Hampir 70.000 SM lalu, imajinasi dan kognisi mulai berevolusi pada makluk yang disebut homo, dan pada sekitar tahun itu pula, sebutan terhadap homo sapiens diyakani pertama kali lahir di muka bumi −dan mampu beradaptasi mengalahkan kerabat satu Genus-nya; homo neandertal. Hal tersebut dikenal dengan revolusi kognisi, suatu titik mula dimana sapiens mulai merangkak menjadi ‘raja tertinggi’ di muka bumi.
Revolusi kognisi ini bagaikan keberkahan, dimana sapiens memiliki sistem komunikasi dan kemampuan untuk mengorganisir diri dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Dengan kemampuannya tersebut, sapiens perlahan menjadi entitas yang mendominasi jalannya kehidupan secara ekologis, dan itu menjadi faktor utama sapiens dapat berkembang-biak, sampai menjadi diri kita pada saat ini.
Naluri dan dorongan kognisi pada diri sapiens berguna sebagai siasat dalam bertahan hidup di alam; mulai dari zaman ketika sapiens masih berburu, bercocok-tanam, hingga konsolidasi organisasi politik dan konflik sapiens dalam mempertahankan lumbung makanannya. Tak hanya itu, kemampuan kognisi ini mampu menciptakan fiksi-fiksi akan kepercayaannya pada roh-roh, arwah, atau dewa-dewa.
Kemampuannya akan bertahan hidup, berimplikasi pada bagaimana sapiens merespons alam sekitarnya dan memanipulasi tatanan ekologis sehingga terjadi berbagai perubahan-perubahan pada lingkungan; dalam epoch geology, hal ini disebut dengan era anthropocene, dimana manusia dan aktivitasnya memengaruhi bumi lebih dari makhluk lain.
Hal itu didasari oleh aktivitas antropogenik yang berlangsung selama beberapa dekade terakhir, dimana hal tersebut berdampak negatif terhadap kelangsungan bumi −terlebih ketika revolusi industri mencuak, dimana produksi masif berskala global yang disertai dengan penggunaan bahan bakar tidak terbarukan mendorong injeksi emisi gas rumah kaca ke lapisan atmosfer bumi. Corak produksi tersebut kontras menjadi titik dimana kerusakan alam akibat manusia terjadi, Seperti yang Yuval N. Harari bilang dalam bukunya Homo Deus; “Manusia sudah lama menjadi tuhan”.
Memang, Waters (2014) membagi pembabakan era Anthropocene yang diawali pada masa Pra-Industrial, dimana aktivitas manusia hanya melakukan proses-proses produksi dengan memodifikasi alam dengan alam itu sendiri, seperti melakukan pertanian dan membuat berbagai alat produksi dengan besi, kayu dan sebagainya. Era tersebut dimulai ketika 70.000 SM hingga 11.000 SM.
Setelah itu, mulai masuk dimana manusia bisa mengorganisir diri dan membentuk komunal-komunal, sehingga pemanfaatan alam sebagai insturmen manusia tak hanya untuk memenuhi kebutuhan, tapi mempertahankan organisasinya. Hal tersebut mendorong terjadinya industrialisasi, yakni memanipulasi alamnya dengan efisien −ekonomisasi. Hal tersebut membawa manusia pada era revolusi industri, yang menurut Waters (2014) terjadi pada tahun 1750-1800 M, dimana mulai terbentuknya teknologi-teknologi yang membantu manusia menjadi lebih efisien dalam memanfaatkan alam.
Fase tersebut memuncak pada pertengahan awal ke-18, dimana itu terjadi setelah perang dunia kedua, Waters (2014) menyebut era ini sebagai Great Acceleration Age, dimana urbanisasi dan industrialisasi besar-besaran terjadi; teknologi, pabrik, produksi, hingga penggunaan plastik, dan lain sebagainya. Pada era ini, gaya hidup pun terbentuk menjadi lebih konsumtif, alam direduksi entitasnya hanya demi pemenuhan keuntungan manusia, oleh karenanya perubahan yang terjadi pada alam mulai secara signifikan terlihat.
Sebagai contoh, banyak perubahan alam aktivitas manusia terjadi di berbagai belahan dunia, seperti apa yang terjadi di Jerman, dimana terdapat 3 juta anjing peliharaan, namun secara kontras anjing-anjing besarnya yang tinggal di perbatasan dan alam liar sudah kurang dari seratus.
Selain itu, jumlah Singa di dunia hanya berjumlah sekitar 40.000, berbanding terbalik dengan jumlah kucing rumahan sekitar 600 juta. Itupun baru dari sisi persebaran jumlah dari hewan-hewan tertentu, jika kita lihat laporan khusus dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2018, secara umum aktivitas manusia pada tahun 2017 telah menyumbangkan pemanasan global mencapai rata-rata 1°C dan diprediksi akan meningkat sebesar 0,2°C per dekade.
Laporan khusus dari IPCC mengenai peningkatan suhu bumi diatas betul saja terjadi, menurut instansi pengamat iklim dari Uni Eropa, Copernicus Climate Change Service (CCCS), Januari 2020 menjadi bulan terpanas dalam sejarah. Hal itu diketahui bahwa suhu Januari 2020 lebih tinggi 0,77°C, dari Januari 1981 hingga 2010. Hingga pada Januari 2020 bahkan lebih panas dari Januari 2016, lebih tinggi 0,3°C. Padahal, Januari 2016 sebelumnya menjadi bulan terpanas dalam sejarah akibat kombinasi perubahan iklim dan siklus El Nino. Hasil dari penelitian CCCS ini bahkan lebih tinggi dari perkiraan prediksi IPCC, yakni sebesar 0,3°C.
