Indonesia kembali berduka. Kekerasan bernuansa agama terulang lagi kemarin. Kali ini di Kota Tanjung Balai, Sumatra Utara. Massa merusak beberapa bangunan, termasuk di dalamnya rumah ibadah (vihara dan klenteng). Insiden ini dipicu permintaan seorang warga kepada pengurus masjid Al-Maksum untuk menurunkan volume suara toa masjid.
Insiden ini merupakan kali kesekian dari insiden-insiden kekerasan bernuansa agama lainnya. Merespons insiden seperti ini, pemerintah saat ini menggodok rancangan undang-undang baru berjudul “Perlindungan Umat Beragama”. Secara judul, RUU ini nampak meyakinkan. Tapi ada beberapa masalah yang saya khawatirkan: RUU ini menggodok definisi agama sebagai basis “perlindungan” umat beragama.
Dalam sebuah wawancara (Gatra, 07-20 Juli 2016), Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan: “Mendefinisikan agama itu tidak sederhana. Mau pakai definisi sosiologis atau teologis? Misalnya, bila disebut agama itu harus ada kitab suci, dengan sendirinya menghabisi agama-agama lokal. Semakin inklusif definisi agama, singkatnya, semakin banyak agama yang akan dilindungi negara.”
Meski tidak mudah, Menteri Lukman akan menentukan definisi yang paling moderat. Hal ini, lanjutnya, tentu saja tidak akan memuaskan semua pihak. Setelah definisi selesai, langkah berikutnya adalah organisasi mana yang mewakili agama sebagaimana dimaksud dalam definisi tersebut. Melalui organisasi itu, pemerintah berkonsultasi, berkomunikasi, dan bermusyawarah mengenai berbagai hal terkait kehidupan keagamaan di Indonesia.
Menurut saya, alih-alih melindungi umat beragama, definisi agama (apalagi sampai menentukan organisasi tertentu sebagai wakilnya) malah justru mengokohkan diskriminasi dan kekerasan atas nama agama. Kita memerlukan definisi umat-nya atau warga negara-nya, bukan agama.
Agama Ini Boleh, Agama Itu Tak
Masih ingat insiden kekerasan di Tolikara pada 17 Juli tahun lalu? Definisi agama memicu eskalasi hingga kekerasan dalam insiden ini. Mari perhatikan kasusnya.
Bertepatan hari raya Idul Fitri tahun lalu, ratusan massa menggeruduk masjid dan minta agar ibadah dihentikan. Negosiasi dengan polisi buntu, massa kemudian melempari warga yang tengah beribadah, termasuk polisi yang berjaga. Insiden ini menewaskan seorang warga dan melukai 12 lainnya, selain menghanguskan masjid dan beberapa ruko.
Menurut Kapolri, saat itu Badrodin Haiti, insiden ini dipicu Surat Edaran Gereja Injili di Indonesia (GIDI). Mereka meminta agar umat Islam tidak mengadakan aktivitas yang mengerahkan massa dalam jumlah besar. Surat tersebut juga, papar Badrodin, menyinggung pelarangan rumah ibadah lain, termasuk gereja Advent, kecuali gereja GIDI.
Surat ini mengilustrasikan definisi agama versi GIDI. Bagi mereka, hanya GIDI agama di tanah Tolikara.
Tiga bulan berikutnya, insiden serupa terjadi di ujung Indonesia bagian barat, yakni Provinsi Aceh. Sekitar 500-700 orang mendatangi beberapa gereja di Kabupaten Singkil. Mereka menghancurkan dan menghanguskan setidaknya dua gereja. Insiden ini menewaskan seorang warga dan melukai empat orang lainnya.
Serupa GIDI, kasus ini bermula dari bagaimana mereka mendefinisikan agama di Tanah Rencong. Bagi mereka, agama di Aceh, termasuk Singkil, Islam. Tak peduli penduduk beragama Kristen bertambah, gereja tak bisa bangun lagi. Insiden ini sudah terjadi sejak tahun 1970-an.
Menyikapi dua insiden besar ini, penyusun RUU PUB mungkin akan mengatakan bahwa definisi mereka mengenai agama yang keliru. Mereka mendefinisikan secara eksklusif. Indonesia kan negara bhineka tunggal ika. Definisikan agama sebisa mungkin inklusif agar semakin banyak agama yang masuk di dalamnya.
Anggap saja pemerintah berhasil mendefinisikan agama yang bisa merangkul semua agama: langit, bumi, lokal atau agama asli Indonesia. Apakah dengan demikian masalah diskriminasi dan kekerasan atas nama agama dapat diatasi? Tidak sama sekali. Mari kita simak kisah berikut ini.
