Burnley hampir saja menodai pesta perayaan 20 tahun Arsene Wenger bersama Arsenal. Kado spesial berupa kemenangan nyaris gagal dipersembahkan para punggawa Arsenal di momen spesial sang manajer. Gempuran para pemain The Gunners sejak menit awal tak kunjung membuahkan hasil hingga laga hanya tersisa beberapa detik saja.
Bukan sepakbola namanya jika tidak ada drama di dalamnya. Dan drama itu kembali tersaji di Stadion Turf Moor pekan lalu. Ketika semua mengira laga akan berakhir tanpa gol, Laurent Koscielny muncul sebagai aktor yang mengubah segalanya. Terlepas dari kontroversi di dalamnya, bola sudah telanjur melewati garis gawang. Wasit mengesahkan itu menjadi gol.
Better late than never. Laurent’s late, late goal means we take all three points! Begitu tulis akun media sosial resmi milik Arsenal.
Ketika wasit meniupkan peluit akhir, sorot kamera langsung tertuju pada sosok lelaki tua di pinggir garis lapangan. Senyum sumringah Arsene Wenger sedikit mengurangi kerutan di wajahnya, tapi tidak dengan angka-angka usianya. Wenger tetaplah seorang pelatih berusia 66 tahun. Yang 20 tahun terakhirnya dihabiskan untuk melatih satu tim: Arsenal.
Kurun waktu 20 tahun tentu bukan masa yang singkat untuk sebuah pengabdian pada satu klub saja. Mendapat kepercayaan menukangi satu klub selama 20 tahun tentu juga bukan pencapaian sembarangan. Hanya orang-orang terpilih dan punya keahlian khusus yang bakal mampu meraih capaian itu. Tanpa perlu menengok torehan trofi yang dipersembahkan, bagi saya, Arsene Wenger tetaplah sosok pelatih spesial di dunia.
Jika menilik ulang catatan sejarah tentang awal kedatangannya ke London, tak sedikit yang memprediksi kalau karir kepelatihan Wenger bersama The Gunners hanya akan seumur jagung. Prediksi itu tentu sangat masuk akal mengingat Wenger adalah sosok “asing” di sepakbola Inggris. Kultur sepakbola Inggris kala itu masih sangat sulit menerima kehadiran sosok pelatih dari luar Britania Raya. Alasannya sederhana, sebelum kehadiran Wenger, tak pernah ada satu pun sosok pelatih dari luar Britania Raya yang sukses di Liga Inggris.
Sebagai pelatih berkebangsaan Prancis, Wenger dianggap tidak punya pengetahuan mumpuni tentang sepakbola kelas wahid ala Liga Inggris. Sebagai bangsa—yang katanya—penemu sepakbola, kecongkakan sebagain besar warga Inggris tentang sepakbola juga dirasakan Wenger.
Berbagai macam sindiran dari media-media Inggris juga turut menyambut kehadiran Wenger. Semua yang melekat pada Wenger menjadi bahan obrolan, tak terkecuali gaya berpakaiannya. Penampilan Wenger dianggap lebih mirip guru hononer dan jauh dari kesan sebagai sosok manajer klub besar di Liga Inggris.
Selain dianggap sebagai sosok asing, Wenger juga datang ke Arsenal tanpa dibekali CV kepelatihan yang gemilang. Datang sebagai mantan pelatih Nagoya Grampus Eight tentu menjadi modal awal yang tidak terlalu bagus bagi Wenger. Gelar juara bersama Nagoya Grampus dan penghargaan sebagai pelatih terbaik liga Jepang tetap dirasa belum cukup bagi Wenger untuk mengisi posisi prestisius di Arsenal.
Kemampuan Wenger menggunakan lima bahasa juga tak dianggap sebagai nilai plus. Kala itu, sepertinya, pecinta bola di Inggris sudah sepakat dengan satu pernyataan: pokoknya Wenger tidak pantas jadi pelatih Arsenal. Titik.
“Ketika saya datang ke sini (London) orang memiliki pemikiran bahwa seorang manajer asing tidak bisa sukses di Inggris. Tapi saya percaya bahwa kehidupan profesional yang sukses adalah bertemunya sikap (yang baik) dan seseorang yang memberi Anda kesempatan,” cerita Wenger di laman resmi klub.
