Kejadian yang menimpa dokter Fiera Lovita, Indri Sorayya Zulkarnain, dan Afi Nihaya karena tulisannya di media sosial yang mengungkapkan kebenaran dari perspektif berbeda, ternyata mendapatkan ancaman dan tekanan serius dari beberapa orang yang mengaku pembela dan pemuja pimpinan Front Pembela Islam (FPI).
Bagi saya, pengungkapan pendapat pribadi–terlebih menyodorkan alternatif kebenaran–tidaklah harus dipandang sebagai “ancaman” bagi seseorang atau kelompok tertentu, tetapi justru semestinya bisa menjadi sebuah “penyadaran” atas pandangan terhadap sebuah realita yang juga belum pasti kebenarannya.
Di mana pun sebuah kebenaran, ia tetaplah relatif, karena akan menyesuaikan dengan unsur subjektivitas yang dibawa dalam alam pikiran seseorang.
Kasus Fiera, Indri, dan Afi sepertinya malah menyadarkan banyak orang bahwa dalam alam realita pemikiran dan perbedaan pendapat, perlu adanya proses dialogis yang benar-benar terbuka, mengasumsikan kebenaran dari perspektifnya masing-masing, tanpa harus bersikap fanatik berlebihan dan menganggap bahwa kebenaran hanya ada, sesuai, dan diyakini oleh perspektifnya sendiri.
Sikap fanatisme berlebihan, terlebih fanatisme agama atau lebih jauh kultus individu, jelas menjadi ancaman bagi proses tumbuhnya peradaban kemanusiaan ketika proses dialogis yang seharusnya dikedepankan malah dibuang atas dasar fanatisme. Fanatisme dalam banyak hal adalah “kebutaan” dan “ketulian” yang mengkristal dalam hati seseorang sehingga sangat sulit sekali diajak berdialog.
Sikap fanatisme lahir dari sebuah keraguan atas kebenaran yang datang dari pihak lain, dan pada tahap tertentu dia juga meragukan kebenaran yang diyakininya sendiri. Karena mata hati dan pikirannya sudah tertutup, maka yang terjadi adalah mempertahankan kebenaran yang diyakininya dengan cara menutup diri dari kebenaran-kebenaran yang datang dari luar.
Hal ini jelas sebagaimana digambarkan al-Quran, bahwa hati mereka sedang sakit dan Tuhan akan terus menambah penyakit dalam hati mereka. “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta,” (QS. al-Baqarah: 10).
Dulu, sikap fanatisme berlebihan ditunjukkan oleh kaum munafik Mekkah yang terus menerus meragukan kebenaran ditambah sifat munafik mereka sehingga Allah menambahkan penyakit kepada hati mereka.
Saya tidak memandang kasus persekusi atas Indri dan Afi mengarah pada isu fanatisme agama, walaupun kenyataannya seringkali kempok persekusi ini membawa-bawa simbolisasi agama dalam berbagai macam aksinya. Fanatisme yang lebih jelas pada kasus ini adalah fanatisme kelompok yang secara sosial memiliki pandangan bahwa hanya kelompok yang diikuti dirinyalah yang paling benar, dan memandang kelompok di luar dirinya adalah salah dan perlu diluruskan.
Maka, ketika ada sebuah “perlawanan” terhadap kelompok mereka terlebih kepada pimpinan mereka, maka reaksi kelompok fanatik ini spontanitas akan muncul, tanpa harus bergerak berdasarkan komando yang diberikan oleh sang pimpinan. Sikap fanatisme ini memang telah tertanam dalam masing-masing individu karena umumnya, ia akan tumbuh dalam sebuah kelompok atau komunitas yang menyemai benih-benih fanatisme, baik secara agama, sosial maupun politik.
Dalam ajaran Islam, bersikap fanatik (ta’ashub atau ghuluw) terlebih fanatisme karena berlebihan dalam beragama jelas dilarang. Hal ini secara tegas disebutkan oleh al-Qur’an bahwa “tidak ada paksaan dalam beragama”. Konsekuensi lebih jauhnya adalah tidak dibolehkan memaksakan kebenaran yang diyakininya kepada orang lain untuk mengikuti kebenaran sesuai keinginannya.
