Minggu, November 3, 2024

Salat, Proyek yang Belum Selesai?

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).
- Advertisement -

Tulisan ini akan melanjutkan poin terakhir dari kolom terdahulu tentang dua kalimat syahadat. Yakni, sebagaimana agama lain, Islam muncul dan berkembang secara bertahap. Agama merupakan sistem yang rumit sehingga tak mungkin menemukan bentuk finalnya yang fixed dalam sekejap, tak terkecuali salat.

Memang, banyak kalangan Muslim meyakini Islam sebagai sebuah pengeculian (exception). Segala hal yang dipraktikkan sekarang sudah demikian adanya sejak zaman Nabi SAW. Tak kurang dan tak lebih. Alasannya sederhana: Itulah yang kita peroleh dari bacaan sumber-sumber tradisional.

Ada kelompok lain yang menonjolkan eksepsionalisme Islam: kalangan Islamofob. Mereka menganggap Islam sebagai pengecualian, tidak seperti agama-agama lain. Bahkan, mereka menyangsikan Islam itu agama seperti yang mereka pahami. Jika pun agama, Islam itu agama aneh. Di mana-mana penganutnya melakukan serangan dan kekerasan.

Dua kelompok di atas berangkat dari motivasi berbeda dan menggunakan paradigma berbeda. Tapi, mereka disatukan oleh satu faktor: sama-sama ahistoris. Seperti halnya anggapan Islam secara inheren bersifat kekerasan, klaim bahwa semua yang kita kenal dalam Islam saat ini sudah fixed sejak zaman Nabi juga tidak berdasar bukti sejarah.

Dengan mengambil kasus sejarah salat, tulisan ini bermaksud meletakkan Islam dalam tataran sejarah humanistik. Kita perlu me-“manusia”-kan Islam. Sebagaimana agama-agama lain, Islam muncul dalam sejarah manusia. Muncul dan berkembang secara perlahan.

Tradisi dan Adzan

Salah satu kritik terhadap tulisan Asal Muasal Dua Kalimat Syahadat Pasca Nabi ialah kurangnya penggunaan sumber-sumber Muslim sendiri. Argumen tulisan itu didasarkan pada data numismatik dan arkeologis. Kritik itu benar adanya.

Karena keterbatasan ruang, saya memang hanya merujuk pada koin dan ekskavasi arkeologis. Saya sama sekali tidak menyebut nama kitab atau riwayat dari ulama terdahulu. Namun demikian, perlu juga diakui, koin itu dikeluarkan oleh khalifah Muslim. Jadi, data numismatik tersebut tidak bisa dikatakan bukan tradisi Muslim.

Sebagai penawar (remedy), tulisan ini akan didasarkan sepenuhnya pada tradisi Islam dalam pengertian kitab-kitab dan riwayat-riwayat yang dapat ditelisik dari sumber-sumber Muslim tradisional. Poin yang hendak dikembangkan bahwa aspek gradualitas ibadah dapat dideteksi dalam karya-karya Muslim awal sendiri.

- Advertisement -

Misalnya, soal adzan. Kita semua tahu, ketika masuk waktu salat, suara adzan berkumandang dari setiap masjid, dari segala arah. Itu warisan tradisi dari generasi ke generasi. Sesuatu yang taken for granted. Kita tak lagi bertanya (atau, mungkin, tidak perlu bertanya), kapankah adzan itu bermula? Apakah lafaz-lafaznya sudah sedemikian rupa sejak zaman Nabi? Bahkan, kita tak pernah bertanya, kenapa disebut adzan?

Jika membuka kitab-kitab hadits, kita akan temukan dua istilah yang digunakan untuk merujuk pada panggilan salat itu: adzan dan nida’. Yang terakhir ini berasal dari kata “nada”, yang berarti memanggil. Dua kata tersebut (adzan dan nida’) digunakan secara bergantian.

Perlu dicatat, kata “adzan” tidak digunakan dalam al-Qur’an dalam pengertian panggilan salat. Istilah yang dipakai al-Qur’an adalah nida’. Coba baca surat al-Jumu’ah (62) ayat 9: idza nudiya li al-shalati min yaum al-jumu’ati (ketika nida’ sudah dikumandangkan untuk salat di hari Jum’at).

Karena itu, sangat dimungkinkan Nabi sendiri menggunakan kata nida’, bukan adzan, sebagai panggilan salat. Dan, Bilal disebut munadi, bukan mu’addzin. Mengapa yang kita tahu panggilan salat disebut adzan, bukan nida’? Kenapa nida’ tak lagi digunakan?

Untuk memberikan jawaban memuaskan atas pertanyaan di atas diperlukan penelitian lebih ekstensif. Namun demikian, hampir bisa dipastikan, penggunaan adzan itu terjadi pasca al-Qur’an.

Sejarawan al-Maqrizi, dalam kitab Khithath, menyebut beberapa riwayat dari al-Baladuri dan al-Waqidi bahwa adzan pada zaman Nabi dimaksudkan untuk memulai salat, seperti iqamah sekarang. Bukan panggilan salat. Diriwayatkan, Utsman membacakan adzan di depan Nabi (baina yadai rasul Allah) dekat mimbar. Hal ini berbeda dari pengumandangan adzan sebagaimana kita jumpai saat ini.