Isu miring tentang proses kedatangan Wenger sempat menjadi obrolan warung kopi di London. Penunjukan Wenger sebagai manajer disinyalir karena ada deal di balik meja antara dirinya dan salah satu petinggi klub. Tuduhan itu cukup beralasan mengingat Wenger sejatinya memang punya kedekatan khusus dengan vice-chairman Arsenal David Dein.
Segala macam tuduhan pada Wenger boleh saja mengalir deras bak banjir bandang di Garut beberapa waktu lalu. Tapi keyakinan Wenger tetap berdiri kokoh layaknya mercusuar yang selalu tahu lebih dulu tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Tanpa basa-basi Wenger langsung melakukan perubahan besar-besaran di tubuh Arsenal sejak hari pertama dirinya bekerja, 1 Oktober 1996.
Semboyan “Arsenal Way” dicetuskan Wenger dengan perencanaan matang dan detail. Sebagai manajer yang memiliki wewenang penuh, Wenger memoles Arsenal menjadi klub sepakbola elegan. Secara tampilan luar, Arsenal disulap menjadi tim yang modis. Secara taktikal, filosofi permainan menyerang ala Wenger menjadi tontonan menyenangkan dan berhasil memikat perhatian khalayak. Tak butuh waktu lama bagi Wenger menjadikan Arsenal sebagai trendsetter, baik di luar maupun di dalam lapangan.
Dobel gelar langsung dipersembahkan Wenger di tahun keduanya bersama tim Gudang Peluru. Capaian itu semakin mengikis prasangka-prasangka buruk tentang pelatih yang awalnya selalu dicap bakal gagal.
Tak perhenti di situ, sang guru honorer kembali mempersembahkan capaian prestisius pada musim 2003-2004. Arsenal berhasil menjadi juara liga tanpa tersentuh kekalahan. Arsenal berhasil menyamai rekor Preston North End pada 1889 (bahkan melebihi mengingat Arsenal punya 16 pertandingan lebih banyak dari Preston). Sebuah rekor yang hingga saat ini belum mampu disamai oleh tim-tim kasta tertinggi Liga Inggris.
Kemampuan manajerial Wenger semakin terlihat sempurna berkat keahliannya di bidang ekonomi. Urusan neraca keuangan Arsenal sejauh ini tak pernah mengalami masalah. Bahkan ketika Arsenal harus berutang dalam jumlah besar untuk membangun sebuah stadion baru. Kapabilitas Wenger sebagai ekonom terpelajar dipertaruhkan ketika ia mengambil keputusan membangun stadion baru yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari Stadion Highbury. Langkah itu terbukti tepat dan Arsenal mulai merasakan hasilnya sejak beberapa musim terakhir.
Akumulasi pencapain Wenger bersama Arsenal kemudian menasbihkan dirinya sebagai Sang Profesor. Julukan The Professor semakin lekat bersama Arsene Wenger seiring dengan masih adanya kepercayaan petinggi Arsenal kepadanya. Wenger memang sang profesor sejati. Jika tidak demikian, petinggi Arsenal tak pernah punya pemakluman untuk puasa gelar yang sempat melanda The Gunners dalam beberapa tahun.
Karir The Professor bersama Arsenal sempat dispekulasikan awal musim lalu. Isu tentang pemecatan Wenger berembus kencang. Suara sumbang tentang mosi tidak percaya terhadap Wenger juga sempat menyeruak di kalangan suporter Arsenal. Tapi lagi-lagi pada kenyataannya petinggi Arsenal tetap tenang-tenang saja dan masih mempercayakan Arsenal pada The Professor.
Kepercayaan itu kembali dibayar lunas oleh Wenger dengan torehan hasil bagus di beberapa laga awal The Gunners. Spanduk bertuliskan “In Arsene We Trust” kembali muncul di Emirates Stadium.
Arsene Wenger seolah punya kuasa penuh untuk menentukan nasibnya sendiri di Arsenal. Berharap Wenger dipecat bisa jadi adalah hal yang sia-sia. Kalaupun ingin dia pergi, biarkan dia pergi dengan sendirinya.