Jumat, April 19, 2024

Tuhan Tidak Menghendaki Olok-olok

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.

IA disebut Ummul Kitab, atau induk kitab. Sesungguhnya, untuk belajar mengenali diri sendiri, yang dengan demikian kita dapat belajar mengenal Tuhan, man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu, kita bisa merenungkan surat yang terdiri atas tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang ini. Q.S. Al Fatihah, namanya. Membacanya bagai membuka tabir rahasia menuju dimensi Ilahiah, namun berangkat tetap dengan jatidiri insaniah. Surat yang selalu dibaca Muslim dalam setiap salat ini menjawab banyak pertanyaan mengenai ketuhanan dan kemanusiaan. Mari kita bincangkan sekelumit surat yang teramat populer ini.

Ayat kesatu. Bismillaahirrahmaanirrahiim, dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kata bi, yang berarti dengan, dapat kita maknai sebagai ikhtiar hamba menghubungkan dan menyambungkan diri dengan Tuhan. Ismi, yang berarti nama, bisa kita maknai sebagai perihal yang menghubungkan dan menyambungkan itu. Yaitu, dengan menyebut atau menghadirkan NamaNya dalam kesadaran kita. Mengapa nama? Demikianlah keberpihakan Allah kepada manusia. Kita merasa terhubung dan tersambung jika nama kita dipanggil, kan? Ilahiah bukan berarti tidak manusiawi.

Nah, Nama Allah yang mana yang kita seru? Di antara 99 Asmaul Husna, yang selalu disebut-sebut adalah Ar-Rahmaan dan Ar Rahiim. Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang. Lagi-lagi, ini pun menunjukkan keberpihakan Allah kepada manusia dan kemanusiaan. Dalam Hadits Qudsi yang di-takhrij oleh Bukhari, Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya, Rahmat-Ku melampaui Kemurkaan-Ku.” Allah tidak menghendaki, apalagi mengajari, siapa pun untuk marah, murka, benci, dengki, dendam, dan sikap buruk lainnya. Allah mengasihi dan menyayangi makhluk-Nya.

Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, tentu saja diharapkan manusia menjadi perwujudan dari Kasih dan Sayang-Nya itu. Dengan demikian, perdamaian dan kedamaian di segala lapis kehidupan bisa lebih mudah diwujudkan. Tanpa kekerasan, pun tanpa pemaksaan. Nama Allah disebut bukan untuk pembenaran sepihak, tapi untuk menyampaikan kebenaran dengan cara-cara yang baik dan benar. Bukan dengan ujaran kebencian dan ajakan permusuhan dengan mengatasnamakan Allah, namun dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan dengan sanggahan yang baik pula.

Ayat kedua. Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin, segala puji bagi Allah, Pengatur alam semesta. Masih terkait dengan ayat kesatu, setelah (dengan) menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, ikhtiar menghubungkan dan menyambungkan penghambaan kepada Allah masih kita lanjutkan dengan memuji Dia dengan sebaik-baik pujian, bahkan dengan segala pujian.

Setelah dengan nama, mengapa dengan pujian? Marilah becermin: bukankah kita suka dipanggil dengan nama yang terpuji? Bukankah kita tidak suka diolok-olok? Bukahkah kita tak mau dipanggil dengan sesebutan buruk?

Untuk kesekian kali, Allah menunjukkan keberpihakan kepada manusia. Dia tidak menghendaki, juga tidak mengajarkan, olok-olok. Tidak menghendaki, pun tidak mengajarkan, hina-menghina. Sebutlah dirimu, dan setiap diri yang lain, dengan bahasa kasih sayang, dengan sebutan yang baik, dan dengan cara yang terpuji. Demikian kira-kira yang bisa kita sarikan. Namun, ada satu catatan penting: Allah tidak gila puji. Dia Yang Maha Terpuji itu tidak hilang kendali gara-gara dipuji. Dia tidak kemudian menjadi semena-mena. Allah tetap dan terus-menerus mengatur alam semesta dan menjaga keteraturan.

Bagaimana dengan kita? Seringkali kita mudah naik pitam ketika diolok-olok. Tapi, kita pun mudah tinggi hati ketika dipuji. Kita cepat berubah mengikuti keadaan dan kenyataan. Nah, dengan membaca ayat kedua Q.S. Al-Fatihah ini, terlebih jika dengan menghidupkan spiritnya dalam kesadaran diri, kita tergerak untuk selalu berbuat hal-hal yang terpuji, tidak suka merendahkan liyan, tidak pula gampang berubah karena dipuji atau dihina, dan belajar istiqamah dalam mengatur dan menjaga keteraturan laku hidup kita di dunia. Oleh karena itulah, wajar jika nilai istiqamah melampaui seribu karamah.

Bagaimana supaya bisa istiqamah? Ayat ketiga, Ar-Rahmaanir Rahiim, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, kembali diteguhkan. Pertama, dengan menjaga kehadiran Allah dalam setiap tarikan dan embusan nafas. Kedua, dengan menjaga perwujudan Kasih Sayang Allah dalam setiap gerak-gerik, bahkan diam, kita. Ketiga, dengan menjaga kesadaran kita tentang betapa Allah tidak menghendaki perbuatan hina dan menghina, tindakan murka dan hal-hal lain yang melampaui batas, serta hilangnya kendali atas diri sendiri dalam menghadapi keadaan dan kenyataan. Berikhtiar sabar dan sadar.

Apa itu sabar? Sabar adalah mematuhi waktu. Jika belum waktunya, bersabarlah. Jangan mendahului, sebab toh kita tidak akan pernah mampu mendahului waktu. Apa itu sadar? Sadar adalah menepati waktu. Jika sudah waktunya, sadarlah. Jangan membiarkannya lewat begitu saja, sebab kita tidak akan pernah mampu mengejar waktu yang telah pergi. Bisa dikatakan, mematuhi (atau menaati) dan menepati (atau melaksanakan) ini tidak lain adalah sikap sami’na wa atha’na. Mendengarkan terlebih dahulu dengan cermat dan tamat, lalu melaksanakannya dengan baik dan benar pada waktunya.

Waktu adalah anugerah terbesar Allah bagi kehidupan. Ia datang sekaligus pergi. Sekali datang tak pernah bisa dipegang. Waktu berlalu lebih cepat dari cepat. Sebelum datang, masih disebut nanti. Begitu pergi, seketika disebut tadi. Ketika tiba, disebut sekarang. Tapi, waktu yang sekarang pun singkat rentangnya. Allah bahkan bersumpah,” Demi waktu!” Dan, mengenai waktu, Allah meneguhkan, Dia yang Merajai Keabadian.

Ayat keempat, Maaliki yaumiddiin, Dialah yang Merajai Hari Pembalasan, menegaskan betapa setiap perbuatan di setiap waktu kelak diperhitungkan. Dan diberi balasan.

Dalam penyebutan DiriNya, Allah juga menggunakan penamaan Ilahi, Rabb, dan Malik. Khusus Malik, yang akrab dalam ingatan kita adalah Maaliki yaumiddiin, Yang Merajai Hari Pembalasan, dalam Q.S. Al Fatihah: 4, dan Malikinnaas, Raja Manusia, dalam Q.S. An Naas: 2. Selain itu, Maalikal Mulk, Yang Merajai Kerajaan, dalam Q.S. Ali Imran: 26.

Membaca ayat keempat Surat Pembuka, kita selayaknya menyadari bahwa kita bukan raja dan tak merajai apa pun. Kita bukan pemilik diri, hidup, mati, dan segala hal yang menjauh maupun mendekat kepada kita. Betapa faqir dan dhaif, lemah tak berdaya, kita di hadapan Allah. Astaghfirullaahal ‘adziim [bersambung]

Konten terkait:

Mengapa Kita Saling Membenci?

Jangan-jangan Kita Sendiri yang Intoleran?

Rumah Tuhan dan Hal-Hal yang Terkunci

Ketika Anak Bertanya Dalil Mencintai Ibu

Politik Cinta Tanah Air

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.