Apakah manis bisa dirasa dengan melihat madu? Bilamana mencicipi pahit dari mengkudu? Mungkinkah menikmati kesegaran air tanpa meneguknya? Kita bisa berbahagia mendengar orang lain bahagia? Kita bisa bersedih melihat orang lain dilamun sedih? Barangkali iya. Tapi bahagia dan sedih siapakah itu sesungguhnya?
Mari kita bincangkan kebenaran dengan menggunakan penalaran paling sehat. Apakah beda tegas kebenaran agama dengan kebenaran ilmu pengetahuan (aksioma)? Bagaimana cara menguji sesuatu yang dianggap benar oleh agama?
Kita ambil satu contoh sederhana. Agama memberi kita informasi bahwa akan ada kiamat yang akan melumat segala di bumi ini dan tuhan menggantinya dengan yang baru (QS. Ibrahim [14]: 48). Kenapa kita bisa serta-merta percaya begitu saja akan hal itu? Padahal kita belum lagi melakukan penelusuran soal benar-tidaknya kabar tersebut.
Kalangan pegiat ilmu, khususnya fisikawan, melakukan sebaliknya, bahkan ada yang tanpa menggunakan bantuan kitab suci. Mereka berhasil membangun sebuah teori yang meyakini betapa materi tak mengalami kehancuran. Karena, sesungguhnya yang terjadi adalah, seluruh materi di semesta raya ini berada dalam keadaan menjadi dan terus menjadi. Sebagaimana telah diterakan Hukum Kekekalan Energi (Hukum I Termodinamika) yang berbunyi: “Energi dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk lain, tetapi tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan (konversi energi).”
Pertanyaan kita, apakah agama membutuhkan sains atau sebaliknya? Tanpa agama, apakah sains akan baik-baik saja? Tanpa sains, apakah agama menjadi tumpul? Jika agama hanya berhenti pada sebuah kabar nun jauh dari lantai dasar pengetahuan, maka ia hanya akan berhenti sebagai dogma yang didoktrinkan tanpa bisa dibedah. Alhasil, agama bersalin rupa jadi kemapanan yang tak lagi bisa dikuliti. Siapa pun yang berniat menerobos batasnya, akan lekas dicap sebagai pelaku bid’ah dan melenceng dari narasi ketuhanan. Pantas disebut kafir dan atau tersesat di lembah kenistaan.
Kembali pada soal kebenaran yang kita bahas semula. Sedari kita kecil, ada begitu banyak kumpulan fakta-pengetahuan yang kemudian tersusun menjadi kebenaran demi kebenaran. Satu dan lainnya kadang saling bertolak belakang, berbenturan, mengoreksi, menafikan, menambahi, memperbaiki, melengkapi, menyempurnakan.
Satu kali kita bisa memperolehnya dari proses belajar. Kali yang lain kita mengunduhnya langsung secara intuitif dari alam raya. Pengetahuan itu hadir (huduri) tanpa perantara dan langsung mendarat dengan indah di mahkota akal kita (fu’ad).
Maka, sejatinya tiada yang tetap dalam kebenaran yang kita benarkan sendiri. Pun tak ada yang sesungguhnya salah dari kesalahan kita. Perbuatan salah hanya akibat dari ketidaktahuan kita tentang perilaku benar. Kesalahan itu adalah tiadanya kebenaran. Hidup akan selalu membuka tabir rahasianya pada siapa pun yang mau melakukan penjelajahan nalar. Relung-relung misteri yang selama ini terselubungi dari pengetahuan yang kita bangun, terkuak berdasar daya cerap manusia yang melintasi zamannya. Para peziarah kehidupan pasti akan menemukan kenyataan baru yang sebelumnya asing dan tak bisa ia mengerti.
Sebagai pembanding, Yahudi dan Nasrani disintesiskan Nabi Muhammad Saw menjadi Islam. Kosmogoni dan kosmologi menjadi astrofisika dalam teorema Einstein. Geometri temuan peradaban Islam yang dikembangkan Barat, malah difraktalkan bangsa Nusantara. Apa yang selama ini diyakini Barat sebagai bangunan geometri bumi rupanya sebatas pemaksaan belaka pada keterbatasan pengetahuan mereka.
