat di atas sudah jelas, seharusnya polemik tersebut sudah selesai. Ternyata, masalahnya belum usai sampai di sana. Banyak orang, salah satunya Brili Agung Zaky Pradika, yang menganggap kata pakai di sana tidak mengubah maksud bahwa ujaran Ahok menghina al-Maidah. Ia mengajukan perbandingan lain, salah satunya al-Maidah ayat 3.
Menurut Brili, jika seorang ustaz mengimbau jemaahnya tidak memakan babi sesuai larangan Allah dalam al-Maidah ayat 3, lalu ada pedagang babi yang protes dengan mengatakan, “Jangan mau dibohongi ustaz pakai al-Maidah ayat 3,” pedagang babi tersebut menilai bahwa ayat tersebut bohong. Menurut saya, perbandingan itu tak bisa digunakan karena tafsir al-Maidah 3 hanya satu. Tak ada orang yang berbeda pendapat bahwa Allah melarang Muslim memakan babi.
Sementara itu, al-Maidah 51 ditafsirkan berbeda oleh banyak orang. Perbedaan tafsir itu bisa kita lihat faktanya pada polemik yang berkembang belakangan ini. Jika ada orang yang menganggap bahwa tafsir al-Maidah 51 itu hanya satu, yakni tidak apa-apa memilih pemimpin non-Muslim, orang tersebut melarang orang memiliki tafsir lain atas ayat tersebut.
Subjek yang Berbohong
Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhamadiyah melaporkan Ahok ke Polda Metro Jaya terkait dugaan penistaan agama (Antaranews.com, 7 Oktober 2016). Setelah saya telusuri, saya tidak menemukan kenyataan bahwa Ahok menistakan agama.
Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, ujaran Ahok itu mengancam keberagaman yang merupakan modal Indonesia dan keberagaman tafsir. Menurut Dahnil, Ahok menganggap orang yang memiliki tafsir yang berbeda terhadap al-Maidah 51 sebagai orang yang membodoh-bodohi orang lain (ILC, 11 Oktober). Dalam video itu, Ahok juga mengatakan, “Kalau bapak ibu merasa gak milih nih karena saya takut neraka, dibodohi gitu, ya gak apa-apa.”
Menurut Dahnil, orang boleh saja memiliki tafsir berbeda terhadap al-Maidah 51. Ada kelompok yang menafsirkan ayat itu dengan larangan memilih pemimpin dari kalangan Nasrani dan Yahudi. Ada pula yang menafsirkannya selain itu, misalnya larangan menjadikan orang Nasrani dan Yahudi sebagai teman atau sekutu dalam situasi perang. Namun, tidak boleh ada yang menyalahkan, apalagi menganggap bodoh, orang yang memiliki salah satu tafsiran tersebut.
Dahnil berpendapat bahwa Ahok sudah menyalahkan dan menganggap bodoh orang yang memiliki tafsir larangan memilih pemimpin non-Muslim itu. Karena itu, Dahnil menilai ujaran Ahok mengancam keberagaman tafsir atau pendapat.
Saya setuju dengan pendapat Dahnil dalam sudut pandang ini, sudut pandang pembahasan yang jarang digunakan orang dalam polemik ujaran Ahok ini. Kebanyakan orang hanya membahas kata pakai, dengan, dan oleh dalam ujaran tersebut.
Saya kutip ulang ujaran Ahok. “Jadi, jangan percaya sama orang. Kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu enggak pilih saya. Dibohongi surat al-Maidah ayat 51, macam-macam itu.” Lalu, “Kalau bapak ibu merasa gak milih nih karena saya takut neraka, dibodohi gitu, ya gak apa-apa.”