Setelah menunggu dan menabung sekian lama, dua warga Kabupaten Sukabumi akhirnya mendapat giliran berangkat ke tanah suci. Segala persiapan telah ia lakukan, termasuk manasik di salah satu agen perjalanan. Mereka juga mengadakan syukuran akhirnya panggilan Tuhan menyapa mereka.
Beberapa hari menjelang keberangkatan, tiba-tiba keduanya dipanggil kepala bidang haji Kementerian Agama. Sang kepala minta agar mereka berdua mengurungkan niatnya pergi ke tanah suci atau mereka sedia “taubat” atau keluar dari Ahmadiyah di hadapan massa. Kedua warga tersebut, ES (55) dan Ep (70), memilih bertahan di komunitas tersebut dan batal ke tanah suci.
Tak hanya diskriminasi, kelompok minoritas dalam agama besar yang didefinisikan pemerintah itu mengalami kekerasan. Kasus Cikeusik, Sampang, Manis Lor, dan banyak wilayah lainnya. Setelah agama berhasil didefinisikan, bagaimana pemerintah melindungi mereka sebagai umat beragama? Kasus-kasus tersebut tak lain karena mereka tidak masuk dalam definisi agama yang tersedia.
Definisikan Umat (Warga Negara), Bukan Agama
Berkaca pada kisah di atas, pertanyaan kita siapa yang seharusnya dilindungi: umat atau agama-agama yang dianut umat? Ketiga kisah di atas memperlihatkan bahwa umat (individu-individu) itulah yang membutuhkan perlindungan. Umat di Tolikara tidak bisa salat Idul Fitri, umat di Singkil tidak bisa ibadah mingguan, umat di Sukabumi tidak bisa berangkat ke tanah suci, dan umat-umat lainnya.
Dengan demikian, umat-lah yang menjadi pokok pembicaraan kita, bukan agamanya. Jika memaksakan diri mencari definisi agama, kita masuk perangkap salah garuk. Gatal di kepala, garuk di kaki. Meski sudah menggaruk, kepala tetap gatal. Meski sudah memperlebar definisi agama, kekerasan dan diskriminasi tetap terjadi.
Selain itu, mencari definisi agama juga mengandung keruwetan sendiri dalam konteks perlindungan. Setelah mendefinisikan, RUU ini mencari siapa yang mewakili agama-agama tersebut? Apakah Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), misalnya, mewakili seluruh umat Kristiani di Indonesia? Jawabannya, tidak. Apakah Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) mewakili seluruh penganut Hindu di Indonesia? Jawabannya juga tidak. Demikian juga dengan MUI, Walubi, dan organisasi keagamaan lainnya.
Jika pemerintah mengacu organisasi-organisasi itu untuk menjangkau umat beragama, bagaimana dengan kelompok yang tidak diakui organisasi-organisasi itu? Apakah pemerintah akan tetap melindungi mereka? Bagaimana melindungi mereka, jika pemerintah hanya berkomunikasi dengan organisasi yang tak mengakui mereka?
Tepat Sasaran
Karena “gatalnya” pada warga negara, maka RUU ini seharusnya mendefiniskan apa itu dan siapakah warga negara Indonesia sebagai landasan argumennya. Dan, siapa warga negara, UU Kependudukan sudah sangat gamblang menjelaskan rinciannya. Tidak ada lagi perdebatan tentang siapa warga negara.
Judul rancangan ini sudah sangat baik, perlindungan umat beragama. “Umat” yang hendak dilindungi. Sekali definisi umat (warga negara) sudah jelas, tata terbit berikutnya bisa dirumuskan: bagaimana mereka, umat, bisa beribadah dengan tenang, tanpa gangguan dari pihak mana pun, apa pun agama dan kepercayaannya.
Konstitusi kita mengatakan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Ayat ini sangat gamblang subjeknya tiap-tiap penduduk, apa pun agama dan kepercayaannya. Kata kunci dalam UU tersebut sangat jelas: “tiap-tiap penduduk” atau umat atau warga negara. Pemerintah wajib melindungi mereka agar mereka aman dan nyaman berhubungan dengan Tuhan tanpa gangguan pihak lain.
Warga negara adalah kata kunci dalam insiden seperti di Tanjung Balai atau insiden kekerasan bernuansa agama di tempat dan waktu lainnya. RUU ini layak kita dukung jika bertendensi untuk melindungi umat atau warga negara, apa pun agama dan keyakinannya, bukan agama tertentu. Karena, hanya Allah yang bisa melindungi agama, bukan pemerintah.