Sabtu, Oktober 5, 2024

Agar Jokowi dan KPK Tak Mati Suri

Feri Amsari
Feri Amsari
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi menyusun poster bertuliskan ‘SAVE KPK’ di Gedung KPK Jakarta, Jumat (23/1). Mereka menuntut Mabes Polri membebaskan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto yang ditangkap pihak kepolisian. The Geotimes/Reja Hidayat
Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi menyusun poster bertuliskan ‘SAVE KPK’ di Gedung KPK Jakarta, Jumat (23/1). The Geotimes/Reja Hidayat

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali berencana “mematikan” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Melalui revisi undang-undang lembaga antirusuah itu, DPR merancang pasal-pasal yang melemahkan KPK dengan membatasi kewenangan penindakan. Selain membatasi kewenangan, KPK direncanakan tak berumur panjang. Para wakil rakyat menghendaki KPK hanya berumur 12 Tahun.

Rencana DPR itu ditentang publik. Di ruang publik, rakyat menyatakan sikap berbeda dengan para wakilnya di DPR. Namun ketika “pertikaian” yang gaduh itu terjadi, Presiden Joko Widodo memilih bungkam, tidak menyampaikan sikap nyatanya terhadap rencana revisi UU KPK tersebut. Padahal ketegasan Presiden untuk berpihak kepada pendapat rakyat dapat menghentikan langkah DPR “mengobok-obok” KPK.

Ketika Presiden menolak menyetujui rancangan revisi undang-undang itu, maka berdasarkan Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 69 ayat (3) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, rencana DPR dengan sendirinya akan gagal. Berdasarkan ketentuan tersebut, sepertinya “bola panas” sengaja digulirkan DPR kepada Presiden. Tanpa keberanian sikap individu Presiden, bukan tidak mungkin Jokowi akan dipersalahkan publik karena terlibat dalam rencana mematikan KPK.

Meski sikap lamban Presiden berhasil ditutupi dengan pernyataan Menteri Sekretaris Negara bahwa Presiden belum berkehendak merevisi UU KPK, di sisi lain Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia “dituduh” DPR ikut terlibat dalam merancang draf revisi UU KPK tersebut. Dua sikap anggota Kabinet Kerja itu dapat ditafsirkan bahwa Presiden belum menentukan sikap personalnya terhadap upaya pelemahan KPK. Atau, bukan tidak mungkin, ada anggota Kabinet yang bergerak di luar perintah Presiden. Dengan perbedaan dua menteri itu, Presiden mesti berani bersuara menyampaikan sikap pemerintahannya terhadap rencana DPR tersebut.

Jika Presiden tidak menyatakan penolakan atau persetujuannya terhadap revisi UU KPK itu, maka dugaan bahwa Kabinet berjalan tanpa komando Presiden menjadi masuk akal. Kabinet yang tanpa komando hanya akan menghasilkan pemerintahan terbelah. Pemerintahan yang demikian tak akan berumur panjang.

Perbedaan dua menteri itu terjadi karena ada menteri yang lebih mematuhi partainya dibandingkan Presiden. Itu sebabnya Presiden harus menunjukan “taringnya” agar tidak ada menteri yang bertindak berbeda dengan komandonya. Sikap Menteri Hukum dan HAM yang mendukung revisi UU KPK itu merupakan cerminan sikap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Sikap tidak tegasnya Presiden diduga kuat berkaitan dengan sikap PDI-P, partai yang mendukung pencalonan Jokowi. Presiden harus menyadari bahwa partai pendukungnya tersebut telah bergerak menciptakan situasi yang tidak nyaman bagi publik pada masa pemerintahannya. Partai pendukung pemerintahan yang dengan sengaja menciptakan “keributan” biasanya berencana membangun opini bahwa pemerintahan yang sedang berlangsung telah gagal.

Langkah PDI-P itu menyerupai tindakan partai dalam sistem parlementer yang hendak mengganti Perdana Menteri. Kekacauan itu dibangun dengan tujuan agar mosi tidak percaya kepada kepala pemerintahan dapat diusulkan.

Presiden harus menyadari bahwa partai pendukungnya telah bertindak mengganggu ketenangan pemerintahannya. Artinya, Presiden tidak memiliki partai yang sepenuhnya mendukung pemerintahannya di DPR. Dalam kondisi demikian, Presiden harus bersatu bersama rakyat. Hanya dengan cara demikian Presiden dapat melindungi masa jabatannya.

Keberanian Jokowi melawan DPR dengan berpihak kepada sikap rakyat adalah sikap Presiden yang semestinya. Presiden harus menyadari bahwa jabatannya berasal dari proses pemilihan langsung oleh rakyat, bukan melalui pemilihan di parlemen.

Setidaknya sikap Presiden melindungi KPK memiliki dua keuntungan. Pertama, Jokowi dapat menghindari dominasi partai pendukungnya dalam menentukan kebijakan pemerintah. Dengan demikian ketua partai pendukung dapat dipandang sebagai figur yang mengelola administrasi partai semata saja, bukan menjadi pimpinan pemerintahan sebagaimana sistem parlementer. Partai harus diberikan pemahaman bahwa tanpa dukungan partai sekalipun, jabatan Presiden tak dapat diganggu gugat karena proses pemberhentian Presiden tidak terjadi dengan mudah.

Kedua, jika Presiden berani melindungi KPK dengan menyatakan sikap bahwa Istana tidak berminat merevisi UU KPK, maka Presiden akan mendulang dukungan publik. Dukungan tersebut akan menegaskan bahwa keberhasilan Jokowi menjadi Presiden tidak berkaitan sama sekali dengan visi dan misi partai pendukungnya. Sikap tegas itu akan menguatkan posisi Presiden terhadap parlemen. Jika tidak berani bersikap, bukan tidak mungkin segala kebijakan Presiden akan dipermainkan oleh keberagaman kehendak partai politik di DPR.

Namun pertanyaan pentingnya adalah: beranikah Presiden bersikap tegas melindungi KPK dengan menolak revisi UU KPK? Jokowi perlu bangun dari mati surinya dalam menyikapi rencana DPR mematikan KPK. Bersikaplah, Pak Presiden!

Feri Amsari
Feri Amsari
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.