Kata kerja yang digunakan dalam kedua kalimat itu ialah kata kerja pasif, yakni dibohongi dan dibodohi (predikat). Ada subjek yang lesap di sana. Saya menduga, yang dituduh Ahok sebagai orang yang membohongi dan membodohi (kalau diubah menjadi kata kerja aktif) penduduk Kepulauan Seribu (objek yang dibohongi) dengan al-Maidah 51 (kata keterangan) ialah orang-orang yang memiliki tafsir larangan memilih pemimpin dari kalangan Nasrani dan Yahudi. Mereka adalah subjek yang lesap dan dituduh oleh Ahok membohongi dan membodohi itu.
Kalau ada orang, misalnya ulama atau ustaz, yang mengimbau masyarakat untuk tidak memilih pemimpin non-Muslim, apa masalahnya? Itu hak politik mereka. Selama ini, tak ada larangan bagi seseorang, termasuk ulama, memiliki pandangan politik. Lalu, mengapa Ahok menuduh orang yang memiliki tafsir demikian sebagai pembohong dan orang yang membodoh-bodohi? Itulah kesalahannya. Ia sudah masuk ke ranah tafsir orang, apalagi Ahok bukan Muslim. Ia boleh saja tak suka atau tak setuju dengan tafsir seperti itu. Tapi, ia tak berhak melarang orang memiliki tafsir lain, apalagi kalau orang tersebut ulama yang dianggap memiliki ilmu agama yang tinggi.
Kalaupun ada dua ulama yang memiliki tafsir berbeda, salah satu tafsir di antara keduanya tak bisa dikatakan salah. Berbeda bukan berarti salah. Bisa jadi keduanya betul. Sekarang pertanyaannya, siapa yang bisa memastikan salah satu tafsir itu salah? Belum ada, bukan? Jadi, tak ada yang boleh menyalahkan salah satu tafsir.
Jadi, Ahok sebagai non-Muslim tak punya hak melarang Muslim menafsirkan ayat al-Qur’an, apalagi menuduh orang yang punya tafsir itu sebagai pembohong dan membodohi orang.
Meski demikian, saya tetap tak menemukan ada unsur penistaan agama di sana karena Muslim, termasuk ulama, bukan agama, melainkan penganut agama.
Lalu, mengapa PP Pemuda Muhammadiyah melaporkan Ahok atas dugaan penistaan agama? Ternyata, masalahnya ada pada kalimat “dibohongi pakai surat al-Maidah ayat 51”. Menurut Dahnil, kalimat itu menyatakan bahwa Ahok menuduh al-Maidah sebagai surat yang bohong. Padahal, kalimat itu sudah jelas maknanya, seperti yang saya jelaskan di atas dan sudah pula dibahas oleh banyak orang.
Saya berkesimpulan, ujaran Ahok itu bukan masalah agama, melainkan murni masalah linguistik. Namun, karena kebetulan masalahnya berhubungan dengan agama—hal yang sensitif bagi Muslim Indonesia—masalah ini dipaksakan masuk ke ranah agama. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan keputusan bahwa Ahok menghina al-Qur’an dan ulama (Kompas.com, 11 Oktober).
Kalau ini masalah linguistik, mengapa MUI pula yang mengeluarkan keputusan bahwa kalimat Ahok itu mengandung unsur penghinaan terhadap al-Qur’an? Kalau penghinaan terhadap ulama, itu bisa diterima. Karena itu, Ahok mesti disidang dengan tuduhan menghina ulama karena menuduh orang yang memiliki tafsir berbeda di atas—di dalamnya termasuk ulama—sebagai orang yang membohongi dan membodohi orang lain memakai al-Maidah 51.
Atas semua kekacauan ini, para pakar bahasa harus turun tangan menjelaskan kepada masyarakat tentang ujaran Ahok itu. Para linguis mesti berkumpul dan silakan berdebat untuk mengeluarkan satu keputusan tentang masalah ini. Mereka harus mencerdaskan masyarakat dengan ilmu bahasa agar masyarakat bebas dari belenggu nafsu politik serta kebencian atas perbedaan agama dan etnis.