Professor Quraish Shihab beberapa waktu lalu mendapatkan penghargaan bergengsi dari Pemerintah Mesir, bersama-sama dengan ulama-ulama terkemuka dunia lainnya, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Ada nama Syaikh al-Maraghi, ada Syaikh Ali Abdur Raziq, dan masih banyak lagi.
Sudah barang tentu, penghargaan atas Prof. Quraish Shihab tidak hanya untuk dirinya, namun juga untuk umat Islam Indonesia secara keseluruhan. Tapi tahukah anda bahwa, sebagian umat Islam di Indonesia masih ada saja yang melecehkan Prof. Quraish Shihab?
Ketika beliau menggalakkan pentingnya dialog Sunni-Syiah, ramai-ramai beliau dicap sebagai Syiah. Ketika beliau mengatakan bahwa jilbab boleh tidak dikenakan bagi perempuan Muslim, ramai-ramai beliau dicap sebagai orang yang keluar dari ajaran Syariah. Ketika beliau mengatakan jika “rahmat” Allahlah yang menyebabkan seseorang, termasuk Rasulullah, masuk surga, beliau juga ramai-ramai dikatakan sesat.
Sebetulnya tidak hanya pada Prof. Quraish Shihab saja, sebagian umat Islam Indonesia memang lebih suka mencaci daripada menghargai pemikiran ulama mereka. Almarhum Gus Dur dan Cak Nur adalah dua ulama besar, yang tidak hanya memiliki reputasi nasional bahkan internasional, juga sering menjadi sasaran kebencian mereka.
Jika dulu Gus Dur dilecehkan karena gagasan pribumisasi Islam, mengganti “assalamu ’alaikum” dengan “selamat pagi” dan lain sebagainya, Cak Nur dilecehkan karena pernyataannya “Islam Yes Politik No” dan “tidak ada tuhan selain Tuhan (T besar)” sebagai terjemahan “la ilaha illallah.”
Jika kita lihat secara saksama, pihak yang sering melecehkan ini juga bukan orang-orang yang memiliki latar belakang ahli agama. Bahkan mereka terkadang tidak paham pada apa yang mereka tuduhkan.
Kebanyakan mereka hanya ikut saja pada tokoh-tokoh idola mereka, seperti Felix Siauw, Sugi Nur Raharja, dan lain sebagainya. Yang mana, tokoh-tokoh idola mereka pun sebenarnya tidak sebanding secara intelektual, apabila dibandingkan dengan kapasitas tokoh-tokoh seperti Prof. Quraish Shihab, Gus Dur dan Cak Nur.
Mereka tidak paham bahwa tokoh seperti Pak Quraish, Gus Dur, dan Cak Nur dalam mencapai tingkat pengetahuannya itu, melalui proses berjenjang-jenjang. Berapa ratus kitab tafsir, hadis, fiqih, usul fiqih, tasawuf, dan nahwu yang harus mereka pelajari. Tokoh-tokoh ini belajar agama dari kecil di surau-surau, sampai mereka berhasil mendapat gelar akademik tertinggi.
Untuk sampai gelar Doktor di al-Azhar dalam bidang ilmu tafsir misalnya, Professor Quraish Shihab tidak hanya menghafal al-Qur’an 30 juz, karena itu merupakan syarat akademik, tapi juga menguasai fan-fan (cabang-cabang) ilmu keislaman yang lainnya. Tidak hanya membaca, mempelajari dan mencerna, mereka juga harus mampu menawarkan pemikiran mereka sendiri lewat karya tulis mereka.
Mereka yang membenci ini termakan oleh pengetahuan dangkal dan fanatisme kekelompokan yang melampaui batas. Mereka kebanyakan adalah kelompok yang memang sudah apriori terhadap apapun yang dinyatakan oleh ulama-ulama yang memiliki pemikiran terbuka seperti Pak Quraish, Gusdur dan Cak Nur.
Orang-orang yang tertutup ini tidak paham, jika di dalam pemikiran Islam memang menyimpan peluang untuk berbeda pendapat di kalangan para ulama.
Mereka memang tidak mengetahui, jika pemikiran yang didasarkan pada ijtihad itu tidak pernah tidak, pasti akan diganjar oleh Allah, baik itu benar atau salah ijtihadnya. Bila benar mendapat dua, bila salah mendapat satu pahala. Pendek kata, kelompok ini hanya bisa memberi makian, tidak bisa memberi pilihan yang lainnya.
Sungguh sayang, negeri Muslim sebesar ini masih ada saja kelompok yang tidak mau menghargai khazanah pemikiran keislaman yang luas, inklusif, dan cekatan dalam menghadapi tantangan zaman, yang ditawarkan oleh ulama-ulama Indonesia sendiri.
Mereka lebih percaya pada informasi yang dangkal, provokatif dan bahkan palsu (fake news).
Berbeda itu hal yang wajar. Ajaran Islam mengatakan, bahwa perbedaan di antara kalangan pemimpin, terutama ulama sebagai pemimpin agama adalah bentuk rahmat dari Allah. Dengan perbedaan itulah, kemudahan bagi orang Islam secara umum itu terbuka.
Karenanya, berbeda itu diperbolehkan, namun hal itu jangan sampai menyebabkan kebencian, apalagi pengkafiran atas mereka yang kita anggap berbeda.
Kita harus belajar pada pengalaman pergaulan ulama di masa lalu, bagaimana satu ulama dengan ulama yang lain saling menghargai dan memuji, meskipun mereka memiliki perbedaan dalam bermazhab.
Saya contohkan di sini, betapa Imam Syafii memuji Imam ibn Hanbal, yang tadinya adalah muridnya dan kemudian menjadi mazhab tersendiri.
Imam Syafii suatu saat mengatakan:
“Ahmad ibn Hanbal itu menjadi imam atas delapan perkara; imam dalam bidang hadis, imam dalam bidang fiqih, imam dalam bidang al-Quran, imam dalam bidang Bahasa, imam dalam bidang Sunnah, imam dalam bidang asketisme (zuhud), imam dalam bidang kewira’ian, imam dalam bidang kefakiran.”
Imam Syafii juga mengatakan, “Suatu saat, saya keluar dari kota Baghdad, dan sepeninggalku, tidak ada orang yang lebih menjaga dirinya, ketaqwaannya, dan keahliannya dalam bidang agama kecuali Imam Ahmad.”
Imam Syafii juga mengatakan lagi, “Kamu (Imam ibn Hanbal) lebih tahu soal hadis dariku, apabila ada hadis, apakah itu hadis Kuffah atau hadis Syam maka itu semua membuatku mengerti, sehingga aku (Imam Syafii) bermazhab kepadanya.
Sebagai catatan terakhir, ini adalah contoh di mana saling harga-menghargai pendapat itu indah. Jika kita bisa saling harga-menghargai, lantas mengapa kita saling membenci?
Bacaan Terkait: