Tukang gambar itu menghadirkan sosok-sosok manusia yang tak terperikan oleh nalar pengunjung pamerannya. Di atas permukaan datar, dunia penggambarannya yang polos dan bersahaja tanpa bingkai, ekspresi wajah manusia-manusia yang melakonkan perilaku mereka terasa dingin dan datar. Garis-garis tipis pada dua mata terlihat berlapis seperti mengisyaratkan lapisan-lapisan penglihatan, kadang seperti setengah waras dan kadang setengah berimajinasi. Kata kunci untuk memahami keberadaan mereka ialah fantasi.
Gesture-gesture tubuh mereka yang bersanding dan berkomunikasi dengan alat dan perkakas tampaknya juga bukan gesture orang-orang yang menjalani hidup dengan normal dalam aktivitas keseharian mereka di tengah jenuhnya peradaban Eropa mutakhir. Pada beberapa gambar, pemerian terhadap perilaku mereka menyelip bersama idiom-idiom hewan dari gajah sampai ikan. Belum lagi penempatan bidang dan komposisi diungkapkan secara tak linier dan dengan bebasnya dijungkirbalikan.
Gambar-gambar itu mengajak pemirsa untuk menggali pikiran lebih dalam meskipun bahasa visualnya terasa cukup sulit untuk langsung dinikmati, dan itulah impresi pertama saya. Dan dengan santainya, tukang gambar itu menimpali bahwa tidak usah terlalu serius mengamati, karena gambar-gambar itu hanya potret diri dan catatan keseharian. Semuanya juga berjudul sama: Alihan.
Begitulah gambaran awal tentang pameran tunggal Hanura Hosea yang memperkenalkan diri sebagai tukang gambar. Hanura, kelahiran Wates, Yogyakarta, berusia 53 tahun, sudah genap 20 tahun tinggal di Koln, Jerman. Ia jarang mudik ke Indonesia. Sehingga, pameran karya-karya dalam medium kertasnya di galerikertas studiohanafi Depok hingga 2 Desember 2019 nanti bisa disebut sebagai peristiwa kepulangan. Seperti yang Hanafi ungkapkan dalam pembukaan pamerannya, bahwa “tidak ada yang hilang dalam berkesenian”
Hanura pernah tercatat sebagai perupa yang sukses ketika memulai karir berkeseniannya di Yogyakarta pada pertengahan 1990-an, dengan karya-karyanya yang waktu itu mengusung tema-tema seputar isu sosial-politik. Tema itu berangkat dari gagasan mengenai politik represif Rezim Kekuasaan dan Kapital yang berimbas kepada publik. Tetapi dia tidak membuat gambaran sosial-politik itu menjadi tema-tema besar melainkan dalam tema kehidupan sehari-hari orang-orang di masyarakat yang tertindas oleh dua kekuatan tersebut. Melacak intensitas berkeseniannya mungkin dapat dimulai ketika ia mulai aktif bergabung dengan komunitas seni Bulak Sumur di almamaternya, Universitas Gajah Mada. Sebagai lulusan dari jurusan Geografi UGM, ia lebih tertarik menggambar manusia dibanding peta.
Berkenaan dengan gagasan visual pada karya-karyanya, baik dalam lukisan dan gambar, saya tertarik untuk menyoroti pandangannya dari sisi sosok-sosok manusia yang direpresentasikan lewat alam pikiran seorang seniman dan mengkomparasikan cara seniman berpikir dan berkarya dalam peralihan hidupnya?
Melalui pencarian laman internet dan arsip lisan dari teman-temannya, karya-karyanya yang dulu, membuat visualisasi sosok-sosok manusia bertubuh besar dengan sapuan garis yang kuat di atas bidang-bidang gambar yang besar, mereka berkepala plontos dan beberapa di antaranya organ-organ tubuh mereka telah dimutilasi. Karyanya dalam jenis tematik ini terkesan keras dan banal (seperti misalnya pada pameran Awas! Recent Art From Indonesia). Dalam penggambarannya, kekerasan atau violence tampil secara tragis jika disandingkan dengan kondisi yang terjadi dalam sosial-politik masyarakat pada era tersebut.
Tetapi, pada gambar-gambarnya yang terbaru di pameran “Alihan” sekarang ia justru lebih menggambarkan catatan keseharian (visual diaries) yang merefleksikan persinggungan antara pandangan eksternal dirinya di luar dengan pandangan batin dirinya di dalam. Gambar-gambar yang diciptakan dalam rentang waktu 2014-2019 selama tinggal di Jerman, lebih mengesankan serupa potret diri ketika ia mengamati peristiwa-peristiwa yang menarik atau mungkin mengganggu dalam pandangannya. Dalam catatan pamerannya dia menuliskan tiga ruang yaitu: di museum, di pabrik dan di galeri.
