Tulisan berikut ini bukan hal penting dan baru. Saya sebut demikian oleh karena semua pembaca sudah mengetahui apa sebenarnya NU dan juga Muhammadiyah itu. Sehari-hari kita melihat dan juga bergaul dengan orang-orang yang kita sebut sebagai warga NU dan demikian pula orang-orang yang memiliki kartu anggota Muhammadiyah. Dengan demikian, pengetahuan tentang NU dan Muhammadiyah sudah menjadi sangat populer.
Namun demikian, masih ada saja orang yang bertanya kepada saya, apa sebenarnya NU dan Muhammadiyah itu. Saya kurang memahaminya, apakah pertanyaan itu sekadar menggoda, oleh karena saya pernah aktif di organisasi Muhammadiyah hingga tingkat nasional dan juga sekarang menjadi Wakil Rois Syuriah NU Jawa Timur itu. Mungkin saja, melihat apa yang saya alami itu, orang lalu penasaran dan bertanya, apa sebenarnya persamaan antara keduanya.
Untung saja yang ditanyakan itu adalah persamaannya, dan bukan tentang sebaliknya, ialah menyangkut perbedaannya. Manakala yang ditanyakan tentang perbedaan, bisa saja jawaban itu bersifat subjektif atau kurang tepat hingga menyinggung salah satu di antaranya.
Akan tetapi, jika yang ditanyakan itu tentang persamaannya, maka kiranya tidak akan ada yang merasa terganggu. Apalagi akhir-akhir ini, semua pihak menginginkan umat Islam semakin saling mendekat dan bersatu hingga menjadi kokoh. Untuk itu, mereka saling mencari titik temu yang akan dijadikan sebagai modal untuk membangun persatuan itu.
Persamaan antara NU dan Muhammadiyah cukup banyak. Akan tetapi, jika menyebut di antaranya saja, misalnya, bahwa NU dan Muhammadiyah adalah sama-sama menganut ajaran Islam, hanya mengakui Tuhan yang satu atau esa, ialah Allah SWT, mempercayai bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, dan oleh karena itu, menjadikan kehidupannya sebagai teladan, Al-Qur’an adalah kitab suci yang harus dipedomani, berkiblat kepada Ka’bah, dan keduanya sama-sama berusaha menjalankan kelima rukun Islam sebaik-baiknya.
Saya juga menjelaskan bahwa selama bergaul dengan orang-orang NU dan juga orang-orang Muhammadiyah, tidak ada di antara mereka yang saling mendoakan hal yang tidak baik. Mereka semua, pada setiap hari, mendoakan agar kaum muslimin dan muslimat, tanpa terkecuali, dikaruniai keselamatan, ampunan dari Allah, kesehatan, dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Doa itu juga tidak bersifat diskriminatif, misalnya, hanya umat Islam yang khusus menjadi anggota NU dan atau khusus sebagai anggota Muhammadiyah. Dalam doa tidak pernah disebutkan jenis anggota organisasi itu.
Selain itu, orang NU juga merasa senang manakala ada orang Muhammadiyah ikut shalat berjamaah bersamanya. Apalagi, pada suatu saat, dalam kegiatan kultural, misalnya istighatsah, tahlil, dan semacamnya, kemudian kelihatan bahwa ada orang Muhammadiyah ikut hadir, mereka menjadi senang.
Demikian pula sebaliknya, orang Muhammadiyah juga akan gembira manakala terdapat orang NU yang memasukkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan dan berobat ke rumah sakit yang dikembangkannya. Hal sama pula, orang NU juga bergembira manakala ada anak-anak warga Muhammadiyah belajar ke pesantren yang dikelolanya.
Rupanya di antara kedua organisasi itu sebenarnya sudah semakin mendekat. Gejala itu merupakan hal yang amat baik dan sudah ditunggu-tunggu sejak lama. Dan, akhirnya, setelah mendengarkan penjelasan itu, orang dimaksud ternyata masih bertanya lagi, ialah jika sudah semakin sama dan mendekat, apakah tetap diperlukan organisasi Islam seperti itu.
Maka, saya tegaskan bahwa organisasi sosial keagamaan semacam itu harus tetap ada. Keberadaannya amat penting, ialah untuk membangun dinamika, saling memperkokoh, dan juga agar terjadi fastabiqul khairat atau di tengah-tengah umat terjadi saling berlomba- lomba tentang kebaikan.
Menurut hemat saya, penjelasan itu sudah cukup jelas, tetapi orang yang bertanya tersebut masih saja menambah pertanyaan lagi, dan anehnya masih tentang perasamaan di antara kedua organisasi itu. Maka sambil berganti menggoda, saya ungkapkan kesamaan lainnya ialah bahwa banyak masjid dan mushalla, baik yang dikelola oleh NU maupun oleh Muhammadiyah pada saat shalat subuh sama-sama kekurangan jamaah.
Pada umumnya, tempat ibadah itu sepi. Padahal, umpama saja kedua organisasi Islam itu berhasil menggerakkan anggotanya, agar ketika shalat subuh selalu di masjid dan atau di mushalla, maka umat Islam akan kelihatan semarak, bersatu, dan juga akan kelihatan semakin maju.