Di era digital, praktik penipuan melalui layanan pesan singkat (SMS) palsu dan media sosial makin hari makin mencemaskan. Dewasa ini tindak kejahatan yang berkembang di masyarakat tidak lagi hanya kejahatan konvensional, seperti pencurian, perampokan, dan lain-lain, tetapi juga kejahatan yang mendayagunakan teknologi informasi dan internet. Di Jakarta, misalnya, jumlah kasus kejahatan di dunia maya (cyber crime) yang ditangani Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya meningkat pesat. Jika pada tahun 2013 jumlah kejahatan yang dilaporkan hanya 541 kasus, dan pada tahun 2014 tercatat ada 785 laporan, maka hingga Agustus 2015 tercatat sudah ada 690 kasus.
Salah satu kasus cyber crime yang baru-baru ini berhasil diungkap aparat kepolisian adalah praktik penipuan via SMS, yang dilakukan Efendi alias Lekeng. Otak penyebar penipuan lewat SMS bersama lima anak buahnya ini telah berhasil ditangkap aparat. Dalam sehari sindikat pimpinan Efendi ini biasanya menyebarkan 6 ribu SMS palsu, dan rata-rata dalam sehari mereka bisa meraup keuntungan hingga 7 juta rupiah. Selain jaringan Effendi, masih ada kelompok penipu lain yang diduga memanfaatkan TI dan internet untuk menipu dan meraup keuntungan dari korban-korban mereka.
Berdasarkan laporan State of The Internet 2013, Indonesia berada di urutan kedua dari 5 besar negara asal serangan cyber crime. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, tercatat sekitar 36,6 juta serangan cyber crime di Indonesia, sehingga Indonesia dianggap menjadi negara paling berisiko untuk mengalami cyber crime. Pada periode 2012 hingga 2015, Subdit IT/Cyber Crime dilaporkan telah menangkap 497 orang tersangka kasus ini, 389 orang di antara mereka adalah WNA dan 108 orang WNI.
Total kerugian cyber crime di Indonesia mencapai Rp 33,29 miliar. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan perampokan nasabah bank secara konvensional. Menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, tindak kejahatan cyber yang paling banyak dilaporkan masyarakat selama tiga tahun terakhir adalah penipuan lewat surat elektronik, pesan pendek, dan situs internet. Sedangkan pada urutan kedua adalah pencemaran nama baik melalui internet.
Masyarakat yang belum memiliki tingkat literasi yang baik seringkali mudah menjadi korban dan terperdaya karena iming-iming hadiah dan harga murah yang ditawarkan via internet. Masyarakat yang tidak berpikir kritis acap menelan mentah-mentah begitu saja tawaran palsu di dunia maya, dan biasanya baru sadar menjadi korban penipuan ketika barang yang dipesan dan sudah telanjur dibayar ternyata tak kunjung diterima. Praktik penipuan di dunia maya ini makin marak, tidak hanya terkait di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang sosial, seperti kasus trafficking, penipuan via Face Book, dan lain-lain.
Paul DiMagio et.al. (2001), dalam artikelnya berjudul Social Implications of the Internet menggambarkan bahwa makin meluasnya penggunaan teknologi informasi, internet atau jejaring komputer di dunia maya berpotensi secara radikal mengubah tidak hanya bagaimana cara seseorang bertransaksi bisnis dengan orang lain, tetapi juga esensi atau hakekat masyarakat menjalin komunikasi sosial satu dengan yang lain.
Perkembangan teknologi informasi, internet, dan jejaring komputer telah membuat masyarakat bisa menciptakan ruang sosial baru di mana mereka satu dengan yang lain dapat bertemu dan saling berinteraksi satu sama lain di dunia maya. Interaksi ini melintasi batas dan melampaui ruang serta waktu. Berbeda dengan interaksi tatap muka di mana antar orang bisa menjalin komunikasi sembari melihat langsung penampilan dan ekspresi lawan bicaranya, dalam komunitas cyber space komunikasi umumnya terjalin anonim dan tidak saling bertatap muka.
