Salah satu persoalan rumit kebahasaan hari ini di negeri ini adalah kebanggaan banyak kalangan untuk lebih menggunakan bahasa asing dalam bercakap-cakap, menjalani hubungan kemasyarakatan dan menulis di media sosial. Lihatlah pilihan menu yang disajikan di banyak kafe atau presentasi dengan menggunakan Power Point di pelbagai seminar! Kebanyakan mulai menyajikannya dengan bahasa Inggris sungguhpun tamu yang datang ke kafe itu atau peserta yang menghadiri seminar tersebut adalah orang Indonesia, bukan warga asing.
Persoalan kian rumit di tengah kecenderungan anak muda dengan tindak tanduk bahasa yang tidak mampu lagi membedakan kapan harus memakai dialek formal dan di mana mesti berbicara dalam dialek Jakarta ala sinetron. Kelatahan berbahasa asing di satu sisi dan keengganan menggunakan dialek formal di sisi lain sejatinya menjadikan banyak anak bangsa terjebak pada labirin amnesia bahasa.
Munculnya kecenderungan sejumlah masyarakat untuk berbahasa asing semisal bahasa Inggris dalam berkomunikasi sebetulnya tidak menjadikan seseorang lebih keren.
Kemampuan berbahasa asing sebagai bagian dari komunikasi dengan penutur berbilang bangsa atau bagian dari proses pendidikan masih dapat dipahami. Tetapi berbahasa asing dengan sesama anak bangsa sebagai gaya hidup adalah cermin rendah diri.
Berbahasa asing bukanlah kriminalitas. Hanya saja ia kini mewujud sebagai geger budaya tatkala ia menyimbolkan ‘kemewahan.’ Gerakan nasional kultural untuk mencintai bahasa Indonesia perlu dimulai dengan upaya menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan, bukan sekadar bahasa komunikasi dan lingua franca.
Gerakan ini sebetulnya sudah dimulai oleh Pusat Bahasa, Balai Bahasa, Balai Pustaka dan berbagai media cetak maupun elektronik dengan menerjemahkan padanan bahasa asing dalam konteks keilmuan, semisal mengunduh (download), mengunggah (upload), surel (email), kata sandi (password), memindai (scan), mencentang (tick), dan lain-lain. Kata-kata ilmiah dalam bahasa Inggris tersebut sudah punya padanannya dalam bahasa Indonesia.
Sayangnya masyarakat tidak melek bahwa bahasa Indonesia sudah begitu berkembang dan tidak berlaku pasif menerima pengaruh serapan dari bahasa asing. Meminjam teori Robert Malthus, dahulu bahasa Indonesia bergerak menurut deret hitung sementara bahasa Inggris sesuai dengan deret ukur, tapi kini perkembangan bahasa Indonesia juga berjalan kencang seiring dengan perkembangan teknologi.
Ikhtiar serius mencintai bahasa Indonesia tentu tidak sekadar menciptakan padanan bahasa Indonesia atas istilah-istilah asing. Yang dibutuhkan adalah sebuah politik bahasa; upaya mobilisasi segenap sumber daya bangsa untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai tulang punggung kemajuan bangsa. Upaya untuk menegakkan politik bahasa ini bisa diawali dengan mendorong penggunaan bahasa ibu, bukan saja di rumah tapi juga bergerak ke lingkup publik.
Collier (1995) menemukan bahwa mempertahankan penggunaan bahasa ibu bagi anak-anak bukan hanya menciptakan kedekatan anak-anak dengan budayanya sehingga berdampak positif bagi pembentukan konsep diri tapi juga bahwa anak-anak akan berpikir dan bekerja pada tingkat kematangan intelektual yang sebenarnya tatkala orang tua dan anak-anak berbicara dengan bahasa ibu.
Tak kalah mendesaknya adalah memobilisasi penerjemahan buku-buku asing bagi masyarakat pembaca Indonesia. Jepang adalah contoh menarik dalam hal ini. Mahasiswa Jepang dengan cepat mendapatkan pelbagai terjemahan buku-buku asing dalam bahasa Jepang. Tanpa bersusah payah mempelajari bahasa asing, mahasiswa Jepang memiliki pemahaman yang sama dengan mereka yang memahami buku-buku berbahasa asing tersebut.
Demikian pula dengan publik di Prancis. Hingga kini warga Prancis tetap menomorsatukan bahasa nasional. Mulai tukang sapu hingga guru besar di universitas di Prancis bangga berbahasa Prancis. Bukan hal aneh bila seorang petugas kebersihan tidak meladeni seseorang yang bertanya dalam bahasa Inggris. Bukan hal mengejutkan juga ketika seminar-seminar dengan pembicara dari Amerika atau Inggris tidak dipenuhi mahasiswa. Namun Prancis tidak ketinggalan wacana dunia karena gerakan penerjemahan dilakukan secara luar biasa.
Dalam dunia akademis, gerakan penerjemahan nasional ini perlu dibarengi dengan penulisan dan penerbitan buku-buku teks dengan konteks Indonesia atau modifikasi buku-buku teks asing dengan konteks lokal. Penyajian bahan kuliah kepada mahasiswa dengan buku-buku terjemahan tanpa konteks keindonesiaan hanya berdampak tercerabutnya para peserta didik dari lingkungan dan budayanya. Asing bukan, Indonesia gagal; meraih pucuk kehilangan akar.
Kebanggaan berbahasa Indonesia perlu bergerak lebih jauh dengan upaya globalisasi bahasa Indonesia. Di samping upaya-upaya formal yang dijalankan oleh pemerintah, perlu dibuka ruang yang lebar bagi prakarsa-prakarsa masyarakat atau organisasi sukarela untuk menjalankan peran mengembangkan bahasa Indonesia di mancanegara. Inisiatif yang dilakukan oleh seorang Gusrizal, seorang pengajar bahasa Inggris di Bukittinggi, layak menjadi teladan dalam upaya tiada henti mengembangkan bahasa Indonesia bagi penutur asing.
Gusrizal telah membangun kerja sama yang baik antara Indonesia dan Australia dalam pendidikan dan kebudayaan selama empat belas tahun. Dalam masa itu ia telah mengunjungi negeri Kangguru sebanyak delapan kali, dua di antaranya bertindak secara sukarela untuk menetap dan mengajar di berbagai negara bagian di Australia. Ia bahkan mendapat pengakuan dari pemerintah Australia. Duta Besar Australia untuk Indonesia, Gary Quinlan, mengundangnya ke Jakarta pada tahun 2018 atas kontribusinya bagi hubungan yang baik antara kedua negara.
Beberapa waktu lalu ia telah mengunjungi sejumlah SMP di Mornington Secondary College di daerah Mornington, Victoria. Di sana ia memperkenalkan budaya Indonesia serta mengajar bahasa Indonesia dengan metode baru. Ia mengajarkan siswa Australia metode belajar bahasa Indonesia secara cepat dan sederhana.
Bagi seorang Gusrizal, hubungan terbaik kedua negara bisa terwujud lewat pendekatan masyarakat dengan masyarakat (people to people) berbasiskan budaya. Pengajaran bahasa adalah salah satu cara terbaik untuk menjembatani harmonisasi hubungan kedua negara ini. Mencintai bahasa Indonesia adalah sebuah proyek peradaban kebangsaan yang membutuhkan nyali dan terobosan anak bangsa tanpa dibatasi ruang dan waktu.