Hari itu Sabtu, 3 Maret 2018. Bertempat di diskusikopi.ruangberbagi, di bilangan Setiabudi, Jakarta Selatan, dua orang aktivis muda Muslim, Romzi Ahmad dan Subhan Setowara, meluncurkan sebuah ge(b)rakan bernama Muslim Milenial.
Romzi adalah seorang aktivis muda Nahdlatul Ulama yang kini merupakan salah satu ketua PB PMII. Ia dikenal melalui sepak terjangnya di dunia digital dengan menggawangi Arus Informasi Santri (AIS) Nusantara. Sementara Subhan Setowara adalah aktivis muda Muhammadiyah, bergiat di banyak aktivitas pemikiran termasuk Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Keduanya merupakan alumni program pertukaran tokoh muda Muslim Indonesia-Australia, Moslem Exchange Program (MEP).
Gagasan mengenai gerakan Muslim Milenial ini bermula dari sebuah buku berjudul Muslim Milenial: 38 Kisah Wow dari Muslim Zaman Now (akan diterbitkan Mizan, 2018). Para penulis buku itu adalah alumni program MEP, Subhan menjadi editor kepala untuk project penerbitan antologi tersebut.
Rupanya gagasan mengenai menghimpun, memprovokasi, dan menggerakkan muslim milenial ini tidak berhenti sebatas buku. Bersama Romzi dan kawan-kawannya, Subhan melanjutkan gagasan itu ke level yang lebih jauh lagi. Mereka merancang sebuah jejaring yang mengandaikan terbentuknya kolaborasi yang akan menghasilkan banyak hal di kemudian hari—memberi warna yang indah bagi masa depan Indonesia. Semoga.
Tulisan ini bermaksud membedah gagasan utama mengenai jejaring Muslim milenial itu. Sekaligus memberikan tawaran diskusi lebih jauh lagi mengenai tema yang sangat menarik ini. Saya sendiri merupakan salah satu alumni MEP yang ikut menulis dalam project antologi Muslim Milenial, serta turut hadir dalam peluncuran dan diskusi jejaring Muslim Milenial.
Tulisan ini ingin mengemukakan tiga hal. Pertama, memberikan baseline mengenai istilah Muslim milenial, apa dan mengapa istilah ini penting untuk menjadi pusat gagasan baru dalam diskusi-diskusi intelektual Muslim Indonesia di kemudian hari? Kedua, saya ingin memberikan tawaran framework mengenai bagaimana menjadikan gagasan ini sebagai sebuah ‘strategi kebudayaan’. Ketiga, tulisan ini ingin memaparkan sejumlah kemungkinan yang akan dibawa oleh gagasan serta jejaring Muslim Milenial ini di masa yang akan datang.
Muslim Milenial?
‘Generasi milenial muslim Indonesia’ secara sederhana bisa dipahami sebagai populasi Muslim Indonesia yang lahir dalam kurun 1980-2000. Hal ini mengikuti pembagian generasi yang dilakukan oleh Pew Research Center dalam laporan mereka bertajuk Millenials: A Portrait of Generation Next (2010). Sementara itu, menurut data BPS RI, jumlah populasi yang bisa dikategorikan sebagai generasi Muslim milenial ini berkisar 29,97%, diambil dari total populasi penduduk berusia 15-34 tahun yang berjumlah 34.45%.
Melihat statistik ini, generasi milenial Muslim adalah salah satu pemilik saham terbesar bagi estafet kepemimpinan bangsa di masa depan. Kiprah dan pergerakan mereka akan memberikan dampak signifikan bagi arah bangsa ini. Kegagalan dalam memahami dan mengelola kelompok populasi ini, tentu saja akan membawa mudlarat yang luar biasa besar di kemudian hari.
Saat ini belum banyak riset dilakukan mengenai generasi milenial Indonesia, terlebih milenial muslimnya. Di level internasional, pada tahun 2016, riset mengenai Muslim milenial ini pernah dilakukan sebuah project bernama The Future Initiative yang diselenggarakan Tabah Foundation (Muslim Millenial Attitudes on Religion and Religious Leadership). Hasil riset itu cukup mengejutkan, terutama fakta mengenai pandangan keagamaan dan pandangan politik para Muslim milenial ini.
