Minggu, Oktober 6, 2024

Ahok, Fahri Hamzah, dan PKS: Antara Moral dan Citra

Sayyed Fadel
Sayyed Fadel
Juragan buku, suka ngopi di KedaiSastra.com

fahri-ahok

Salah satu yang paling dikeluhkan dari Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah komunikasinya yang keras, selain statusnya yang non-Muslim. Ia kerap mengeluarkan kata-kata yang dianggap tak pantas. Tak main-main, poin ini menjadi salah satu titik kritik keras kalangan oposisi Ahok sekaligus pertimbangan bagi calon pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta nanti.

Begitu juga Fahri Hamzah. Ia dipecat dari seluruh jenjang kepartaian Partai Keadilan Sejahtera (PKS) lantaran, seperti ditegurkan Ketua Majelis Syuro PKS, salah satunya tidak menjaga kesantunan dalam menyampaikan pendapat ke publik. Dengan begitu, posisinya sebagai anggota PKS, apalagi di kursi Wakil Ketua DPR RI, akan mengancam marwah PKS.

Namun, apakah itu melanggar etika atau tak etis? Pertanyaan ini penting untuk diperbincangkan, sebab jika itu menyangkut etika, maka berarti menyangkut moral: tata nilai paling dasar dari manusia.

Artinya, jika jawaban pertanyaan itu adalah “iya”, berarti Ahok dan Fahri tak bermoral. Sesuatu yang tak kalah–atau bisa jadi lebih–menjatuhkan Ahok di mata Muslim ketimbang statusnya yang non-Muslim. Sebab, Islam dan moral adalah satu kesatuan. Apalagi bagi Fahri dalam posisinya sebagai anggota partai Islam dan wakil rakyat.

Kita sering gagal memahami etika, dalam posisinya vis a vis sopan santun. Sesuatu yang tak sopan dan tak santun sering kali disebut atau dihukumi tak etis, melanggar etika. Padahal, sebenarnya sopan-santun bukanlah etika, melainkan etiket. Dua istilah yang sering kita gagal pahami, lebih-lebih, bedakan. Sebab, dua istilah itu mirip sekali hingga seolah yang satu hanya sekadar variasi agar tampak lebih keren, dan apalagi sama-sama berkaitan dengan norma tingkah laku.

Etika adalah norma tingkah laku yang mengacu pada ranah moral. Sedangkan etiket mengacu pada ranah sopan santun. Keduanya benar-benar berbeda: yang beretika belum tentu beretiket, juga sebaliknya.

Koruptor jelas tak beretika, namun di negeri ini mereka kerap beretiket. Bahkan, keberetiketan koruptor menjadi salah satu pembedanya dengan maling ayam atau copet angkot. Dan untuk yang sebaliknya, Ahok mungkin adalah contoh tepat: beretika, namun tak beretiket. Tentu yang sempurna adalah saat seseorang memegang etika dan etiket sekaligus.

Etika bersifat universal: lintas budaya, bahkan agama. Budaya atau agama mana pun mengajarkan moralitas. Namun, etiket bersifat parsial: berbeda-beda setiap ruang dan waktu, budaya, agama, dan sebagainya.

Sesuatu yang sopan di sini, belum tentu sopan di sana. Sebagai contoh, berjalan di depan orang lain (apalagi umurnya lebih tua) tanpa membungkukkan badan dan mengucap “permisi” adalah wajar-wajar saja di masyarakat Barat, namun melanggar etiket masyarakat kita, khususnya Jawa.

Dalam konteks etiket, kuatnya iklim politik pencitraan–setidaknya dimulai sejak kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)–membuat etiket campur aduk dengan citra. Yang santun adalah mereka yang membangun citra khas orang Jawa dengan tipologinya yang halus. Sehingga tipologi kepemimpinan minus pencitraan: keras, blak-blakan, apa adanya seperti Ahok dan juga Fahri, seolah menerobos norma etiket. Padahal, bagi masyarakat Batak, Madura, Indonesia Timur, dan juga Betawi, tipologi semacam itu merupakan kelumrahan.

Pada akhirnya mungkin kita perlu “kacamata” yang tepat dalam melihat sosok Ahok dan Fahri. Tak adil jika kita melihat dan menilai sosok keduanya dengan “kacamata” budaya, apalagi subjektivitas kita sendiri.

Bagi PKS, yang ditunggu oleh masyarakat dari partai itu adalah pembenahan di tingkat etika. Kader bahkan pemimpin teras partai itu kerap terjebak dalam masalah etika, seperti korupsi. Itulah yang harus menjadi perhatian ekstra partai itu dan disikapi supertegas. Jangan hanya pada Fahri yang–menurut mereka–punya masalah etiket: sesuatu yang mungkin memang penting bagi proyek pencitraan partai itu, tapi tentu tak lebih penting dari masalah etika yang bukan hanya soal citra, tapi  moralitas dan amanah rakyat. Sebab, dalam konteks PKS, melanggar etika berarti membuat asas paling dasar dan utama partai itu batal, yakni Islam.

Adapun jika hanya perkara etiket, jangankan Fahri yang menyebut anggota DPR rada-rada beloon, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pun jauh-jauh hari telah menyebut DPR seperti Taman Kanak-kanak (TK), dan bahkan beberapa waktu setelah itu diralat menjadi Play Group. Karenanya, mungkin Fahri bisa balik bertanya: ber-etika-kah PKS yang memecat dia hanya karena masalah etiket?

Marwah adalah kehormatan, harga diri. Marwah tak bisa dipondasikan oleh citra melainkan moral. Ia juga takkan runtuh karena problem citra, melainkan problem etika. Etiket hanya cover dari etika: indahnya cover berarti jika isi sebuah buku bermakna, dan keindahan etiket menjadi banal–bahkan munafik–jika tanpa etika yang baik.

Justru jika kader PKS terus terjerat dengan masalah etika, mungkin kita umat Islam berhak dan harus meminta partai itu mencabut embel-embel atau klaim Islamnya. Karena embel-embel atau klaim itu telah mengancam marwah agama Islam.

Sayyed Fadel
Sayyed Fadel
Juragan buku, suka ngopi di KedaiSastra.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.