Jumat, Oktober 11, 2024

Aku Ingin: Obituari Sapardi Djoko Damono

Muhammad Husni
Muhammad Husni
Menulis biar be your.

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.” ─Aku Ingin, Sapardi Djoko Damono: 1989

Hari ini, Minggu, 19 Juli 2020, tepatnya pukul 09.17 WIB, penyair Indonesia Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada usia 80 Tahun di Rumah Sakit Eka BSD─ Beliau dirawat sebelumnya dikarenakan menurunnya fungsi organ tubuh. Beliau meninggalkan dua orang anaknya: Rasti Sundayani dan Rizki Henriko, menyusul kepergian istrinya yang mendahului pada tanggal 17 Februari 2019.

Sekilas Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono atau yang biasa dikenal dengan nama SDD. Dilahirkan pada Rabu, 20 Maret 1940 di kediaman kakek dari pihak ayahnya di Kampung Baturono, Surakarta. Ia merupakan putra sulung dari dua bersaudara dari pasangan Sadyoko dan Sapariah. SDD menghabiskan kebanyakan waktu dari masa mudanya di kota yang sama dengan kota kelahirannya.

Sedari dini ia sudah rajin menulis dan sejumlah karyanya dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya akan menulis ini pula yang membawanya kian berkembang semasa pergi meninggalkan kota kelahiran untuk menuju ke Yogyakarta demi menempuh kuliah di bidang Sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada.

Ia mulai mengajar di Fakultas Sastra (hari ini disebut sebagai Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia. Kemudian ia juga pernah menjabat sebagai dekan serta menjadi guru besar di sana. Semasa dengan hal tersebut, ia juga menjadi redaktur pada majalah Horison, Basis, dan Kalam.

Sewaktu SDD hidup, dirinya kerap kali menerima penghargaan. Pada tahun 1963, ia mendapat Hadiah Majalah Basis atas puisinya “Balada Matinya Seorang Pemberontak”; pada tahun 1978 menerima penghargaan Cultural Award dari Pemerintah Australia; tahun 1983 memperoleh hadiah Anugerah Puisi-Puisi  Putera II untuk bukunya “Sihir Hujan dari Malaysia,” dan masih banyak lagi.

Setidak-tidaknya, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Beliau meninggalkan kurang lebih 30 karya sastra berupa; kumpulan puisi─baik berbahasa Indonesia maupun terjemahan, novel, dan kumpulan cerpen. Beliau digolongkan oleh penggiat sastra Indonesia ke angkatan 66─yang ditandai dengan terbitnya Majalah Sastra Horison pimpinan Mochtar Lubis─yang juga disejajarkan dengan Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Taufiq Ismail, dan penyair-penyair hebat lainnya.

Sapardi Djoko Damono dan Kehidupan Sastranya

Diilustrasikan sebagai tokoh penting dalam kehidupan sastra Indonesia oleh A Teeuw dalam buku Sastra Indonesia Modern II yang terbit pada 1989, ia berani menyatakan bahwasanya Sapardi adalah seorang cendekiawan muda─yang giat menulis di kisaran tahun 1960-an─dan merupakan seorang penyair yang orisinil dan kreatif.

Dengan percobaan-percobaan pembaharuannya yang mengejutkan namun dibalut dengan kerendahan hatinya, SDD memberi nafas segar serta petunjuk bagi perkembangan sastra di Indonesia pada masa mendatang. Puisi-puisinya dikagumi oleh Abdul Hadi W.M. dengan alasan bahwa puisi Sapardi banyak kesamaan dengan yang ada dalam persajakan Barat sejak akhir abad ke-19 yang disebut sebagai simbolisme.

Para pengamat menilai sajak-sajak SDD dekat dengan Tuhan dan kematian. “Pada Sapardi, maut atau kematian dipandang sebagai bagian dari kehidupan; bersama kehidupan itu pulalah maut tumbuh,” tulis Jakob Sumardjo dalam harian Pikiran Rakyat, pada 19 Juli 1984.

SDD berpendapat bahwasanya di dalam karya sastra ada dua segi: tematik dan stilistik (gaya penulisan). “Secara gaya, sudah ada pembaruan di Indonesia. Tetapi di dalam tema, belum banyak.”

Kontribusi SDD terhitung cukup besar kepada budaya dan sastra, dengan melakukan penelitian, menjadi narasumber dalam berbagai seminar dan aktif sebagai administrator dan pengajar. Dia juga yang menjadi pemrakarsa dari diadakannya mata kuliah Ilmu Budaya Dasar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Kita mengakui bahwasanya keindahan puisi SDD tidak luntur oleh zaman, banyak yang ingin mengetahui kapan tepatnya waktu SDD merajut kata menjadi puisi? Pada suatu kesempatan, medcom.id berhasil mewawancarai SDD mengenai hal ini, jawabnya sangat menarik.

Bukan di pagi hari, bukan di sore hari, bukan pula di malam hari ia mengajak tintanya bermain dan menorehkan barisan kata-kata di atas kertas. Ternyata tak ada waktu saklek yang ditentukan oleh seorang Guru besar ini.

“Saya menganggap menulis adalah bagian dari hidup saya dan juga membaca. Kalau saya sudah niat menulis maka saya menulis,” jawabnya. Namun untuk puisi berjudul “Aku Ingin: dan “Hujan Bulan Juni” lain cerita. Ia menulis keduanya dengan cepat seolah-olah puisi tersebut hadir begitu saja.

Pada suatu titik dia menyadari bahwa menjadi seorang sastrawan tidak akan memperoleh kepuasan finansial. Kegiatan menulis adalah sebagai waktu istirahat, saat dia ingin melepaskan diri dari rutinitas pekerjaannya sehari-hari. Bagi SDD, dia adalah bagian dari sastra dan sastra adalah bagian dari dirinya. Sastra dan Sapardi adalah satu.

“Perkembangan sastra Indonesia luar biasa baiknya. Kalau Anda pergi ke toko buku dan lihat buku sastra membandingkan dengan 10 tahun lalu, belum pernah ada sastra yang seperti ini,” ungkapnya dengan bangga.

Torehan pemikiran dan hasil jerih payah serta keringat dari pujangga kebanggaan Indonesia ini tentang sastra, cinta, dan kehidupan telah mewarnai jiwa-jiwa orang Indonesia. Terima kasih dan selamat jalan Pak Sapardi…

Muhammad Husni
Muhammad Husni
Menulis biar be your.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.