Memperkuat riset yang dilakukan The Future Initiative itu, pada tahun 2017 Pew Research Center melakukan riset yang sama. Bedanya, jika riset terdahulu memfokuskan respondennya pada muslim milenial di delapan negara Arab (Maroko, Mesir, Arab Saudi, UEA, Bahrain, Kuwait, Yordan, dan Palestina), Pew Research Center ingin membaca peta Muslim milenial di Amerika Serikat saja. Yang mengejutkan, mengenai pandangan keagamaan dan politik, kedua riset itu menunjukkan hasil yang senada.
Generasi Muslim milenial memandang agama sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Tak hanya itu, identitas keagamaan juga dipandang sebagai sesuatu yang perlu mereka tampilkan di ruang publik—bukan semata domain privat yang menyangkut spiritualitas.
Pada survei Tabah Foundation, rata-rata di atas 90% Muslim milenial di negara-negara Arab yang diriset meyakini bahwa agama merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan mereka sehari-hari, termasuk jika ditanya apakah penting bagi mereka identitas sebagai seorang Muslim. Sementara itu, pada riset yang dilakukan oleh Pew Research Center, 66% Muslim milenial Amerika Serikat berpandangan serupa.
Meskipun belum ada riset khusus mengenai generasi milenial Muslim Indonesia, dengan catatan riset itu tetap perlu dilakukan, patut diduga bahwa Muslim milenial Indonesia juga memiliki pandangan yang sama terhadap agama—baik sebagai ajaran maupun sebagai identitas tadi.
Jika melihat fenomena menggeliatnya semangat beragama yang tumbuh di kalangan urban, dengan munculnya berbagai pengajian, kajian-kajian agama di ruang maya, menguatnya tren fashion Muslim, hingga gebrakan industri halal yang digawangi anak-anak muda, hal ini jelas sejalan dengan cara pandang kaum Muslim milenial terhadap ajaran dan identitas agama tadi. Bagi mereka “Gue bangga jadi muslim!” bukanlah sekadar slogan belaka, namun manifestasi dari sikap dan cara pandang itu.
Hal ini sedikit berbeda dengan semangat generasi sebelumnya, Generasi X, yang cenderung ingin membebaskan diri dari agama. Menurut riset yang dilakukan Boston Consulting Group (BCG), Generasi X justru cenderung ingin meloloskan dari dari kerangkeng dan nilai-nilai yang dianggap membatasi kebebasan mereka (American Millenials: Dechipering the Enigma Generation, 2011).
Namun, meski kecenderungan ekspresi keberagamaan generasi milenial lebih kuat, terutama di kalangan Muslim, generasi ini menaruh kepercayaan yang tinggi pada sistem politik demokrasi. 69% Muslim milenial Amerika Serikat mendukung partai demokrat, sementara mayoritas responden (73-93%) dalam survei yang dilakukan Tabah Foundation tidak setuju dengan ide mendirikan negara agama dan kekhalifahan seperti diperjuangkan ISIS, Al-Qaeda dan lainnya.
Mereka juga sepakat bahwa ekstremisme agama merupakan buah dari kesalahan dalam memahami dan menafsirkan agama Islam yang sebenarnya.
Dua fakta di atas menarik untuk kita jadikan panduan dalam memahami generasi Muslim milenial Indonesia. Cara pandang jamak yang menganggap bahwa ekspresi keberagamaan di ruang publik dikhawatirkan memunculkan pemahaman agama yang radikal bahkan ekstrem, rasanya tidak relevan untuk begitu saja dipakai dalam memahami generasi Muslim milenial.
Mereka rupanya cukup kapabel dalam membedakan mana yang privat dan mana yang publik—dengan kecenderungan yang relatif rendah untuk memiliki syahwat politik mendirikan negara agama.
Bagi saya, baseline ini penting untuk memahami generasi Muslim milenial Indonesia. Dengan dua fakta di atas, kita bisa melanjutkan berbagai diskusi dan kajian mengenai Muslim milenial tidak sebatas pada cangkangnya saja—pada hal-hal yang menjadi ciri perilaku, jaringan, dan pergerakan mereka.