“Saya menulis seperti menggambar” ungkapnya. Dan, memang di atas kertas, karya-karya Hanura lebih mirip dengan menuliskan kolase peristiwa tidak melalui teks tapi lewat bahasa visual. Pada ruang pertama di galerikertas, ia meletakan tiga replika patung gajah dari kertas yang ditorehkannya dengan garis-garis dari tinta. Gajah-gajah itu dibiarkan berdiri terendam air di dalam loyang persegi. Ia menganalogikan, ketika di dalam museum, artefak-artefak itu dijaga dan dirawat, ia justru ingin membiarkan gajah kertas itu melumer oleh air sebagai proses yang alamiah, begitu pun kelak ketika gajah-gajah tersebut dipindahkan ke ruang lain. Mungkin di sini lah salah satu penanda kecil Alihan sebagai peralihan makna, media dan ruang.
Pada pameran ini ia juga membuat eksperimen dengan mengalihkan salah satu gambarnya menjadi mural. Ia melakukannya dengan menggambar karya tersebut dengan tangan kiri meskipun terasa lebih melelahkan menurutnya. Tangan kiri adalah tanda yang nyata tentang kemampuan fisik seseorang dari dua pandangan budaya yang berbeda. Pada kebudayaan Barat, orang terbiasa melakukan aktivitas keseharian dengan tangan kiri dan tidak menjadi masalah. Sedangkan pada budaya Timur (Indonesia) sebaliknya, aktivitas lazim dilakukan dengan tangan kanan, dan jika seseorang melakukannya dengan tangan kiri jelas akan dipermasalahkan sebagai tidak sopan atau terkena sebutan si kidal. Jadi, dalam budaya kita, kanan adalah penerimaan sedangkan kiri adalah penolakan. Secara universal, kiri dan kanan juga menunjukkan tanda tentang politik.
Catatan kesehariannya mewakili peristiwa, ruang dan tingkah laku manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Peristiwa konkrit sebagaimana tampak seperti pada manusia yang sedang makan, bekerja, menunggu, bersama pasangan, berkunjung ke museum, menonton sebuah pertunjukan berikut perasaan-perasaan psikologis yang tidak tampak di permukaan seperti kesepian dan kebingungan.
Maka peristiwa-peristiwa keseharian yang dialami dan diamatinya ini kemudian direproduksi ulang dalam drawing hitam putih dan berwarna dengan media pensil, bolpoin atau cat minyak. Keseluruhan tubuh manusia yang digambarnya adalah tubuh-tubuh manusia dengan identitas di mana Hanura tinggal, berikut perkakas-perkakas yang digunakan ditambah idiom hewan yang turut menjadi penanda penting dalam bahasa seninya. Sehingga, pengunjung pameran seperti merasakan jarak dan perasaan “asing” ketika mencoba menerjemahkan makna dari tubuh-tubuh manusia tersebut.
Selain itu, tidak ada garis pembatas yang menunjukkan manusia-manusia berkaki lancip tersebut berpijak di bumi. Sosok-sosok ini terlihat mengambang serupa ilusi. Bisa jadi karena cara ia mereproduksi alam pikiran melalui pilihan bahasa seninya membuat gambarnya terasa lebih surealis. Dan gambar-gambar ini merupakan hasil imajinasi atau lebih tepatnya fantasi karena gambar-gambar itu difantasikan oleh senimannya karena ia hendak mengungkapkan suatu perumpamaan tentang kehidupan orang-orang biasa di negeri yang menjadi tempat tinggalnya sekarang. Dunia yang dihuni oleh sosok-sosok dalam karyanya mencerminkan bahwa tidak ada dunia yang ideal (real world) yang dapat menyelesaikan persoalan tentang rasa sakit, kecewa, tertindas, dan putus asa selain bahwa mereka harus menjalaninya.
Hanura nampaknya tidak menyukai cara yang verbal dan lugas dalam karyanya. Cara berpikirnya adalah alihan. Mengalihkan realitas ke dalam gambarnya. Mengalihkan dirinya dengan yang liyan. Realis atau surealis. Identitas Indonesia-Jerman, bila ada yang bertanya perihal karyanya, dia justru beralih balik bertanya kepada penanya.
Gambar-gambarnya ingin mengajak pengunjung untuk berpikir bebas. Serupa makna “Alihan” sendiri yang menurutnya adalah kata yang tidak punya batasan yang pasti. Seperti kunci yang sangat longgar. Maka karena kelonggaran inilah gambar-gambar fantasi dan eksperimennya bebas untuk dimasuki atau dibatasi.