Selasa, Oktober 8, 2024

Selamat Natal, Saudaraku [Natal dalam Al-Qur’an]

M. Kholid Syeirazi
M. Kholid Syeirazi
Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU)

Ada orang yang membolehkan ucapan Selamat Natal, ada orang yang melarangnya. Kenapa terjadi? Karena ini termasuk perkara yang tidak ada nash-nya yang sharîh (tegas dan jelas). Baik yang membolehkan maupun yang melarangnya tidak berlandaskan kepada dalil qath’i (pasti).

Yang enggan mengucapkan Selamat Natal punya dasar, demikian juga yang mengucapkannya. Sikap terbaik adalah saling menghargai tanpa merasa paling benar! Hanya dalam perkara ushûl yang qath’î kita perlu sepaham, dalam perkara furû’ yang dhonnî harus saling menenggang perbedaan.

Perkara Qath’î dan Dhannî

Apa itu dalil qath’i? Apa perkara dhannî? Kita perlu bahas sejenak dasar-dasar hukum Islam agar tahu arah dan jurusan. Saya akan menjelaskannya dengan contoh. Perintah tentang kewajiban salat itu qath’i dalam al-Qur’an. Tidak ada kesamaran, pasti dan terang benderang!

Begitu juga zakat, puasa, dan haji. Perintah ini diperkuat dan dipertegas oleh ucapan dan perbuatan Nabi. Selama hidupnya Nabi tidak pernah meninggalkan salat. Abu Bakar bahkan memerangi Muslim yang menolak membayar zakat. Larangan berzina, mencuri, membunuh tanpa hak, menyakiti orang tua, dan makan daging babi adalah larangan qath’i dalam al-Qur’an. Tegas, tidak abu-abu!

Terhadap perintah dan larangan yang pasti di dalam al-Qur’an, tidak boleh ada ijtihad atau fatwa atau pendapat yang menyimpangi nash sharîh, kecuali pengecualian (takhshîs) yang dibenarkan dalil. Kewajiban umum salat, misalnya, gugur bagi orang yang tidak mukallaf, yaitu anak kecil hingga dewasa, orang gila hingga waras, orang sakit hingga sembuh.

Kewajiban puasa Ramadhan boleh ditunda bagi yang safar atau diganti tebusan (fidyah) bagi orang yang uzur permanen. Kewajiban zakat dan haji gugur bagi orang yang tidak mampu. Larangan makan daging babi gugur bagi yang terpaksa. Larangan membunuh dikecualikan dalam perang. Tentu saja pengecualian-pengecualian ini tidak menganulir ketentuan umum yang berlaku terkait perintah dan larangan yang harus dipatuhi orang yang beriman.

Terhadap perintah dan larangan yang tidak pasti, baik di dalam al-Qur’an maupun Sunnah, hukum diambil dengan cara analogi. Langkah pertamanya adalah mencari persamaan illat. Hukum narkoba tidak ada di dalam al-Qur’an dan hadis, karena narkoba belum ada di zaman Nabi. Tetapi narkoba termasuk barang memabukkan (muskir). Khamr barang memabukkan dan setiap barang memabukkan dilarang.

Maka, hukum narkoba di-qiyas-kan dengan hukum khamr yang diharamkan berdasarkan dalil al-Qur’an dan hadis. Bahkan illat narkoba lebih kuat ketimbang khamr karena sifatnya adiktif-degeneratif. Ini disebut dengan qiyâs awlâwî (illat pada cabang lebih kuat dibanding illat pada pokok). Hukum memukul atau menendang orang tua tidak ada di dalam al-Qur’an. Yang ada adalah hukum berkata kasar (uff). Jika berkata kasar saja tidak boleh, apalagi memukul, mencakar atau menendang. Ini juga contoh qiyâs awlâwî.

Dalam perkara yang padanan illat-nya lemah di dalam sumber primer, biasanya digunakan metode ilhâq, yaitu mencari padanan illat pada pendapat yang dipegang ulama otoritatif dalam perkara yang ada rujukannya kepada perkara yang belum ada rujukannya. Dalam leksikon NU, metode ini dikenal dengan istilah ilhâqul masâ’il bi nadzâirihâ.

Masalah otoritatif ini penting dalam mazhab. Dalam thabaqât Syâfi’iyah, (stratifikasi ulama Mazhab Syafi’i), standar pendapat yang dipegang adalah pendapat yang di-tarjih oleh Imam Nawâwi dan Rafî’i. Jika dua orang kelas utama dalam Mazhab Syafi’i ini sepakat terhadap sesuatu,  ini bisa disebut dengan ijma’. Jika Imam Nawâwi dan Rafî’i berselisih, yang mu’tamad (dipegangi) adalah pendapat Imam Nawâwi. Kenapa? Karena beliau punya otoritas: alîm dan wara’.

Ini sama dengan di dalam hadis. Hadis derajat tertinggi adalah yang disepakati Bukhari dan Muslim (muttafaqun alaih). Kenapa? Karena keduanya paling otoritatif. Ilmunya top, integritas moralnya diakui.

Ijma’ lintas mazhab dalam perkara furû’ yang dhonnî sulit tercapai. Karena itu, muncul banyak pendapat. Para pemuka dari berbagai mazhab menyampaikan pendapat hukum yang disebut dengan fatwa. Dari kalangan mazhab Hanbali, kumpulan fatwa hukum yang paling dikenal adalah Majmû’u Fatâwa Ibn Taymiyah, kumpulan fatwa Ibn Taymiyah puluhan jilid, referensi utama kelompok Salafi-Wahabi. Fatwa adalah pendapat hukum yang tidak mutlak.

