Sabtu, Maret 15, 2025

Amerika Terbakar dan Membeku, Pemimpinnya Menutup Mata

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Los Angeles, kota yang identik dengan kemewahan dan gemerlap Hollywood, kini dilanda bencana. Kobaran api yang ganas kembali menjilat perbukitan dan pemukiman, memaksa 30.000 penduduk untuk mengungsi meninggalkan rumah mereka. Para petugas pemadam kebakaran berjibaku melawan amukan si jago merah, namun angin kencang yang bertiup semakin menyulitkan upaya mereka untuk mengendalikan api.

Di sisi lain Amerika, di wilayah Gulf Coast, badai musim dingin yang dahsyat menyebabkan hujan salju dengan intensitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Beberapa negara bagian tertutup selimut putih, sementara warga berjuang menghadapi suhu beku yang melumpuhkan. Sedikitnya sembilan orang dilaporkan meninggal dunia akibat badai yang dijuluki “badai sekali dalam satu generasi” ini.

Kedua bencana alam yang kontras ini, api di Barat dan es di Selatan, menunjukkan dengan jelas dampak nyata dari perubahan iklim yang semakin ekstrem. Namun, ironisnya, presiden baru Amerika Serikat justru mengabaikan peringatan ini. Ia dengan tegas menolak adanya pemanasan global, menyebutnya sebagai hoaks belaka. Alasannya? Karena New York, kota tempat ia berada, sedang mengalami cuaca dingin.

Sementara itu, California kembali menjadi korban kebakaran hutan yang seolah menjadi ritual tahunan yang kelam. Namun, kebakaran tahun ini berbeda. Skala kebakaran sangat besar dan mengerikan, langit Los Angeles berwarna oranye menyala yang menyeramkan, abu berjatuhan seperti konfeti, dan “Kota Malaikat” itu kini berubah menjadi lautan api, menghadapi kebakaran terburuk dalam sejarahnya.

Los Angeles, yang baru saja mulai pulih dari kebakaran dahsyat yang melanda beberapa waktu lalu, kembali dihantui ancaman api. Kebakaran baru yang disebut Kebakaran Hughes muncul 72 kilometer di barat laut kota, dengan cepat menyebar dan memaksa 30.000 penduduk untuk mengungsi. 20.000 orang lainnya bersiaga, siap untuk meninggalkan rumah mereka jika api semakin mendekat.

“Tantangan yang kami hadapi di sini berbeda,” kata seorang petugas pemadam kebakaran. “Meskipun jumlah penduduk dan rumah yang terancam tidak sebanyak kebakaran sebelumnya, kombinasi angin kencang, vegetasi kering yang mudah terbakar, dan medan yang curam membuat api sulit dijinakkan.”

Sementara California berjuang melawan api, wilayah Gulf Coast di Amerika Serikat justru membeku akibat badai musim dingin yang langka. Salju turun dengan lebat, menimbun jalanan dan atap-atap rumah. Beberapa kota mencatat rekor hujan salju tertinggi dalam 100 tahun terakhir, sebuah fenomena yang mungkin hanya terjadi sekali seumur hidup bagi banyak orang.

Sayangnya, wilayah ini tidak terbiasa dengan cuaca dingin ekstrem. Infrastruktur dan persiapan warga tidak memadai untuk menghadapi badai salju. Akibatnya, jalan tol dan bandara ditutup, sekolah diliburkan, dan masyarakat diimbau untuk tetap di dalam rumah. Peringatan badai salju dikeluarkan di mana-mana, dan tragisnya, sembilan orang dilaporkan meninggal dunia. Florida bahkan mengalami hujan salju terbesar dalam sejarah negara bagian tersebut.

Kedua bencana alam yang kontras ini, api di Barat dan es di Selatan, menunjukkan dengan jelas betapa ekstremnya dampak perubahan iklim yang sedang terjadi.

“Kami bangun pagi-pagi sekali agar bisa bermain salju sepuasnya!” seru seorang warga Louisiana dengan gembira. “Ini benar-benar momen sekali seumur hidup. Saya belum pernah melihat salju sebanyak ini di sini. Rasanya aneh, biasanya kami hanya menghadapi badai, bukan badai salju!”