Sekadar contoh, garis lengkung awan yang nampak menawan di mata kasat kita, senyatanya tak persis benar begitu. Anda bisa membuktikan soal ini bila pernah melakukan perjalanan di udara dengan pesawat terbang, lantas menatap keluar melalui jendela kabin.
Jika kemudian agama hanya berujung tudingan sesat pada pihak lain, niscaya tanpa beragama sekalipun kita sudah sering tersesat di alam pikiran sendiri. Bukankah sedikit saja di antara manusia yang sanggup menemukan alasan kehadirannya di dunia? Kenapa pula kita harus menganut sebuah agama tanpa perlu memeriksanya lagi.
Maka, benarlah kiranya bila agama hanya bisa dimengerti oleh mereka yang menggunakan akalnya dengan baik. Bukan hanya terjebak dalam kerancuan yang rancu dari dogma agama.
Anda pernah tersesat? Bukan tersasar, loh. Bagaimanakah rasanya? Pasti Anda diserang ketakutan luar biasa. Panik teramat sangat. Bingung tak berujung. Demi mencari jalan keluar yang benar. Jadi, sesungguhnya mudah saja menandai ihwal ketersesatan kita dalam berpikir, atau beragama, misalnya. Tak perlu merujuk al-Qur’an atau kitab suci yang lain.
Jika laku beragama yang kita jalani hanya menerbitkan kebingungan dan pusing kepala, atau khawatir lantaran melakoni sesuatu yang tidak benar, maka sesungguhnya Anda sudah tahu sedang berada dalam kondisi apa.
Belum lagi menyesatkan orang lain, kita sudah tersesat dalam sistem keyakinan sendiri yang rapuh. Berikut ini saya nukilkan beberapa keterangan dari al-Qur’an terkait lema sesat-menyesatkan. “Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS al-Hijr [15]: 39).
Dalam QS Shad [38]: 82, “Iblis menjawab: “‘Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya.” Pada ayat lain terdapat redaksi semacam ini, “Sesungguhnya syaitan itu telah menyesatkan sebahagian besar di antaramu, maka apakah kamu tidak memikirkan?” (QS Yaasin [36]: 62). Informasi di atas merekam ucapan iblis. Mari kita bandingkan dengan apa yang dikabarkan tuhan.
“Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, maka Allah menyesatkan perbuatan-perbuatan mereka.” (QS Muhammad [47]: 1). Mari kita buka QS al-Mu’min [40]: 74, “(yang kamu sembah) selain Allah?” Mereka menjawab: “Mereka telah hilang lenyap dari kami, bahkan kami dahulu tiada pernah menyembah sesuatu.” Seperti demikianlah Allah menyesatkan orang-orang kafir.
Sekarang kita baca QS Fatir [35]: 8. “Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya…”
Masih ada satu pesan lagi yang terdapat dalam QS al-Mu’min [40]: 34, “Dan sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, hingga ketika ia meninggal, kamu berkata: “Allah tidak akan mengirim seorang (rasul pun) sesudahnya. Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu.”
Lantas, siapakah yang sejatinya menyesatkan manusia?
Jika kita masih sibuk dalam euforia menghidupkan sunnah Nabi Muhammad yang memerintakan umatnya memanah, berkuda, dan berenang, tanpa pendekatan rasional dan kontekstual, maka busur panah umat Islam jelas kalah jauh tinimbang persenjataan modern semacam Ak-47, M16, M1 Garand Staeyr AUG; kapal selam Kilo, kapal selam Delta yang memiliki 16 pelontar rudal balistik SS-N-18 Stingray dan pelbagai jenis kapal induk yang menguasai lautan.
Belum lagi kendaraan tempur darat dan udara seperti Mirage, MIG, Lockheed Martin F-22 Raptor Air Superiority Fighter, tank amfibi, dan sebagainya. Semua senjata ini hanya bisa dihadapi dengan kecanggihan menggunakan akal, sebagai anugerah terbesar tuhan bagi manusia.
Kolom terkait:
Siapakah Orang Kafir Itu? Telaah Kronologi dan Semantik Al-Qur’an
“Islam Kaffah” yang Bagaimana?