Sabtu, April 20, 2024

Ahok dan Penggusuran: Dibenci dan Dirindu

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
Warga berbincang di tenda yang didirikan di Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat (17/6). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/16.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dari masa ke masa tidak pernah luput dari kontroversi penggusuran. Menjelang Pemilihan Kepala Daerah Jakarta 2017, isu penggusuran semakin meluas diliput oleh media. Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok adalah titik sentral dari peliputan tersebut, terutama terkait dengan posisinya sebagai petahana, yang memiliki kompetitor pada pilkada.

Dalam konteks kebijakan penggusuran, sangat menarik membandingkan kebijakan penggusuran era Ahok dengan Ali Sadikin maupun pendahulunya yang lain. Walau ada yang pro dan kontra, banyak sekali yang “merindukan” sosok Ahok, baik media massa, sesama politisi, maupun warga. Sebab, pemberitaan seputar Ahok selalu kontroversi dan bernilai jual tinggi.

Walau terkesan sangat bombastis, pengamat sejarah Jakarta JJ Rizal menyebut Ahok sebagai penggusur paling brutal. Alasannya, Ahok kurang melakukan sosialisasi dan komunikasi efektif dengan warga sebelum melakukan penggusuran. JJ Rizal bahkan membandingkan Ahok dengan Ali Sadikin dan Bung Karno, yang dinilai lebih manusiawi dalam melakukan dialog dengan warga.

Terlepas dari kritik JJ Rizal yang sangat menarik ini, sesungguhnya Ahok telah berhasil menjadi “wacana” yang dilempar ke publik dan siap untuk dikaji dalam berbagai segi. Peningkatan intensitas kajian terhadap kebijakan Ahok justru berpotensi meningkatkan popularitas dan elektibilitas Ahok itu sendiri melalui media.

Ini menjadi catatan untuk pihak oposisi dan lawan politik Ahok. Bahwa pa pun pendapat mereka mengenai Ahok, justru akan berpotensi menguntungkan Ahok sendiri. Sementara itu, melemparkan kritik yang terlalu akademis dan evidence-based kepada Ahok justru akan kurang menarik di mata media, karena terlalu “kering” dan membosankan untuk diliput. Memang, hal semacam ini membuat oposisi dan lawan politik Ahok dilematis.

Warga melaksanakan Salat Magrib di Mushola Al-Jihad yang didirikan kembali di Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat (17/6). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/16.
Warga melaksanakan Salat Magrib di Mushola Al-Jihad yang didirikan kembali di Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat (17/6). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/16.

Di satu sisi, melihat kasus penggusuran sebenarnya tidak sesederhana apa yang kita baca di media massa dan terutama di media sosial. Kasus yang umum terjadi adalah warga menempati tanah negara atau pemerintah daerah selama berpuluh-puluh tahun. Sementara surat peringatan sudah berkali-kali dilontarkan oleh pemerintah kepada mereka.

Begitu langkah tegas diambil, yang terjadi adalah resistensi keras. Tentu bagi pihak yang beroposisi terhadap pemerintah, ini adalah “bahan bakar” untuk mengkritik kebijakan yang berkuasa. Mengambil langkah bersimpati kepada warga adalah konsekuensi logis bagi pihak oposisi. Maka, Ahok dan pengikutnya perlu berhati-hati, karena masyarakat kita terkenal mellow dan mudah bersimpati kepada mereka yang dibingkai media sebagi “terzalimi”.

Sudah banyak kasus politisi yang sukses karena terkena isu “dizalimi” ini. Dalam kacamata politik, memang Ahok perlu berhati-hati menghadapi hal semacam ini dan perlu lebih mengintensifkan persuasi dan lobi-lobi secara informal di belakang layar untuk memberikan pencerahan kepada tokoh masyarakat dan perwakilan media. Dengan begitu, mereka mengetahui bahwa kebijakan yang diambil berbasis evidence-based, bukan berdasarkan kepentingan kelompok atau golongan.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok melambaikan tangan kearah wartawan saat akan mengikuti sidang perdana di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (22/8). Ahok hadir untuk mengikuti sidang perdana perkara pengujian UU Pilkada Pasal 70 (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, mengenai cuti selama masa kampanye Pilkada yang diajukan sendiri oleh Ahok. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/pd/16

Di lain sisi, pihak oposisi sebaiknya obyektif juga terhadap Ahok dalam kasus penggusuran. Sebenarnya Ahok tak selamanya pro-penggusuran. Ahok malah meminta wali kota Jakarta Barat membatalkan penggusuran di Mangga Besar. Alasan Ahok, sengketa yang terjadi bukan antara pemprov dan warga, tetapi antara warga dan swasta. Ahok memerintahkan semua aparat pemprov tidak ikut campur dalam urusan ini.

Dalam konteks itu, Ahok melihat pada bukti-bukti dan fakta yang ada bahwa pemda tidak punya kepentingan terhadap urusan ini. Dengan demikian, Ahok justru berhasil menyelamatkan kepentingan negara terhadap campur tangan yang tidak perlu.

Yang menarik, meski diajak demo, warga rumah susun Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur, misalnya, malah berfoto-foto dengan Ahok. Ajakan forum RT/RW se-Jakarta Timur untuk mendemo Ahok dianggap sepi oleh warga. Di sini justru terlihat warga merasa diuntungkan oleh kebijakan Ahok, terutama terkait perumahan.

Jika kepentingan warga sudah sejalan dengan kebijakan pemerintah, tak mudah bagi oposisi untuk melakukan perlawanan. Melongok pada sejarah, perlawanan terhadap pemerintah hanya bisa dilakukan jika masyarakat atau warga ditindas secara sistematis oleh negara. Hal ini yang dirasa absen oleh warga Cipinang Besar.

Pilkada DKI Jakarta 2017 semakin mendekat. Ironisnya, walau “dibombardir” berbagai kritik dan celaan, popularitas dan elektabilitas Ahok tetap tinggi dan diprediksi akan tetap demikian sampai menjelang pilkada itu sendiri. Oposisi sebenarnya semakin kehabisan opsi untuk menjegal Ahok itu sendiri.

Namun, politik penuh dengan perubahan yang tidak terduga. Jika oposisi mampu memainkan perubahan skala-detik yang umum terjadi di dunia politik, bukan tidak mungkin mereka akan mendapat keuntungan dan berjaya. Hanya Ahok dan pengikutnya tentu tidak senaif itu, karena momen-momen perubahan itu juga akan mereka manfaatkan.

Maka, pada akhirnya Pilkada Jakarta 2017 benar-benar merupakan adu kecerdasan politik secara masif untuk menentukan siapa sesungguhnya yang akan pantas memerintah ibu kota mulai saat itu juga. Jika yang paling kompeten terpilih menjadi gubernur, tentu warga DKI Jakarta yang akan paling diuntungkan.

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.