Jika ditanya, kapan fiksasi adzan seperti yang kita saksikan sekarang terjadi? Pertanyaan historis “kapan” pastinya memang sulit dijawab. Dari contoh di atas kita bisa membuat kesimpulan tentatif bahwa proses fiksasi adzan terjadi secara bertahap. Dengan kata lain, adzan–baik sebutan, lafaz maupun waktu mengumandangkan–belum fixed pada zaman Nabi.

Salat Jum’at

Aspek ritual sebagai proyek yang belum final (selesai) atau belum fixed pada zaman Nabi lebih jelas terlihat dalam kasus salat Jum’at. Ada sebuah riwayat menarik yang disebutkan oleh sejawaran Ibnu Sa’ad dalam kitab al-thabaqat al-kabir. Berikut kutipan lengkapnya:

“Mus’ab bin Umair mengirim surat kepada Nabi meminta izin untuk melaksanakan salat berjamaah di Madinah [sebelum Nabi hijrah]. Nabi membalas surat Mus’ab dan memberinya izin: “Pilihlah hari [untuk salat jamaah] di mana orang-orang Yahudi sedang mempersiapkan Sabbat mereka [maksudnya, hari Jum’at]. Ketika matahari telah melewati tengah hari, menghadaplah kepada Allah dengan dua rakaat dan kemudian sampaikan khutbah di hadapan mereka (ukhthub fihim),” tulis Nabi.

Maka Mus’ab melaksanakan salat berjamaah di kediaman Sa’ad bin Khaitsamah. Dua belas orang hadir saat itu, dan ia hanya menyembelih satu kambing [untuk memberi mereka makanan] pada hari tersebut. Mus’ab merupakan orang pertama yang melakukan salat Jum’ah dalam sejarah Islam.”

Banyak hal menarik bisa didiskusikan dari riwayat Ibnu Sa’ad di atas. Misalnya, penyampaian khutbah setelah salat Jum’at. Sebagaimana terbaca dalam teks kutipan di atas, Mus’ab diperintahkan oleh Nabi untuk melakukan salat dua rakaat pada hari Jum’at secara berjamaah, kemudian dilanjutkan dengan khutbah.

Praktik salat Jum’at seperti itu berbeda dari yang kita kenal sekarang: khutbah dahulu baru kemudian salat dua rakaat berjamaah. Apakah cara kita salat Jum’at sekarang dapat dilacak ke zaman Nabi? Riwayat Mus’ab ini memberikan potret berbeda. Mungkin, sebagian kita menyangsikan otentisitas riwayat Mus’ab. Itu sah saja. Namun demikian, kesangsian historisitas itu juga berlaku untuk riwayat-riwayat yang lain.

Sarjana hadits Juynboll menghimpun sejumlah riwayat yang menyebutkan bahwa para khulafa’ Umayyah menganggap pelaksanaan khutbah setelah salat Jum’at itu tidak praktis. Apakah dengan demikian bentuk salat Jum’at yang kenal saat ini (khutbah dahulu, kemudian salat) berasal dari zaman Umayyah? Saya tidak menemukan bukti kuat.

Menarik dicatat, para penguasa Umayyah kerap dituduh memunculkan hal-hal “bid’ah” yang tak diajarkan Nabi. Al-Qasthalani dalam Irsyad al-sari fi syarh shahih al-bukhari menyebutkan bahwa mereka menginginkan supaya salat ‘Id dilakukan seperti salat Jum’at. Yakni, khutbah dahulu baru salat. (Atau, mungkin juga yang awalnya terjadi adalah salat ‘Id dan Jum’at sama-sama diawali dengan salat dua rakaat dan dilanjutkan dengan khutbah. Baru di kemudian hari dua salat ini dipraktikkan secara berbeda. Sebab, para khulafa’ Umayyah menganggap khutbah Jum’at setelah salat sebagai tidak praktis karena jamaah cenderung bubar setelah salat.)

Sebenarnya kalau baca tradisi Islam secara cermat dan detail, kita akan tahu bahwa persoalan salat Jum’at tidak sesederhana yang kita bayangkan. Dalam al-Qur’an tidak ada indikasi tentang komponen khutbah. Maka, tidak mengherankan jika ada kalangan yang menganggap khutbah tidak menjadi bagian dari salat Jum’at.

Al-Kasani, seorang ulama dari mazhab Hanafi, memberikan penjelasan menarik terkait sejarah dua khutbah. Dalam kitab Badai’ al-shanai’, Kasani mengatakan bahwa awalnya Nabi biasa menyampaikan khutbah sekali. Namun, ketika mulai menua dan tidak kuat berdiri lama, Nabi duduk di antara dua khutbah.

Dengan demikian, kesepakatan ulama bahwa khutbah Jum’at itu dua kali tidak didasarkan pada pemahaman historis yang memadai tentang konteks praktik Nabi.

Al-Mus’abi dari mazhab Ibadi melacak praktik dua khutbah Jum’at itu pada zaman pasca Nabi. Dalam Kitab al-nil, Mus’abi berpendapat bahwa dua khutbah Jum’at diperkenalkan oleh Muawiyah. Dalam riwayat lain, dipraktikkan oleh Utsman ketika sudah mulai lanjut usia.

Sampai pada poin ini kiranya jelas bahwa sebagian sumber-sumber Muslim sendiri mengindikasikan salat sebagai proyek yang belum menemukan bentuknya yang fixed pada zaman Nabi.

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.