Sabtu, April 20, 2024

Ahadiyyah, Wahidiyyah, dan Menifestasi Keduanya dalam Diri Nabi

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.

Bayangkan satu buah kertas kosong di hadapan Anda. Tidak ada garis, tidak ada tulisan. Tulisan itu kosong melompong tanpa ada coretan sama sekali. Adakah sesuatu yang bisa kita dapatkan dari sesuatu yang kosong? Tidak ada. Kekosongan adalah ketersembunyian yang tidak bisa memberikan kejelasan.

Lalu, misalnya, satu menit selanjutnya, Anda menuliskan sesuatu di atas kertas kosong itu. Tulisan itu, misalnya, berisikan kalimat, “tidak ada ada wujud yang hakiki di dunia ini, kecuali wujud Allah Swt.”

Apa yang terjadi ketika itu? Kertas itu tidak kosong lagi, tapi dia sudah berisikan sebuah tulisan. Kertas kosong itu telah menampakan sesuatu, dan kita bisa menangkap penjelasan dari sesuatu yang telah melahirkan sebuah penampakan itu. Alam semesta ini, dalam keyakian umat Islam, ada dari ketiadaan (hâdits). Dulunya tidak ada, kemudian ada. Tapi, ketika alam tiada, Tuhan sudah ada. Tuhan ada sebelum segala sesuatu ada.

Nah, ketika Tuhan ada dengan diri-Nya sendiri, tersembunyi dan menyendiri dari segala sesuatu, maka itulah maqam ketuhanan yang oleh para sufi disebut dengan istilah ahadiyyah (keesaan). Kita bisa mengibaratkan maqam ahadiyyah ini seperti kertas kosong itu tadi. Di mana ketika itu dia belum memiliki penampakan sama sekali.

Ungkapan Allah ahad, bermakna bahwa Allah itu Esa, tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian, dan ia tersembunyi serta menyendiri dari segala sesuatu. Pada maqam ahadiyyah, tidak ada sesuatu yang ada bersama Allah. Dia hanya ada dengan diri-Nya sendiri.

Lalu, sebagaimana termaktub dalam salah satu hadits qudsi, Allah Swt ingin memperkenalkan diri-Nya. Maka Dia ciptakanlah alam semesta. Ketika alam semesta tercipta, maka seluruh sifat-sifat-Nya, yang tadinya tersembunyi dan menyendiri dengan dzat-Nya itu, mulai memiliki penampakan (tajalli). Kertas yang tadinya kosong melompong itu kini mulai terisi oleh sebuah tulisan.

Nah, maqam ketuhanan yang melahirkan manifestasi dan penampakan itu, dalam istilah para sufi, disebut dengan istilah maqam wâhidiyyah (kesatuan). Kita bisa mengibaratkan maqam wâhidiyyah ini seperti kertas yang sudah berisikan tulisan itu tadi.

Ungkapan Allah wâhid mengandung makna, bahwa Allah itu satu, tidak berbilang, dan dengan yang satu itu tampaklah segala sesuatu. Menarik dicatat bahwa sebagaimana angka satu menjadi asal muasal dari semua angka—dan dia ada pada semua angka—maka Allah yang satu itu juga menjadi asal muasal dari semua wujud. Tanpa adanya satu, kita tidak akan bisa berkata dua, tiga, empat dan seterusnya. Tanpa adanya kesatuan (wâhidiyyah) Allah, maka alam semesta ini juga tidak akan tercipta dan tidak akan tampak seperti yang ada di hadapan kita.

Pada maqam ahadiyyah, Tuhan “tenggelam” dari keesaan diri-Nya. Karena itu, ia tidak menerima penampakan. Tapi maqam wâhidiyyah menerima penampakan (tajalli) itu. Maqam ahadiyyah menunjuk pada Dzat Allah yang tersembunyi dan menyendiri dari segala sesuatu. Sementara maqam wâhidiyyah menerima penampakan sehingga dengannya terciptalah segala sesuatu. Ahadiyyah menunjukan ketersembunyian mutlak, sedangkan wâhidiyyah menunjukan kelahiran dan ketersaksian yang banyak.

Dengan wâhidiyyah-Nya, kertas yang kosong itu kini sudah terisi. Nama-nama dan sifat Tuhan sudah memiliki penampakan dan manifestasi. Tapi, untuk sampai pada penampakan itu, di sana ada sebuah perantara. Perantara antara “ketersembunyian” dengan “penampakan”; antara kesendirian dengan keberbilangan; antara yang batin dengan yang lahir; antara yang tidak tampak dengan yang tampak. Apa perantara itu? Dalam keyakinan para sufi, yang menjadi perantara itu ialah ruh/spirit nabi Muhammad Saw.

Dan inilah yang sering mereka sebut dengan istilah al-Haqîqah al-Muhammadiyyah. Atau, dalam istilah Syekh Yusri, al-Rûhaniyyah al-Muhammadiyyah. Ketika kita berbicara ruh, maka yang kita maksud tentu bukan fisik nabi Muhammad yang terlahir di jazirah Arab. Yang kita maksud adalah sesuatu yang bersifat non-materil, yang dimiliki oleh nabi Muhammad, yang telah Allah ciptakan sebelum fisiknya terlahir.

Dari sini, penting untuk kita ketahui, bahwa di samping nama Muhammad, makhluk yang Allah jadikan sebagai perantara juga menyandang nama Ahmad. Ahmad adalah salah satu dari nama nabi Muhammad yang menunjuk pada ruhnya, bukan fisiknya.

Karena itu, dalam al-Quran, ketika nabi Isa As memberikan kabar akan kedatangan seorang utusan yang melanjutkan ajarannya, nama yang dia gunakan adalah Ahmad, bukan Muhammad (Q. 61: 6). Sebab, ketika itu, fisik nabi Muhammad memang belum tercipta. Yang baru tercipta hanyalah ruhnya, yang ditunjuk oleh nama Ahmad.

Sekiranya nabi Isa menggunakan kata Muhammad, maka niscaya apa yang dia informasikan tidak sesuai dengan fakta. Karena fisik nabi Muhammad, ketika itu, belum terlahir. Nama Muhammad adalah nama yang menunjuk pada keterciptaan lahiriahnya. Sementara nama Ahmad ialah nama yang menunjuk pada keterciptaan ruhnya.

Kalau Anda perhatikan, nama Ahmad itu, yang terdiri dari hamzah-ha-mim-dal, jika kita buang huruf mim-nya, maka tersisalah kata ahad (Yang Esa), yang merupakan salah satu dari nama Allah Swt, yang dari nama itu lahirlah istilah ahadiyyah. Mim dalam kata ahmad itu, mengutip pandangan Syekh Yusri, adalah mim al-Mukawwanât.

Kata mukawwanât merupakan bentuk jamak dari kata mukawwan, yang berarti ciptaan. Seolah-olah, dengan nama Ahmad, Allah ingin menunjukan bahwa yang menjadi perantara antara ketersembunyian dan keterciptaan alam semesta itu ialah ruh nabi Muhammad Saw, yang bernama Ahmad.

Dan ruh itulah yang menjadi perantara, atau barzakh dalam istilah Syekh Yusri, antara ahadiyyah—yang menunjukan ketersembunyian Tuhan—dengan wahidiyyah—yang menunjukan kelahiran dan penampakan. Tanpa adanya ruh itu, alam semesta ini tidak akan tercipta. Ruh itu adalah perantara dari semua perantara (wasîthath al-Wasâith).

Dalam bahasa Syekh Yusri, ruh nabi Muhammad itu ialah barzakh antara maqam ahadiyyah dan wâhidiyyah. Allah yang tadinya tersembunyi dan menyendiri itu melahirkan ciptaan dan menunjukan penampakaan nama-nama, sifat dan perbuatannya melalui ruh nabi Muhammad Saw. Dan dari ruh nabi Muhammad itu terciptalah alam semesta.

Sebagaimana tidak ada sesuatupun di dunia ini yang menyerupai Dzat, sifat, dan perbuatan Allah, maka tidak ada satu makhluk pun—sekali lagi makhluk—di dunia ini yang bisa menyerupai kesempurnaan dzat, sifat dan perbuatan nabi Muhammad Saw. Dialah satu-satunya makhluk yang diutus sebagai rahmat bagi alam semesta. Tidak ada makhluk yang menyandang kemuliaan itu kecuali nabi Muhammad Saw. Dan inilah manifestasi wâhidiyyah-nya Allah dalam diri nabi Muhammad Saw.

Adapun manifestasi dari ahadiyyah-Nya, yang menunjukan ketersembunyian, Allah Swt menjadikan ruh nabi Muhammad “tersembunyi” di balik alam semesta ini. Ruh itu menjadi penyangga eksistensi alam semesta. Jika ruh itu tiada, maka alam semesta ini bisa kembali tiada. Ruh itu tercipta sebelum makhluk-makhluk lain tercipta. Tanpa ruh itu, alam semesta ini tidak akan pernah ada. Demikian, wallahu ‘alam bisshawab.

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.