Pada saat teman yang mereka kenal di ruang publik orang baik-baik, memang seberapa pun banyak seseorang berjejaring di dunia maya tidak menjadi masalah. Tetapi, lain soal ketika kenalan mereka atau orang-orang di komunitas cyber space ternyata adalah orang yang berniat jahat dan acapkali memanfaatkan cyber space untuk melakukan praktik penipuan dan tindak kejahatan lainnya.
Seorang penjahat yang sudah ahli memanfaatkan ketidakjelasan identitas dan validitas informasi di dunia maya, biasanya melakukan aktivitas kejahatan dengan ponsel, atau jaringan komputer sebagai alat, sasaran atau tempat terjadinya kejahatan. Termasuk ke dalam kejahatan dunia maya ini, antara lain, adalah pemalsuan identitas, penipuan penjualan barang-barang, penipuan lewat SMS, pemalsuan kartu kredit, confidence fraud, judi online, pornografi anak, dan lain-lain.
Secara garis besar ada tiga karakteristik internet yang secara langsung maupun tidak langsung memungkinkan terjadinya cyber crime. Pertama, space/time compression, di mana internet memungkinkan seseorang untuk berkomunikasi dengan cepat meski berada di tempat yang berbeda. Kedua, no sense of place, interaksi yang terjadi di dunia yang menyediakan konsep anonimitas, yang memungkinkan terjadinya multiplikasi peran dan jati diri. Ketiga, blurred boundaries and transformed communities, batasan-batasan yang umumnya terdapat di dunia nyata menjadi kabur dan komunitas virtual yang terbentuk tengah bertransformasi (Rettie, 2002).
Sejak penggunaan ponsel dan internet makin meluas, yang tercipta pada akhirnya adalah sebuah hutan belantara yang memungkinkan siapa pun yang lemah menjadi korban, dan siapa yang kuat dapat leluasa melakukan apa pun. Di dalam ruang publik cyberspace, yang namanya realitas dapat dikonstruksi atau direkayasa sekehendak hati orang yang berkepentingan, sesuai dengan tujuan, misi, dan ideologi yang melandasinya. Di dunia maya, seperti ditegaskan filsuf postmodern Jean Baudrillard, yang terjadi adalah munculnya perilaku dan kecabulan informasi (obsity of information), di mana setiap orang bisa mengetahui seluruh rahasia orang lain, dan kemudian memanfaatkannya untuk aksi kejahatan mereka.
Untuk mengatasi makin merebaknya tindak kejahatan di dunia maya, yang dibutuhkan tentu bukan hanya pendekatan hukum atau sekadar mengandalkan tindakan aparat setelah memperoleh laporan warga masyarakat yang menjadi korban penipuan SMS, media sosial atau korban tindak cyber crime. Rencana pembentukan Badan Cyber Nasional, meski penting, yang sesungguhnya masih menjadi tanda tanya adalah sejauhmana lembaga ini bakal efektif mencegah terjadinya tindak cyber crime.
Mencegah agar masyarakat tidak berisiko menjadi korban penipuan SMS dan tindak cyber crime, selain tergantung pada komitmen aparat penegak hukum dan kewaspadaan masyarakat, yang tak kalah penting adalah dukungan kemampuan literasi warga masyarakat itu sendiri sebagai bagian dari komunitas cyberspace.
Jadi, warga masyarakat yang sekadar memanfaatkan ponsel, internet, dan media sosial hanya untuk kepentingan pleasure, biasanya tidak punya kepekaan dan sikap kritis menyikapi berbagai kemungkinan terjadinya cyber crime. Sebaliknya, mereka yang telah memiliki kemampuan literasi yang tinggi biasanya akan lebih hati-hati menyikapi berbagai praktik penipuan dan tindak kejahatan di era digital.