Tidak kurang dari 384 orang siap “bersitungkus lumus” untuk memenangkan bursa pemilihan calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejauh yang dapat diamati, daftar capim KPK tersebut diisi oleh figur-figur dari pelbagai institusi, mulai dari kepolisian, kejaksaan, komisioner incumbent, serta perwakilan dari pegawai internal KPK. Apakah ini kabar buruk bagi koruptor?
Sayangnya, proses pencarian pimpinan lembaga antirasuah ini tercemar oleh kegamangan publik terhadap panitia seleksi capim KPK yang dianggap tidak sekubu dengan agenda pemberantasan korupsi. Bahkan tidak sedikit publik menilai bahwa sebagian besar calon yang maju dalam kancah pertarungan capim KPK itu ibarat “musang berbulu ayam” yang disusupkan untuk memberangus KPK dari dalam.
Sudah tidak perlu ditegaskan lagi, korupsi adalah masalah utama bangsa kita. Tentu masih banyak masalah bangsa yang lain, tetapi korupsi adalah akar masalahnya. Benang sejarah mencatat betapa larutnya Indonesia dalam dominasi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menggerogoti setiap segmentasi penyelenggaraan pemerintahan. Masa pemerintahan Orde Baru (1966-1998) adalah potret paling sahih untuk menggambarkan itu.
Titik kulminasi yang mengawali keseriusan Indonesia untuk memberangus korupsi dimulai setelah reformasi 1998. Tumbangnya rezim Orde Baru yang korup pada penghujung tahun 1998 ditutup dengan amandemen terhadap UUD 1945. Implikasi dari empat kali amandemen itu bermuara pada terbentuknya beberapa lembaga negara independen sebagai the four branch of separation of power. KPK adalah lembaga independen yang lahir atas mandat rakyat penggerak reformasi yang mengehendaki pemerintahan yang bebas rasuah.
Namun, sejak kelahirannya KPK acapkali mengalami situasi sulit akibat perlawanan yang dilakukan para koruptor (corruptor fight back). Di tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi, fakta mengungkap bahwa koruptor juga terus mempersiapkan bedil dan peluru untuk memberedeli lembaga antirasuah itu.
Ada banyak cara pernah dilakukan, boleh jadi dengan membunuh UU antikorupsi atau UU lembaga antikorupsi. Cara ini nyatanya ditempuh para koruptor melalui revisi UU Tipikor dan perumusan RUU KUHP yang terang-terangan mengancam keberadaan KPK. Namun, ada cara lebih sederhana yang berdampak lebih destruktif, susupkan “musang berbulu domba” yang dapat mengganyang KPK dari dalam.
Figur Bermasalah
Muslihat inilah yang kiranya tercium dalam proses pemilihan capim KPK masa jabatan 2019-2023. Pertama, jika kita jeli menyigi, beberapa nama yang didapuk dalam pansel capim KPK punya rekam jejak buruk dalam agenda pemberantasan korupsi. Ketua pansel Yenti Ganarsih dan Harkristuti Harkrisnowo, misalnya, yang terlibat langsung sebagai tim ahli perumus Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang muatannya hendak “memakzulkan” keberadaan KPK.
Belum lagi figur pansel capim KPK Mualim Abdi yang terbukti melakukan plagiasi tulisan ketika mengikuti seleksi sebagai Dirjen Perundang-Undangan pada medio 2014, serta tidak melaporkan hartanya secara lengkap pada Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara [LHKPN] terkait polis asuransi sebesar Rp 2,5 miliar.
Bahkan, pansel capim KPK juga diisi oleh sosok Indriyanto Seno Adji. Jamak diketahui, sepanjang perjalanan karirnya, Indriyanto acapkali berseberangan dengan KPK karena keterlibatannya dalam membela pelaku tindak pidana korupsi. Indriyanto pernah memberikan pendampingan pada Abdullah Puteh, mantan Gubernur Aceh yang tersandung kasus korupsi pengadaan Helikopter Mi-2 yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 13,6 miliar.
Komposisi capim KPK yang rombeng itu kian diperparah dengan mencuatnya nama beberapa penegak hukum (baca: kepolisian dan kejaksaan) dalam daftar calon komisioner KPK periode 2019-2023. Kita tentu menolak lupa pada preseden cicak versus buaya yang mengungkap tajamnya friksi yang terjadi antara KPK dan kepolisian. Maka, adanya kekhawatiran serius terhadap menyusupnya “buaya berkulit cicak” menjadi relevan.
Jerat Massal
Harus dimaklumi bahwa seleksi Komisioner KPK merupakan salah satu proses seleksi pimpinan lembaga negara yang paling menyita perhatian publik. Dalam pencarian pimpinan KPK, publik secara gamblang dapat menyaksikan pertarungan dua kutub kepentingan yang pro dan kontra dalam upaya memusnahkan korupsi. Pihak yang kontra pemberantasan korupsi berupaya melakukan infiltrasi/ penyusupan ke dalam KPK sebagai jalan untuk memperlemah kinerja KPK.
Pelbagai tarik menarik kepentingan ini tidak bisa dilepaskan dari sepak terjang KPK dalam berbagai kerja pemberantasan korupsi, khususnya di sektor penindakan. Maka, tiada cara lain yang dapat dilakukan untuk menjaga KPK selain memastikan sebuah seleksi yang objektif, transparan dan tanpa konflik kepentingan (conflict of interest).
Berdasarkan studi United Nation Development Program (UNDP), independensi Komisi Antikorupsi lebih banyak dinilai oleh (i) Tersedianya mekanisme yang transparan untuk menilai kinerja yang bersangkutan, sehingga dapat menjaga agar fungsinya tidak bias (ii) Pemilihan pimpinan-pimpinan komisi tersebut menggunakan prosedur yang demokratis, transparan dan objektif (iii) Pimpinan komisi yang terpilih dikenal sebagai orang dengan integritas yang baik dan telah teruji.
Figur yang akan menahkodai KPK, baik pimpinan maupun pekerja, mesti diisi oleh individu yang rekam jejak serta profesionalismenya sesuai ketentuan Pasal 11 UU No. 30/2002 tentang KPK. Selain itu, diperlukan pimpinan dan pegawai KPK yang berintegritas tinggi dan tegar terhadap godaan dan kiat yang canggih dari mereka yang menentang pemberantasan korupsi dan beriktikad buruk terhadap KPK.
Dengan tertib berpikir demikian, mempercayakan proses pencarian pimpinan KPK periode 2019-2023 secara bulat tanpa pengawasan adalah langkah yang berisiko. Publik perlu turun tangan sebagai penyaring masif guna memastikan figur yang didapuk menjadi komisioner KPK ialah pribadi berintegritas dan punya nyali besar untuk memberangus korupsi. Jangan sampai komisioner terpilih nanti malah menjadi kuda troya yang menumbangkan KPK dari dalam.