Kita patut memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya atas tindakan berani dan jujur Presiden Jokowi untuk mencabut lampiran Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Investasi Miras yang dikeluarkan beberapa saat lalu. Dalam pernyataan resminya, Presiden Jokowi mendengarkan masukan-masukan dari para ulama, organisasi-organisasi besar seperti MUI, Muhammadiyah dan NU atas penolakan mereka semua. Dengan pencabutan ini diharapkan seluruh masalah ikutan yang terkait dengan penerbitan Perpres ini juga akan berakhir.
Lalu persoalannya, apakah pencabutan Perpres ini benar-benar mengakhiri persoalan yang mengitari masalah investasi Miras ini?
Dalam pandangan saya, pencabutan Perpres ini justru menambah atau mempertebal persoalan rumit yang selama ini terus terjadi, namun tidak ada jalan keluarnya. Masalah Perpres Miras ini tidak berhenti pada Perpres ini sendiri. Pencabutan Perpres dalam perspektif yang lebih luas merupakan bentuk keberhasilan bagi mereka yang menginginkan adanya kontrol hukum syariah atas hukum negara.
Jika kita perhatikan Perpres No. 10/2021, di sana disebut bahwa investasi Miras ini dibatasi untuk provinsi-provinsi yang menurut penyusun Perpres dianggap tidak memiliki persoalan dengan hadirnya investasi. Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Papua adalah provinsi yang dipilih.
Untuk provinsi di luar empat itu yang menentukan dua pihak yakni BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Dengan Perpres inipun sebenarnya juga belum tentu para gubernur dan juga BKPM berani membuka investasi yang dianjurkan Perpres, meskipun DKI Jakarta sendiri konon memiliki saham di Bir Bintang.
Persoalan Miras sebenarnya tidak hanya muncul pada era Jokowi, namun sudah lama ada dan menjadi perbincangan di Indonesia. Di dalam tradisi kebajikan lokal, minuman berkandungan alkohol sudah menjadi konsumsi sebagian nenek moyang kita. Tidak hanya minuman, namun makanan beralkohol juga banyak kita jumpai bahkan sampai saat sekarang.
Jika kita perhatikan, di dalam sejarah kita, nampaknya belum pernah ada aturan pelarangan mutlak atas Miras ini. Apa yang sudah ada adalah aturan yang mengendalikan dan mengawasi peredaran Miras. Presiden SBY pada masanya telah menerbitkan Perpres No.74/ 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Sesuai dengan judulnya, Perpres di atas bukan merupakan bentuk pelarangan, namun mengendalikan dan mengawasi peredaran. Perpres ini juga menarik karena dalam menyebutkan definisi minumuman beralkohol yang digunakan adalah definisi keilmuan.
Minuman beralkohol di dalam Perpres tidak didefinisikan sebagai minuman yang misalnya dilarang oleh syariah karena memabukkan. Hal buruknya lebih besar dari hal kemanfaatannya. Dalam Perpres di atas dinyatakan “Minuman Beralkohol adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi.”
Selanjutnya, dinyatakan jika minuman beralkohol tradisional itu minuman yang dibuat secara tradisional untuk upacara keagamaan. Pengaturan distribusinya, kategori A –minuman beralokohol dengan konten di bawah 5 % itu boleh dijual di toko-toko retail. Kategori B dan C dengan kandungan 5-20 % dan 20-55 % diawasi peredarannya dengan ketat. Saya ingin katakan jika apa yang sudah ada adalah pengaturan dan pengawasan bukan pelarangan.
Jika mau, Jokowi tetap bisa melaksanakan Perpresnya, namun dalam konteks ini, Jokowi lebih memililih mendengarkan dan memperhatikan aspirasi sebagian besar umat Islam atas masalah ini. Jika boleh saya komentar, maka perhatian Jokowi yang diwujudkan dalam bentuk pencabutan Perpresnya sebenarnya menyimpan masalah ikutan kaitannya dengan pertarungan antara hukum negara dan hukum syariah pada satu sisi dan tradisi lokal pada sisi lainnya.
Pencabutan Perpres Miras sudah barang tentu hal yang memang diharapkan oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia karena Miras memang dilarang di dalam ajaran Islam. Sebagai umat Islam lain juga merasa bersyukur karena pencabutan ini membuktikan bahwa hukum Islam diperhatikan di dalam hukum negara kita. Bahkan tidak hanya diperhatikan namun dalam beberapa kasus dimenangkan.
Namun apakah suasana seperti ini akan menjadi hal yang cocok dengan konteks kita sebagai negara Pancasila. Memang benar di dalam negara Pancasila, agama bisa diadopsi dan diformalisasikan ke dalam hukum negara selama melalui proses demokratis.
Namun, sekali lagi, jika mayoritarianisme menjadi pertimbangan untuk mengadakan sebuah hukum, lalu bagaimana nasib negara Pancasila kita di masa depan. Apakah kita harus memenuhi semua hukum agama untuk hukum nasional kita? Apakah semua yang dilarang di dalam hukum agama harus juga dilarang di dalam hukum nasional kita? Apakah semua hal yang diperintahkan di dalam hukum agama juga harus kita perintahkan di dalam hukum negara kita? Persoalan-persoalan seperti ini yang mungkin harus kita jawab, terutama kepada mereka yang selama ini menjadi warga negara minoritas di negeri kita, yang tidak memiliki keberatan dengan minuman dan makanan beralkohol. Apakah mereka lalu tidak dibolehkan untuk berusaha dalam bidang ini karena usaha dalam bidang ini tidak dibolehkan oleh ajaran keagamaan kelompok mayoritas?
Jika kita tidak memiliki cara untuk memutus rantai pertentangan ini, dengan mekanisme sosial, politik dan budaya yang kita, maka nampaknya kehidupan di negara kita akan terus berada dalam suasana pertikaian antara hukum agama dan hukum negara. Mungkin masalah Perpres Miras ini reda sementara dengan pencabutan Perpres ini, namun masalah lain yang serupa juga akan muncul ke permukaan kita.
Dalam proses demokrasi, pertentangan antara nilai-nilai agama dan negara memang wajar mengemuka, namun jika tidak ada mekanisme jalan keluarnya, maka jangan heran jika kita terus memperdebatkan masalah ini. Selama ini kita memang terkadang tidak konsisten dengan perilaku kita. Pada satu sisi, melarang kehadiran doktrin agama pada bidang politik, namun membuka doktrin agama dalam bidang ekonomi di negeri kita.
Sebagai catatan, pencabutan lampiran Perpres tentang Miras ini merefleksikan masalah yang komplek. Pertimbangan-pertimbangan keagamaan masih sangat kuat melatarbelakangi pengambilan dan pembuatan kebijakan para pimpinan negeri kita.
Mari kita apresiasi Presiden Jokowi atas kebijakannya untuk mencabut Perpres Mirasnya, seraya kita juga tidak lupa bahwa kita akan menghadapi masalah-masalah seperti ini di masa depan kehidupan kebangsaan kita.