Meskipun telah disepakatinya Paris Agreement untuk melaksanakan dan mengawal reduksi emisi karbon dioksida, realitas yang terjadi tidaklah demikian, peningkatan karbon diudara dan terus meningkatnya suhu bumi seolah mengatakan bahwa aktivitas manusia tak bisa dibendung oleh aturan legal-formal, sekalipun Paris Agreement dibuat pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Tujuan dihadirkannya Paris Agreement ini pada intinya adalah untuk mereduksi tingkat emisi karbon maksimal 2°C hingga tahun 2100 nanti, dan Paris Agreement ini diikuti oleh 55 negara, mengikat secara hukum dan diaklamasi oleh negara terkait. Namun kenyataannya, emisi karbon secara akumulatif masih terus meningkat.
Moore (2016), menyatakan bahwa “…how to remake your place in nature in a way that promises emanscipation for all life”, konteks tersebut mengatakan bahwa diperlukan perubahan mind-set manusia dalam melihat alam, tak lagi terbatas pada dikotomi Nature-Culture, dan Paris Agreement belum melakukan visinya secara maksimal.
Karena memang, visi yang baik tentang mengurangi emisi karbon yang ada, harus pula selaras dengan meredefinisikan ulang cara kita melihat alam, yang dimana didalamnya terdiri dari berbagai elemen, indikator; baik secara abstrak maupun material. Kita harus bisa keluar dari dikotomi Alam-Manusia atau Nature-Culture, bahwa manusia dan alam merupakan entitas yang tidak terpisah.
“I argue that ‘Society’ and ‘Nature’ are part of the problem, intellectually and politically; the binary Nature/Society is directly implicated in the colossal violence, inequality, and oppression of the modern world … Capitalism is not an economic system; it is not a social system; it is a way of organizing nature.” -Moore (2015)
Selanjutnya, apakah betul dalam Anthropocene ini semua orang dimuka bumi berkontribusi sama dalam perubahan alam? Apakah ada unsur ekonomi-politik yang berperan didalamnya?
Pertanyaan-pertanyaan itu yang menjadi kritik utama Moore kepada Anthropocene −ketimbang kritik, saya sendiri lebih suka menyebutnya sebagai penyempurnaan−, Moore (2004) menyebutnya sebagai Age of Capital, suatu kondisi dimana manusia dipengaruhi cara pandang yang dominan untuk menempatkan relasi manusia dengan alam atau entitas lainnya dengan logika kapitalistik. Patel & Moore (2017) mengatakan bahwa kapitalisme membawa kekerasan, dan kekerasan itu dapat dipahami ketika kita melihat kapitalisme sebagai bentuk pengaturan ekologis. Moore menyebutnya dengan istilah Capitalocene.
Logika kapitalistik ini dapat menghegemoni siapa saja, dan hal tersebut secara sadar maupun tidak, terinternalisasi dengan baik pada diri manusia, sehingga membuat segala prilaku, tindakan, aktivitas, hingga keputusan yang dijalankan oleh manusia didasari oleh logika kapitalistik ini. Disinilah persoalan utamanya. Di mana manusia tak hanya memanfaatkan alam sebagai pemenuhan kebutuhannya, lebih dari itu, alam dieksploitasi dan diperas sedemikian rupa hanya untuk mengakumulasi keuntungan dan profit, Cheap Nature.
Seperti apa yang Wolf (2001) katakan, bahwa melihat budaya sebagai mills of inequality −dalam hal ini kapitalisme. Graeber (2008) mengafirmasinya dengan melakukan kritik terhadap penekanan kepada Forces of Production (FoP) dalam Modes of Production (MoP), karena memang bagi Graeber, kapitalisme haruslah dilihat dalam kapasitasnya mereproduksi relasi-relasi ekologis yang ada.
Kontekstualisasi dan contoh konkrit yang terjadi di Indonesia adalah seperti apa yang terjadi pada warga Lereng Gunung Slamet, dimana mereka menghadapi musibah air keruh dan banjir bandang akibat proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) di kawasan Hutan Lindung Gunung Slamet. Pun, contoh ini hanya salah satu dari sekian banyak konflik relasi-ekologis yang terjadi. Bahkan, Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat bahwa sepanjang tahun 2018 terdapat 300 kasus konflik agraria yang terjadi di 16 provinsi, dimana hal tersebut melanggar hak-hak masyarakat adat atas tanahnya sendiri. Terlihat, Capitalocene terus berupaya membesarkan perutnya.
Manusia −dengan segala keserakahannya, tak ayal menjadi makhluk yang tertinggi bahkan pusat daripada rantai ekologis, kemunculannya secara historis memang menunjukan kecongkakannya akibat kognisi yang dimilikinya, dan hal itu bukanlah sesuatu yang kebetulan. Sampai pada suatu era dimana sapiens (red−kita) mulai berkonflik demi kebutuhan-keuntungan, namun sekaligus mempertanyakan eksistensi dan keberlangsungan hidupnya. Pertanyaannya sekarang adalah ialah, ingin sampai kapan kita menciptakan kiamat bagi diri kita sendiri?