Wabah penyakit karena virus seperti campak dan rubela menyerang berbagai tempat. Bagi saya yang tumbuh besar di zaman Orde Baru, situasi ini terasa sebagai sebuah kemunduran besar. Di masa Orde Baru bisa dipastikan anak-anak sampai ke daerah pelosok mendapat imunisasi, khususnya terhadap penyakit cacar. Anak-anak yang lahir di dekade 60-70 semua memiliki tanda bekas koreng di lengannya, sisa imunisasi. Kini bahkan anak-anak di kota banyak yang tidak diimuninasi, kemudian terserang penyakit.
Apa masalahnya? Satu hal yang berubah cukup mendasar adalah menurunnya kinerja pemerintah dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan kesehatan masyarakat. Harus diakui bahwa administrasi pemerintahan zaman Soeharto yang bersifat top-down cukup efektif dalam mengeksekusi hal-hal semacam ini. Demokratisasi mengendorkan iklim itu di tubuh birokrasi, dan sisi buruknya adalah menurunnya kinerja.
Soal lain adalah soal kepatuhan pada pemerintah. Reformasi dan demokratisasi membuka peluang pada anggota masyarakat untuk bersuara bertentangan dengan pemerintah. Tidak ada lagi kepatuhan berbasis tekanan. Orang bisa bebas bicara dan bersikap. Sayangnya, kebebasan itu seringkali tidak dilandasi pengetahuan dan kadar intelektual yang memadai.
Dalam hal vaksin, muncul kelompok-kelompok antivaksin. Mereka menganggap vaksin itu haram, karena ada bagian dalam prosesnya yang melibatkan enzim yang berasal dari babi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri menyatakan bahwa vaksin itu tidak halal. Sudah cukup lama MUI terus mengumandangkan keberatan soal vaksin, dan terus menuntut pemerintah untuk mengusahakan adanya vaksin halal.
Masalahnya, membuat vaksin halal itu tidak mudah. Bukan hanya soal vaksin sebenarnya. Dalam soal enzim secara keseluruhan, memang sulit untuk mendapatkan enzim yang bukan dari babi. Ada alternatif misalnya dengan memakai sumber-sumber dari sapi, tapi hasil yang didapat sangat sedikit, sehingga produktivitasnya rendah, dan harganya jadi sangat mahal.
Masalah itu masih ditambah lagi dengan informasi sesat berbasis teori konspirasi sesat. Banyak orang menyebarkan isu bahwa vaksin itu tidak hanya dibuat dari zat haram, tapi juga dibuat dengan tujuan untuk mencelakakan umat Islam. Dengan vaksin umat Islam akan bodoh, gampang kena penyakit, dan akan disingkirkan dari kehidupan. Mereka akan gampang dijajah.
Ada orang-orang yang dengan enteng menyebarkan kabar bohong semacam itu dari mimbar-mimbar masjid dan pengajian. Itu dipercayai oleh sebagian umat, sehingga mereka enggan memakai vaksin. Menolak vaksin sudah menjadi sesuatu yang ideologis. Mereka yang menolak ini biasanya juga beranggapan bahwa pemerintah sekarang adalah pemerintah yang jahat terhadap umat Islam, dan sedang menjalankan agenda jahat kaum kafir melalui vaksin. Ringkasnya, antivaksin nyaris identik dengan antipemerintah.
Ketika keadaan sudah cukup genting barulah MUI bersuara. Bagi saya, suaranya tidak cukup meyakinkan. Menurut MUI, vaksin yang ada saat ini tetap haram. Hanya saja, MUI memfatwakan keadaan darurat, yang membolehkan orang memakai barang haram sekalipun. Fatwa itu disampaikan setelah keadaan cukup parah.
Apakah efektif? Saya khawatir tidak. Mudah-mudahan saya salah. Orang sudah telanjur terpaku pada pesan pertama, yang selama ini digaungkan oleh MUI. Sikap MUI selama ini lebih menekankan bahwa vaksin itu haram, dan mendorong pemerintah untuk mencari alternatif. Mendorong tanpa menyadari kesulitannya.
Di tengah masyarakat yang sudah terbiasa dengan pola pikir menolak vaksin akibat sikap MUI itu, tidak mudah untuk membuat mereka tiba-tiba menerima perubahan sikap MUI tadi. Menerima sesuatu yang diharamkan dengan alasan darurat itu ibarat mnyuruh orang melompat dari gedung tinggi saat ada kebakaran. Mereka enggan, meski di bawah sana sudah disediakan jaring pengaman.
Di sisi lain, sudah makin banyak pula orang-orang yang menganggap MUI tidak perlu didengar. Paradoks? Ya, sekilas terdengar seperti paradoks. Tadi dikatakan ada orang-orang yang terpengaruh oleh sikap MUI, tapi juga dikatakan menolak sikap MUI. Memang begitulah kenyataannya. Dalam banyak kasus, orang bisa bersikap seenaknya terhadap MUI. Ketika MUI mengatakan sesuatu yang sesuai dengan preferensi, mereka mematuhinya, dan memakai nama MUI sebagai pembawa label otoritas. Ketika tidak sesuai, mereka dengan enteng menolaknya. Rumit memang.
Benarkah vaksin itu dibuat dengan memakai bahan dari babi? Ini soal kesalahan memaknai sesuatu. Orang tidak membuat vaksin dengan bahan daging babi. Yang dipakai adalah sesuatu yang ada di level molekuler. Itu pun bukan sesuatu yang diambil dari babi kemudian langsung dipakai. Babi hanyalah “starting material”. Molekul yang diambil dari babi, direaksikan melalui serangkaian reaksi kimia yang panjang, yang mengubah susunan asalnya. Meski berasal dari babi, bisa dikatakan zat itu sudah berbeda dari zat yang ada di tubuh babi, karena molekulnya sudah berubah.
Dalam contoh fikih, jus buah bisa mengalami fermentasi sehingga jadi memabukkan. Jus tadi menjadi haram. Kenapa haram, padahal asalnya adalah halal? Karena sudah mengalami reaksi kimia yang mengubah wujud kimia asalnya. Selanjutnya jus itu bisa berubah lagi menjadi cuka yang tidak lagi memabukkan, sehingga menjadi halal.
Anak-anak SMA pun diajari soal reaksi kimia, yaitu proses perubahan ikatan antaratom penyusun bahan. Besi itu bahan yang bisa ditarik oleh magnet. Tapi ketika ia mengalami oksidasi, yang kita kenal dengan karat, ia tak lagi ditarik oleh magnet. Oksidasi, sebuah reaksi kimia, telah mengubah sifatnya. Besi tadi bukan lagi besi. Demikian pula seharusnya molekul yang tadinya diambil dari tubuh babi. Setelah mengalami sejumlah reaksi kimia, secara molekuler ia bukan lagi substansi yang ada di tubuh babi.
Sayangnya para pakar di MUI tidak mau mengambil sikap ini. MUI tetap bertahan dengan sikapnya bahwa vaksin itu haram. Meski menambahkan keterangan bahwa boleh dipakai dengan alasan darurat, tetap saja pesan “haram” tadi jauh lebih kuat.