Ucapan Selamat Natal

Sekarang kita masuk ke pokok bahasan. Adakah dalil yang membolehkan ucapan Selamat Natal? Ada, meski tida sharîh. Dalam QS. Maryam (QS 19: 33), al-Qur’an merekam ucapan Selamat Natal bagi kelahiran Nabi Isa:

وَالسَّلامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا

“Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari ketika aku dibangkitkan hidup kembali.”

Ini adalah ucapan Nabi Isa yang menyambut Natal bagi kelahirannya sendiri. Al-Qur’an juga menyampaikan salam sejahtera kepada Nuh (QS. 37: 79), Ibrahim (QS. 37: 109), Musa dan Harun (QS. 37: 120), dan juga kepada Yahya (QS. 19: 15). Dalam Islam, para Nabi dan utusan dihormati tanpa diskriminasi (QS. al-Baqarah/2: 285). Nabi Muhammad mengingatkan bahwa para Nabi dan Rasul mengemban misi yang sama. Mereka saudara seayah, tetapi berbeda-beda ibu.

الْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ مِنْ عَلَّاتٍ وَأُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ (متفق عليه)

Nabi bahkan merayakan hari keselamatan Musa dengan berpuasa Asyura. Nabi juga sangat menghormati Nabi Isa atau Yesus. Dalam hadis sahih riwayat Bukhari-Muslim, Nabi menyebut kelak menjelang kiamat, Yesus akan turun ke dunia sebagai hakim yang adil bagi semua orang. Dia akan menegakkan keadilan, memurnikan akidah, menumpas kebatilan, dan mendistribusikan kesejahteraan.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : والذي نفسي بيده ليوشكن أن ينزل فيكم ابن مريم حكما عدلا فيكسر الصليب ، ويقتل الخنزير ، ويضع الجزية ، ويفيض المال حتى لا يقبله أحد ، حتى تكون السجدة خيرا من الدنيا وما فيها (متفق عليه)

Muncul pertanyaan apakah dalil ini bisa dipegangi untuk membolehkan ucapan Selamat Natal karena konstruksi Kristiani terhadap Nabi Isa berbeda dengan konstruksi Qur’an? Saya berpendapat bisa saja kita mengucapkan sesuatu dengan pengertian yang berbeda dengan persepsi orang lain. Dalam al-Qur’an, misalnya, Nabi Ibrahim menyampaikan jawaban yang dipahami berbeda oleh kaumnya. Pada ucapan (QS. al-Anbiya/21: 63):

بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَٰذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِن كَانُوا يَنطِقُونَ

Nabi Ibrahim tidak berbohong dan menyangkal bahwa dialah yang menghancurkan berhala-berhala yang disembah kaumnya. Beliau sekadar menunjuk: berhala ini yang paling besar (كَبِيرُهُمْ هَٰذَا). Tetapi kaumnya memahami lain bahwa berhala paling besar itulah pelakunya.

Ketika orang Islam mengucapkan Selamat Natal, tidak berarti mengakui ketuhanan Yesus karena Isa, dalam keyakinan Muslim, adalah Nabi dan utusan. Ucapan Selamat Natal bagi Muslim adalah ekspresi kebahagiaan terhadap lahirnya Nabi dan utusan, yang kelak oleh Nabi Muhammad sendiri disebut sebagai juru penegak keadilan di akhir zaman.

Soal orang Nasrani mengimani ketuhanan Yesus, itu urusan mereka. Soal tanggal pasti kelahiran Yesus, itu juga urusan mereka. Toh orang Islam merayakan maulid Nabi juga tidak harus di tanggal 12 Rabiul Awwal. Di sinilah makna: لكم دينُكم ولي دين (Bagimu agamamu, bagiku agamaku).

Saya memilih pendapat ini tetapi menghormati mereka yang enggan mengucapkan Selamat Natal dengan dalil-dalil umum tentang kesesatan teologi Nasrani, larangan tasyabbuh, dan larangan mengakui kebatilan. Pendapat semacam banyak dikutip ulama “Mazhab Saudi” dan pengikutnya, termasuk di Indonesia, dengan merujuk kepada pandangan Ibn Taymiyah. Silakan saja mengikuti pendapat itu tanpa perlu merasa paling benar dan menyatakan selain pendapatnya salah dan sesat. Apalagi ditambah dengan jargon-jargon deislamisasi dan kristenisasi. Lebay!

Bertahun-bertahun orang Islam mengucapkan Selamat Natal kepada tetangga, kerabat, dan sejawatnya, tidak masalah. Mereka tetap Muslim. Akidah mereka tidak meleset. Mereka tetap tidak mengakui ketuhanan Yesus dan menyebut Isa sebagai Nabi dan utusan.

Karena itu, sebagai penutup, saya ingin mengucapkan “Selamat Natal Tahun 2017 bagi umat Kristiani yang merayakannya.” Semoga kedamaian dan kesejahteraan meliputi bangsa dan negara tercinta: Indonesia.

Kolom terkait:

Yesus, Tuhan Kaum Muslim Juga? [Refleksi Natal dari Seorang Mukmin]

Mengucapkan “Salam” atau “Selamat” adalah Wasiat Nabi

Pesan Natal dari Seorang Kristiani Anak Seorang Mukmin

Natal dan Spirit Kemuliaan

Fatwa MUI yang Salah dan Tidak Perlu

M. Kholid Syeirazi
M. Kholid Syeirazi
Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.