4C Muslim Milenial
Jika ingin ‘menggerakkan’ Muslim milenial, sebagaimana cita-cita Jejaring Muslim Milenial, saya melihat setidaknya kita perlu memperhatikan empat hal yang saya sebut sebagai 4C. Yakni, content, context, coherence, dan color. Hanya jika kita memperhatikan empat hal itulah, maka cita-cita menggerakkan dan mengkolaborasikan jejaring Muslim milenial bisa berjalan dengan baik.
Pertama, tentang content (isi) atau gagasan utama yang dibawa. Sebagaimana ciri generasi milenial yang cenderung lebih selfish, setiap gagasan yang disodorkan pada generasi ini harus selalu bisa diturunkan ke level individu. Gagasan untuk mendorong toleransi dan inklusivisme, misalnya, perlu didefinisikan ke level kepentingan individu mereka masing-masing. Begitu juga gagasan-gagasan mengenai negara, politik, masyarakat, harus berhasil diterjemahkan ke level yang paling personal.
Jean Twenge, seorang psikolog yang fokus meneliti psikologi kaum milenial, melihat bahwa kaum milenial memiliki optimisme yang tinggi dan cara melihat diri sendiri yang lebih percaya diri—hal ini berimplikasi pada karakter generasi milenial yang menjunjung tinggi hak-hak individu, menginginkan kebebasan, dan menuntut pengakuan (Generation Me: [2006]).
Pada berbagai bentuk gagasan, mereka harus bisa menemukan ‘Apa peran saya di sana?’ dan ‘Mengapa saya harus terlibat?’ sebagai daya dorong yang akan membuat mereka merasa signifikan bagai gagasan tersebut.
Kedua, context. Mengapa peran anak muda dalam politik kontemporer bisa dibaca melalui revolusi Internet dan media sosial? Mengapa anak-anak muda di bawah 30-an tahun berhasil mengubah filantropisme dengan social entrepreneurship? Dua pertanyaan itu menjelaskan ‘konteks’, ruang dan waktu, di mana generasi milenial hidup. Maka, jika misinya adalah menciptakan dan menggerakkan jejaring Muslim milenial, menjadi ‘tepat konteks’ sesuai situasi zaman ini adalah sebuah keniscayaan.
Segala tentang generasi milenial pasti berhubungan dengan Internet dan media sosial bukanlah persoalan kemasan belaka. Namun, generasi ini memang hidup di tengah Internet dan media sosial sebagai oksigennya. Mereka bukan hanya para digital native tetapi memang lahir dengan kesadaran kolektif tentang Internet dan media sosial yang inheren dengan (ke)diri(an) mereka. Maka, jika ingin berhasil bekerjasama dengan generasi ini, kita tak bisa melawan hukum besi zaman yang sedang mereka kuasai itu.
Ketiga, coherence atau kesanggupan untuk sejalan, konsisten, logis, dan nyambung dengan mereka. Untuk memahami prinsip ketiga ini, saya akan memakai contoh kampanye politik. Kita melihat banyak politisi yang berusaha masuk ke generasi milenial dan merekrut mereka dengan menggunakan pendekatan internet dan media sosial.
Boleh jadi cara itu sudah tepat secara konteks, namun selama mereka gagal nyambung dengan cara berpikir dan cara merasa generasi ini, kampanye itu tetap akan gagal. Inilah yang menjelaskan mengapa hanya sedikit politisi yang berhasil dan diterima oleh kalangan milenial—sementara sebagian besar tetap ‘dicurigai’ atau bahkan diacuhkan meskipun sudah terlihat ‘memakai cara-cara milenial’.
Contoh lain adalah fenomena ustaz Youtube atau Facebook yang ditonton jutaan milenial. Boleh jadi banyak ustaz atau pemuka agama yang mencoba melakukan hal yang sama dengan hadir di ruang-ruang media sosial, menggunakan beragam fasilitas yang ditawarkan di dalamnya. Namun, selama mereka gagal menemukan koherensi dengan Muslim milenial, sehebat apa pun cara mereka menggunakan teknologi Internet dan media sosial, materi-materi kajian mereka akan sulit diterima (bersambung).
Kolom terkait:
Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam: Dimulai dari Mana?
“Muslim Ngefriend” dan Generasi Medsos
Melihat Tingkah Generasi Milenial dan Netizen di Media Sosial