Bahkan dalam sebuah riwayat hadis yang berasal dari Muslim, dijelaskan Nabi SAW, “agama itu mudah, janganlah berlebih-lebihan dalam beragama, karena jika demikian agama yang akan menudukkanmu” (menjadi fanatik). Berlebihan dalam beragama juga berbahaya karena akan menganggap kebenaran miliknya sendiri dan kebenaran lainnya dianggap sebuah kekeliruan. Hal inilah yang kita lihat pada kasus Indri dan Afi yang fenomenal ketika mengungkapkan kebenaran sesuai perspektif yang keduanya yakini.
Celakanya, ketika sikap fanatisme kelompok ini dibiarkan, yang seringkali terjadi justru cara-cara kekerasan yang dipakai untuk penyelesaian masalah. Sebab, cara-cara dialogis dianggap sama saja dengan mempertanyakan kembali “kebenaran” yang mereka yakini dan ini jelas merupakan ancaman bagi kelompok-kelompok fanatik.
Bentuk kekerasan akibat fanatisme bisa dilihat pada kasus di Portland, AS, ketika dua orang dibunuh hanya gara-gara menghalau seorang fanatik yang membabi-buta mengeluarkan kata-kata “rasis” kepada salah seorang penumpang berjilbab. Ini membuktikan bahwa fanatisme berlebihan akan membuta-tulikan hati dan pikiran sehingga cara-cara kekerasan akan menjadi jalan yang dianggap sebagai “kebenaran” yang mereka yakini sendiri.
Sikap fanatisme, apalagi berlebihan, tidak hanya menjadi fenomena masalah sosial saja, tetapi justru menjadi masalah serius dalam beragama karena fanatisme mengabaikan sikap toleransi. Agama, dalam perspektif ajaran Islam adalah “al-hanifiyah” (lurus, konsistensi) dan “al-samhah” (toleransi, terbuka).
Sikap fanatisme berdasarkan keyakinan keagamaan secara berlebihan akan berakibat terbentuknya ruang-ruang pembenaran yang “dipaksakan” atas nama agama. Mencaci, menghina, mengintimidasi, memaksa, terlebih mempersekusi pihak lain yang berseberangan pendapat dengan dirinya dianggap sebagai “pekerjaan agama” yang bernilai “kebenaran” bagi mereka.
Maka, ketika fanatisme kelompok dan fanatisme agama ini berpadu akan semakin tumbuh saja sikap-sikap intoleransi, kekacauan dan bahkan kekerasan yang pasti lahir sebagai reaksi atas kenyataan-kenyataan sosial yang semakin berkembang.
Saya beranggapan, sikap fanatisme yang melekat secara individu maupun kelompok harus didekati melalaui penyadaran sosial-keagamaan secara intensif sehingga lambat-laun sikap fanatisme yang melekat dapat memudar.
Dialog terus menerus harus selalu dikedepankan dalam membendung sikap fanatisme yang terlampau berlebihan, bukan dihadapi dengan cara-cara “gebuk” secara otoriter. Indonesia masih memiliki seperangkat hukum yang mampu dipergunakan untuk mengantisipasi kelompok-kelompok fanatik yang bersikap berlebihan dan merasa benar sendiri secara legal.
Jika memang tak harus dibubarkan, cukup kelompok-kelompok fanatik seperti ini “dipenjarakan” ideologi fanatismenya melalui penyadaran sosial-kegamaan, baik berupa dialog yang dinamis atau memperluas wawasan keagamaan mereka melalui serangkaian diskusi dan kajian.
Saya sepakat dengan ungkapan Presiden Jokowi bahwa masa 19 tahun Reformasi bangsa ini dalam kekosongan, sehingga ada pihak-pihak lain yang selama ini “mengisi” kekosongan tersebut. Walau saya tidak begitu memahami, yang dimaksud “kosong” oleh Jokowi apakah ideologi, semangat kebangsaan, nilai-nilai kebersamaan atau hal lain (seperti ideologi negara yang dilupakan atau kebhinnekaan yang kurang dianggap), yang jelas, maraknya sikap fanatisme kekelompokan telah membuat bangsa ini terkotak-kotak. Maka, wajar muncul polarisasi yang tajam dalam pemaknaan reformasi ini.
Kekosongan selama 19 tahun reformasi ternyata diisi oleh fanatisme berlebihan, baik oleh kelompok agama, politik atau primordial. Ini yang mungkin menuntut pemerintah bertindak cepat, “menggebuk” lebih dahulu sebelum fanatisme “mematok” kemudian.
Baca juga: