Di manakah sebetulnya ruang yang benar-benar aman dan nyaman bagi anak-anak? Pertanyaan ini layak dikemukakan, sebab setiap hari kasus penganiayaan dan tindak kekerasan terhadap anak terus terjadi di berbagai tempat. Tidak hanya terjadi di rumah atau di sekolah, tetapi juga di ruang-ruang publik.
Anak-anak usai pulang sekolah, ketika pamit belajar kelompok, atau tengah jalan-jalan, jangan kaget jika ujung-ujungnya yang pulang hanya tinggal nama. Seperti kasus yang dialami PNF, bocah perempuan berusia 9 tahun asal Kalideres, Jakarta Barat, ini ditemukan sudah meringkuk kaku di sebuah kardus. PNF adalah korban pemerkosaan dan pembunuhan yang untuk kesekian kali menambah jumlah anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan orang dewasa di sekitarnya.
Di desa maupun di kota besar, tampaknya tak ada lagi tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak untuk mengisi waktu luang mereka. Jangankan di jalan umum di mana banyak orang jahat yang tak dikenal korban, di sekolah dan bahkan di rumah sendiri pun tak jarang anak memperoleh perlakuan yang tidak semestinya dari orang-orang terdekatnya. Ayah, ibu, kakek, nenek, paman, kakak, tetangga, atau kerabat yang lain, tidak sekali dua kali mereka terbukti menjadi monster jahat yang tega menganiaya, memperkosa, dan mempelakukan anak dengan kejam.
Di rumah, anak-anak sering memperoleh perlakuan kasar dan kejam dari orang tuanya sendiri tanpa dapat dicegah karena tersembunyi dari amatan publik. Di ruang publik, seperti di jalan raya, di gang-gang sepi, di taman, dan lain-lain, anak-anak rentan mendapat perlakuan yang tidak semestinya, karena masyarakat terbiasa hidup impersonal. Sikap acuh tak acuh dan perilaku soliter masyarakat seringkali menjadi saksi bisu dari berbagai kejadian penipuan, penculikan, dan penganiayaan anak-anak.
Berbeda dengan pola yang biasa terjadi, yakni kekerasan terhadap anak umumnya terjadi di rumah dan kerap justru dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan korban, kasus yang menimpa bocah yang ditemukan dalam kardus beberapa waktu lalu, tampaknya adalah kejadian terencana oleh orang-orang jahat yang punya kelainan psikologis.
Di kalangan orang-orang yang gagal menyesuaikan diri dengan perubahan dan lingkungan sosial di sekitarnya, mereka biasanya akan tumbuh menjadi orang-orang yang patologis. Seorang pedofil, misalnya, biasanya adalah korban dari situasi buruk ketika mereka kecil, yang kemudian mengakibatkan mereka tumbuh dengan kepribadian menyimpang. Alih-alih mengembangkan perilaku yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, orang yang tumbuh dengan kepribadian menyimpang biasanya lebih memilih mengembangkan identitas yang berbeda (the other)–yang tak jarang membahayakan orang lain, terutama anak-anak.
Kesempatan dan ketidakberdayaan korban biasanya adalah pertimbangan utama pelaku tindak kejahatan kenapa mereka lebih memilih anak-anak sebagai korban daripada orang dewasa. Anak-anak yang lugu, mudah ditipu, tidak berdaya dan penurut, biasanya adalah sisi lemah anak yang dimanfaatkan para pelaku child abuse untuk memilih korban.
Anak yang ada di ruang publik dan tak terlindungi keluarganya niscaya merupakan korban potensial yang senantiasa menjadi incaran para pelaku child abuse. Bagi para pedofil yang punya kelainan perilaku seksual, dan sengaja mengincar anak-anak di bawah umur sebagai korban, biasanya dengan leluasa dapat menjalankan aksinya pada saat menemukan anak-anak yang sendirian–jauh dari amatan publik.
Entah dengan modus bujuk rayu atau paksaan, anak-anak yang menjadi korban tindakan sexual abuse umumnya tidak akan banyak berdaya, dan bahkan tanpa sadar mengikuti apa kemauan pelaku karena menjadi korban iming-iming yang tidak mungkin mereka tolak. Dalam berbagai kasus, hanya dengan bermodal sebungkus permen atau uang receh 10 ribuan, seorang pelaku kejahatan susila terhadap anak dengan mudah dapat menjerat korbannya, untuk kemudian dieksekusi di tempat yang tersembunyi.
Di kota besar seperti Jakarta, rumah petak, apartemen yang sepi, rumah kosong, dan lain-lain, sering menjadi tempat yang aman bagi pelaku sexual abuse untuk memperkosa anak yang menjadi korbannya. Bisa dibayangkan, apa yang bisa dilakukan anak berusia 9 atau 10 tahun jika di hadapan mereka ada laki-laki dewasa yang tak segan bertindak kasar jika kemauannya tak dituruti.
Kisah tragis seperti dialami PNF adalah salah satu kasus dari ratusan atau mungkin ribuan kasus pemerkosaan terhadap anak yang terjadi di tanah air. Seperti dilaporkan di media massa, kasus pemerkosaan terhadap anak sering terjadi di berbagai daerah dengan ujung cerita yang sama: korban diperlakukan sangat tidak manusiawi, diperkosa, dipaksa melakukan oral seks, menerima anal seks, dan kemudian dibunuh tatkala pelaku sudah puas melampiaskan syahwat bejatnya.
Di negara lain seperti India, kasus pemerkosaan yang terjadi juga tak kalah memiriskan hati. Meski para pelaku yang tertangkap telah mendapatkan hukuman seberat-beratnya, kasus sexual abuse tetap terjadi dari waktu ke waktu. Anak-anak di bawah umur diperkosa sejumlah laki-laki brutal, dan kemudian dibunuh dengan cara digantung di pohon–tanpa ada rasa belas kasihan sedikit pun dari para pelakunya.
Ancaman sanksi atau hukuman yang berat, bagi pelaku sexual abuse, tampaknya bukan hambatan dan pertimbangan mereka melakukan tindak kekerasan terhadap anak atau tidak. Godaan situasi sesaat dan rangsangan birahi yang bercampur dengan kepribadian yang menyimpang acap menjadi faktor pemicu yang lebih kuat daripada ketakutan dan ingatan mereka terhadap ajaran agama yang dianutnya.
Untuk mencegah agar anak-anak lain tidak mengalami nasib yang sama seperti PNF, yang dibutuhkan bukanlah pendekatan legal-punitif dan sekadar menyerahkan penanganan kasus ini pada aparat penegak hukum. Tanpa didukung kepedulian dan keseriusan pemerintah, masyarakat, orang tua, guru, dan siapa pun warga masyarakat, niscaya kasus yang dialami Putri akan tetap terus terjadi. Apakah kita harus menunggu anak-anak kita atau orang terdekat yang kita sayangi menjadi korban terlebih dahulu?