Jumat, Maret 29, 2024

Saatnya Jokowi Mengakhiri Polemik Menteri

Beni Kurnia Illahi
Beni Kurnia Illahi
Pengajar hukum di Universitas Bengkulu. Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.

jokowi-kabinetPresiden Joko Widodo menyampaikan pengantar dalam sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Rabu (10/2). ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf

Jalan panjang yang diarungi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla selama kurang lebih satu semester ini mendapat respons yang cukup variatif, baik dalam kebijakan ekonomi, politik, hukum, dan pemerintahan. Di balik respons itu, sorotan yang menyita perhatian publik hari-hari ini tergambar dari kinerja para menteri yang belum progresif melihat situasi dan kondisi dalam menentukan arah sebuah kebijakan.

Masalah ini bisa dideskripsikan dari tindak tanduk sejumlah menteri di Kabinet Kerja yang ternyata lebih suka berebut prestise dalam mengeluarkan sebuah pernyataan ataupun kebijakan pemerintah secara absurd dengan saling serang sesama menteri. Entah dalam rangka meningkatkan profesionalitas dan loyalitasnya sebagai menteri di kabinet atau sebaliknya melakukan serangan psikis dan mendiskreditkan kinerja dengan modus pencitraan kepada Presiden.

Yang terang, akibat perseteruan antarmenteri, saat ini beredar isu reshuffle kabinet oleh Presiden sebagai subjek yang memiliki prerogatif otoritas tertinggi dalam menentukan bakal calon menteri yang akan dipromosikan.

Dalam batas penalaran yang wajar, serangan psikis dan saling mendiskreditkan kinerja yang dilakukan para menteri ini menunjukkan kurangnya koordinasi antara presiden dengan para menteri serta antara menteri yang satu dengan menteri yang lain. Padahal, secara tegas Pasal 7 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjelaskan bahwa kementerian mempunyai tugas menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.

Artinya, setiap menteri dalam kabinet, wajib merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan di bidangnya dan tidak mencampuradukkan tugas antar menteri. Kecuali memang ada koordinasi tugas dan fungsi yang jelas dan terstruktur yang disepakati oleh masing-masing menteri. Karena dampak yang ditimbulkan akan mengakar pada sistem birokrasi yang saling-silang, multitafsir perencanaan program, dan tumpang tindih kekuasaan.

Akibatnya, dalam tubuh eksekutif terjadi ketidakstabilan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dan politik di Indonesia. Menurut W. Ansley Wynes (1956), kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan dalam negara yang melaksanakan undang-undang, menyelenggarakan urusan pemerintahan, dan mempertahankan tata tertib dan keamanan, baik di dalam maupun di luar negeri.

Agaknya polemik antar menteri ini harus segera diakhiri melalui tangan dingin Sang Presiden. Karena Presiden memiliki residual power yang dikenal dengan istilah hak prerogatif. Hak prerogatif yang digunakan oleh presiden ini sesungguhnya telah diatur secara normatif dalam Pasal 17 ayat (2) UUD 1945 yang menjelaskan, “menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.”

Dengan demikian, presiden sebagai kepala pemerintahan seharusnya tegas dan konsisten dalam menjalankan mandat konstitusi ini. Karena kegaduhan antara para menteri akan berimplikasi terhadap efektivitas kerja pemerintahan. Karena ini akan berhubungan dengan pelayanan yang akan diberikan kepada masyarakat. Hak-hak masyarakat bisa dipertaruhkan kalau hal ini masih dibiarkan. Bayangkan, misalnya, para menteri yang bermanuver tersebut bisa bermuka dua.

Di satu sisi, mereka dapat mengawal konstitusi secara utuh.  Akan tetapi di sisi lain mereka bahkan dapat mengangkangi konstitusi tersebut. Harus sampai kapan Presiden bersikap untuk menahan menteri-menteri yang memang terbukti melakukan kegaduhan terhadap sistem yang ada.

Ibaratnya, tongkat prerogatif itu sekarang ada pada Jokowi selaku pengambil kebijakan. Jangan sampai terjadi bak pepatah Minang “tungkek pambaok rabah”. Artinya, tongkat yang semestinya menjadi tumpuan bagi seseorang agar bisa berdiri dan berjalan justru membuat dirinya jatuh. Jika ini yang terjadi akan menyengsarakan rakyat banyak.

Bahkan John Locke dalam bukunya Two Treatises of Government menukilkan, hak prerogatif sesungguhnya sebagai power untuk bertindak menurut keputusan sendiri (discretion) demi kebaikan publik, tanpa memastikan ketentuan hukum, kadang-kadang bahkan melawan hukum itu sendiri. Locke beralasan bahwa undang-undang yang ada belum mampu menampung banyaknya problematika yang ada.

Bahkan mustahil pula meramalkan undang-undang yang dapat menyediakan solusi terhadap kepentingan publik. Untuk itulah keberadaan kekuasaan istimewa yang disebut dengan prerogatif ini harus diaplikasikan oleh pengambil kebijakan dalam hal ini Presiden. Locke mengatakan prerogatif tidak lain adalah kekuasaan berbuat baik bagi publik tanpa adanya hukum.

Sebagai norma hukum tertinggi di Indonesia, konstitusi harus mampu dijalankan oleh seorang Presiden dalam menjalankan gerbong pemerintahan. Presiden mesti terlepas dari anasir-anasir politik praktis yang akan menghantui serta berujung menimbulkan conflict of interest dengan mafia-mafia yang mempunyai kekuasaan. Ketika Presiden tidak mampu mengambil kebijakan strategis dengan me-reshuffle anggota kabinet yang berpolemik, ini akan menjadi preseden buruk bagi Presiden dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ya, karena ada pihak-pihak tertentu yang kemudian mencoba mengendalikan sekaligus mengguncang tatanan pemerintahan. Baik dari kalangan elite politik maupun pihak-pihak luar yang bersindikat jahat. Persoalan ini sesungguhnya mengingatkan kita pada ungkapan yang pernah dilontarkan oleh Manuel L Quezon, presiden pertama Filipina persemakmuran (sebelum menjadi Republik Filipina), ”My loyalty to my party ends where, and my loyalty to my country begins”.

Setidaknya ungkapan tersebut secara eksplisit menjadi trigger bagi Presiden Indonesia ke-7 dalam menentukan arah kebijakan pemerintahannya. Karena, bagaimanapun, dia banyak dipengaruhi oleh pelbagai lingkaran-lingkaran politik setan.

Maka, perlu komitmen yang kuat dari Presiden dan seluruh lini serta stakeholders yang ada di negeri ini, agar konstelasi politik dan pemerintahan bisa berjalan stabil dan tidak terpengaruh oleh anasir-anasir politik yang menganggu kekuasaan eksekutif di Indonesia. Sebab, salah satu instrumen penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik setingkat Kementerian/Lembaga harus benar-benar diisi oleh sosok-sosok profesional, berintegritas, dan punya loyalitas tinggi dalam menjalankan program kerjanya, sesuai dengan visi misi kepala pemerintahan, yaitu Presiden.

Saatnya Presiden menentukan sikap dengan menggunakan hak istimewa (prerogatif) secara tepat dan strategis.

Beni Kurnia Illahi
Beni Kurnia Illahi
Pengajar hukum di Universitas Bengkulu. Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.