- Advertisement -

Kegembiraan warga Louisiana tersebut berbanding terbalik dengan kecemasan yang menyelimuti para ilmuwan. Mereka dengan jelas menyatakan bahwa fenomena cuaca ekstrem yang terjadi di Amerika, mulai dari kebakaran hutan di California hingga badai salju di Gulf Coast, merupakan dampak nyata dari pemanasan global.

Perubahan iklim yang semakin parah ini seolah menjadi teriakan keras dari Bumi, peringatan bagi umat manusia untuk segera bertindak. Namun, sayangnya, Amerika Serikat, salah satu penyumbang emisi terbesar di dunia, justru memilih untuk “menutup telinga”.

Presiden yang baru terpilih kembali ke Gedung Putih dan salah satu agenda pertamanya adalah menarik Amerika Serikat keluar dari Perjanjian Iklim Paris. Perjanjian ini merupakan upaya global yang paling komprehensif untuk mengatasi perubahan iklim, namun presiden tersebut justru memilih untuk mengabaikannya.

Dengan keputusan ini, Amerika Serikat akan bergabung dengan Iran, Yaman, dan Libya sebagai negara yang tidak meratifikasi Perjanjian Iklim Paris. Lebih parah lagi, presiden tersebut juga mengumumkan keadaan darurat energi nasional, sebuah langkah yang diyakini akan membatalkan berbagai regulasi lingkungan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Sikap ini sesungguhnya tidak mengejutkan. Presiden tersebut memang dikenal sebagai penyangkal perubahan iklim. Ia berulang kali menyebut pemanasan global sebagai hoaks dan menolak fakta bahwa perubahan iklim disebabkan oleh aktivitas manusia. Ia bahkan menunjuk orang-orang yang skeptis terhadap perubahan iklim untuk menduduki posisi penting di kabinetnya.

Langkah-langkah kontroversial ini tentu saja menuai kritik dan keprihatinan dari berbagai pihak, baik di dalam maupun luar negeri. Banyak yang khawatir bahwa kebijakan ini akan memperburuk krisis iklim global dan merugikan generasi mendatang.

Di Los Angeles, para pemadam kebakaran berjuang tanpa henti melawan kobaran api yang tak kunjung padam. Asap tebal menyelimuti langit, sementara sirine mobil pemadam kebakaran terus meraung-raung memecah kesunyian malam. Di wilayah Selatan, warga berjuang melawan dingin yang menusuk tulang. Mereka berkumpul di sekitar perapian, mencari kehangatan dan berbagi cerita untuk mengusir rasa takut.

Namun, di tengah kesengsaraan yang dialami rakyatnya, sang pemimpin negara justru terperangkap dalam dunia penyangkalan. Ia dengan enteng menyebut semua bencana ini sebagai hoaks, seolah-olah api yang melalap California dan salju yang menimbun Gulf Coast hanyalah ilusi belaka.

Realitas yang terjadi tentu saja berbeda jauh dengan apa yang ia yakini. Negaranya sedang terluka, terbakar dan membeku pada saat yang bersamaan. Namun, sang pemimpin memilih untuk menutup mata dan telinga, mengabaikan teriakan bantuan dari rakyatnya dan peringatan dari para ilmuwan.

Kita hanya bisa menunggu dan bertanya-tanya, kapan titik balik itu akan tiba? Kapan umat manusia, termasuk para pemimpinnya, akan benar-benar “bangun” dan menyadari bahaya nyata dari perubahan iklim? Atau apakah semua ini justru menandai awal dari akhir, di mana penyangkalan mengalahkan aksi nyata, dan masa depan planet ini dikorbankan demi kepentingan jangka pendek?

Untuk saat ini, yang tersisa di Amerika SerikaAt hanyalah abu dan salju, sisa-sisa bencana yang menghancurkan. Dan seorang pemimpin yang tetap bersikeras untuk tidak mendengarkan.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.