Saya akan langsung menjawab pertanyaan pada judul. Dua-duanya, saya rasa tidak ada.
Jangankan di NKRI, di belahan dunia mana pun, bahkan dalam tradisi Islam itu sendiri, istilah “kafir” untuk seseorang yang dianggap “berbeda” tak pernah secara jelas mendapat wujud nyatanya. Lagi pula, itu hanyalah satu watak atau cara berpikir yang sangat dan paling dangkal yang pernah saya dengar.
Selain yang kafir, hal itu juga sangat berlaku ke soal siapa yang pantas untuk mengkafirkan orang lain. Hanya karena alasan berbeda, beda agama beda keyakinan, membedakan Islam dari non-Islam, pengkafir lalu merasa diri pantas untuk menyebut demikian.
“Anda Islam?”
“Bukan, saya non.”
“Berarti Anda kafir!”
“Kenapa bisa begitu?”
“Itu ajaran agama kami. Disuratkan bahwa siapa pun yang bukan Islam, tidak memeluk, percaya, dan meyakini ajaran-ajaran Islam, maka dia tergolong orang-orang yang kafir.”
Saya jadi bertanya-tanya, adakah di antara kita yang sudah diberi wewenang, oleh siapa saya tidak tahu, sehingga pantas untuk mengkafirkan yang lain yang dianggap berbeda? Jangankan kita, Nabi Muhammad sekalipun tak pernah mewujud-nyatakannya secara jelas.
Kenapa saya harus merujuk Nabi? Karena dia diyakini sebagai orang paling sempurna. Entah benar atau tidak, yang jelas, kata dan tindakannya paling banyak dirujuk ketika bicara soal dunia dan ajaran keislaman.
Terkait soal yang kafir, Nabi Muhammad pernah berkata, siapa yang menyeru kepada seseorang dengan sebutan kekafiran atau ia mengatakan: Wahai musuh Allah, sementara yang dituduhnya itu tidak demikian, maka sebutan itu kembali kepadanya (H.R. Muslim: 61).
Selain Abu Dzar sebagaimana diriwayatkan di atas, Ibnu ‘Umar juga mengutarakan kata-kata itu: Apabila seseorang menyeru kepada saudaranya, ‘Wahai orang kafir’, maka sungguh akan kembali sebutan kekafiran tersebut kepada salah seorang dari keduanya. Bila orang yang disebut kafir itu memang kafir, maka sebutan itu pantas untuknya. Bila tidak, maka sebutan kafir itu kembali kepada yang mengucapkan (H.R. al-Bukhari/6104 dan Muslim/60).
Jelas, menurut hadits di atas, penyebutan “kafir” kepada seseorang butuh pembuktian sebelum mengutarakannya. Pertanyaannya, siapa yang bisa memberi pembuktian itu? Dalam konteks apa seseorang bisa dianggap kafir atau pantas untuk menyematkan label tersebut kepada orang lain? Dalam Islam, ini namanya wallahu a’lam.
Tulisan Akhmad Sahal yang berjudul Dalam NKRI Tak Ada Orang Kafir! saya kira bisa menjadi salah satu rujukan juga terkait masalah kafir-mengkafirkan ini. Selain karena tulisannya yang memang bernas dalam menjelaskan duduk persoalan yang ada, Sahal juga termasuk orang yang punya dasar keilmuan jelas tentang Islam. Setidaknya, dia punya daya dobrak yang tidak diragukan lagi dalam hal pemikiran-pemikiran keislaman, baik klasik maupun modern.
Meski demikian, tak berarti saya harus bersepakat dengan keseluruhan isi pemikirannya. Ya, seperti tidak sepakatnya saya dengan kata dan tindakan Nabi Muhammad secara umum—wajarlah, Muhammad sendiri kan manusia. Walau ia diyakini paling sempurna di antara yang lain (manusia), posisinya tetap setara: sama-sama manusia biasa, beserta segala kelebihan dan kekurangan yang ada padanya.
Dalam tulisan Sahal, ada satu hal yang sangat saya sayangkan. Bahwa yang kafir, sebagaimana yang ditulisnya, kriteria tentang apa dan siapanya, diarahkan untuk bersandar pada doktrin Islam. Dan karena itu, penilaiannya pun harus pula dari sudut pandang Islam.
Saya bertanya kepada Sahal, bukan ke Kapolri atau ke Presiden ya, apakah term “kafir” itu benar adanya dalam doktrin Islam? Mengapa untuk mencari kriteria apa dan siapanya harus bersandar pada doktrin Islam? Mengapa harus menilainya dari sudut pandang Islam?
Sejauh pemahaman saya, mereka yang “menutup diri”, ingkar atau menentang ajaran Islam, tidak pernah disebut jelas sebagai “kafir” dalam Islam. Cobalah renungkan sejarah penciptaan dalam doktrin (ajaran) Islam! Ada tidak yang tersurat bahwa manusia-manusia yang berbeda-beda di dunia ini dicipta oleh Tuhan yang berbeda-beda pula? Allah untuk yang Islam, Yesus untuk yang Kristen, Yahweh untuk Yahudi, Hindu, Buddha, bahkan Tuhan untuk yang Ateis? Kan tidak, bukan?
Kalaupun dalam sejarahnya berseliweran istilah tersebut kepada mereka yang “non-Islam”, tapi itu hanyalah disebutkan oleh mereka yang merasa diri paling benar dari yang mereka katakan kafir karena berbeda. Itu pun, sekali lagi, adalah watak atau pemikiran yang sangat dan paling dangkal.
Meski begitu, tetap saja ada orang yang menggunakan watak dangkal seperti itu dalam berpikir. Sebut saja misalnya Hizbut Tahrir. Kelompok ini jelas mengartikan bahwa istilah “kafir” adalah orang yang tak beragama Islam, baik itu Kristen dan Yahudi, maupun yang dinilai murtad karena keluar/pindah dari agama Islam.
Tapi, karena term “kafir” ini tidak bisa mereka temui dalam doktrin Islam (al-Qur’an dan Hadits), maka mereka umumnya merujuk kitab-kitab lainnya yang diyakini sebagai kitab terpercaya (mu’tabar), seperti misalnya kitab Mu’jam Lughah al-Fuqaha karya Rawwas Qal’ah Jie dan Ahkam at-Ta’amul Ma’ar Ghair al-Muslimin karya Khalid Muhammad al-Majid, yang kesemuanya punya kesimpulan sama: yang kafir adalah siapa saja yang tidak memeluk agama Islam yang dirisalahkan oleh Nabi Muhammad.
Beruntung Sahal tak lupa menegaskan di dalam tulisannya bahwa term “kafir” ini bersumber dari tradisi Arab pra-Islam. Adapun sistem yang mewajibkannya untuk membayar “jizyah” (poll tax) berasal dari Imperium Persia yang kemudian diadopsi oleh para penguasa Islam klasik.
Hal ini benar-benar menandakan bahwa jangankan di NKRI, bahkan di tubuh Islam sendiri, istilah tersebut bukanlah doktrin asli dalam ajarannya. Bisa dikatakan, kafir hanyalah konsep yang diada-adakan. Apalagi, kita tahu, pengaruh tradisi Arab sangat kuat di dalamnya.
Hanya saja, Sahal tidak menjelaskan terkait siapa yang pantas untuk melakukan itu, dalam arti, pantas untuk mengkafirkan. Ya, mungkin saja karena istilah semacam itu memang tidak ada. Dan itu sebabnya, dia tidak (mau) menguraikannya ke dalam satu paket penjelasannya soal yang kafir.
Baca juga: