Senin, Oktober 14, 2024

Rumus Allah untuk Bahagia: Bersyukur dan Berbagi 

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.

LALU, apa itu jalan yang lurus? Pada Allah, kita mengiba, ”Ihdina ‘s-shirata ‘l-mustaqiim, mohon tunjukkanlah pada kami jalan yang lurus,” seperti yang termaktub pada Q.S. Al-Fatihah ayat 6. Kemudian, masing-masing dari kita ternyata suka memberi tafsir atas jalan yang lurus itu. Sebagian di antaranya ialah jalan yang lurus itu jalan yang benar. Tapi, benarkah lurus itu tentang benar? Atau, jalan yang lurus itu jalan yang baik? Atau sekadar jalan yang tidak bengkok, pun tidak belok? Jalan yang tak berliku?

Tentang jalan yang benar, betapa telah terlampau sering muncul golongan yang merasa benar, lebih benar, bahkan paling benar, dan suka menyesatkan golongan lain? Bahkan terhadap sesama umat satu agama, golongan satu dengan golongan yang lain ini saling olok, berselisih paham, dan mengkafirkan. Padahal, ketika merasa benar, kita baru saja berbuat salah. Lebih dari itu, jika agama memang kebenaran, mengapa umatnya tidak berhenti saling menyalahkan? Bagaimana supaya bisa mengoreksi salah tanpa menyalahkan?

Jika menggunakan rumus Q.S. An-Nahl: 125, tahulah kita bahwa Tuhan-lah yang lebih tahu siapa yang tersesat dan siapa yang mendapat petunjuk. Rumus dalam ayat ini juga mengajarkan, seruan untuk berjalan di jalan Tuhan harus menerapkan tiga metode utama, yaitu (1) bi ‘l-hikmah, dengan pesan moral, (2) wa ‘l-mau’idhati ‘l-hasanah, dan dengan pembelajaran yang baik, (3) wa jaadilhum billatii hiya ahsan, dan dengan bantahan yang baik. Jangan hanya suka menyalahkan, apalagi dengan kekerasan dan pemaksaan.

Mustasyar Pengurus Besar Nahdhatul Ulama, K.H. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah berpetuah, ”Kebenaran kita berkemungkinan salah. Kesalahan orang lain berkemungkinan benar. Hanya Kebenaran Allah yang benar-benar benar.” Syukurlah, Allah tidak pernah memerintahkan manusia untuk berlomba-lomba dalam kebenaran. Perintah Allah, ”Fastabiqu ‘l-khairat, berlomba-lombalah dalam kebaikan.” Sama-sama hanya bisa memegang kebenaran relatif, selayaknya kita tidak mengklaim kebenaran mutlak.

Tentang jalan yang baik, bolehlah kita tengok rumus Q.S. Al-Baqarah ayat 216. Disebutkan, ”Boleh jadi kau membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kau menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” Lagi-lagi, kemutlakan milik Allah semata. Jangankan terhadap orang lain, terhadap diri sendiri saja kita tidak benar-benar tahu mana yang baik dan buruk. Pun, perlu dipahami, kebaikan dan keburukan tak benar-benar terpisah.

Belajar dari simbol Yin-Yang, hitam dan putih tidak diperlakukan belah tengah di dalam lingkaran kehidupan itu. Walakin, belahnya adalah belah lengkung. Hitam mengalami putih, putih mengalami hitam. Hitam mengandung putih, meski hanya setitik. Putih mengandung hitam, meski setitik. Tidak ada hitam yang mutlak, pun tidak ada putih yang mutlak, di dalam lingkaran kehidupan. Lagipula, dua kutub yang saling berlawanan bukankah justru saling lengket? Jika demikian, lantas apa makna hakiki dari Shiraatha ‘l-Mustaqiim?

Selain menggunakan rumus manusia, terdapat pilihan menggunakan rumus pencipta manusia, yaitu Allah. Misalnya, agar kaya, rumus manusia menyebutkan, ”Menabunglah, timbunlah harta!”, ketika rumus Allah menyebutkan, ”Sedekahlah, berbagilah!” Untuk mencapai ketinggian derajat, rumus manusia menyebutkan, ”Naiklah, meninggi!” ketika rumus Allah menyebutkan, ”Turunlah, merendah!” Dan, Allah meninggikan derajat orang-orang yang merendahkan diri padaNya dan merendahkan hati pada sesamanya.

Atau, apakah jalan yang lurus ialah jalan yang tidak bengkok, tidak belok, tidak berliku? Allah memang memuliakan kita, bangsa manusia ini, di antara bangsa-bangsa makhluk lainnya dengan karunia akal. Namun, ketinggian akal selayaknya dipadukan dengan kedalaman hati. Jika pun jalan yang lurus dimaknai jalan yang tidak bengkok, kita perlu memerlakukan kebengkokan itu dengan lemah lembut. Seperti ketika Rasulullah SAW bersabda,”Wanita diciptakan dari tulang rusuk. Jika meluruskannya, kau mematahkannya.”

Lebih lanjut, dalam hadits yang Al-Hakim menjadi perawinya ini, Muhammad SAW kemudian menuturkan, ”Maka, berlemah-lembutlah terhadapnya supaya kau dapat hidup bersamanya.” Nah, jika dimaknai sebagai jalan yang tidak bengkok, tetap saja orang-orang yang telah berada di jalan yang lurus tak diperbolehkan untuk bertindak keras dan kasar pada siapa saja yang masih berada dalam kebengkokan. Kasih Sayang, Rahmaan Rahiim, yang merupakan ruh dari Q.S. Al-Fatihah tidak boleh terlepas dari tubuh pemaknaan.

Memaknai jalan yang lurus, saya memilih untuk menggunakan rumus Allah. Yaitu, ”Shiraatha ‘l-ladziina an’amta ‘alaihim, ghairi ‘l-maghdhuubi ‘alaihim, wala ‘d-dlaalliin.” Jalan yang lurus, sebagaimana redaksional Allah dalam Q.S. Al-Fatihah ayat 7, adalah jalan orang-orang yang Engkau beri kenikmatan pada mereka, bukan jalan orang yang dimurkai, bukan pula jalan orang-orang yang sesat. Nah, siapa itu orang-orang yang dimurkai dan yang sesat—dalam kaitannya dengan kenikmatan yang selalu Allah berikan?

Yang dimurkai Allah niscaya ialah yang kufur ni’mat, yaitu mereka yang tidak menerima dan mensyukuri nikmat dari Allah akan tetapi justru mendustai dan mengingkarinya. Padahal, nikmat dari Allah tiada terhitung. Sampai-sampai, Allah menegur hingga 31 kali dalam Q.S. Ar Rahman, ”Nikmat apa lagi yang kau dustakan?” Alangkah sering kita merasa keberhasilan didapat berkat jerih payah dan prestasi kita sendiri, tanpa campur tangan Allah? Tapi, alangkah sering kita pertanyakan peran Allah ketika gagal.

Yang tamak niscaya sesat. Boros dan mubazir. Dikarenakan sifat dan sikap itu, ia tidak menunaikan hak orang lain yang terkandung di dalam kenikmatan yang diberikan Allah padanya. Tidak berbagi; tidak sedekah, infak, dan zakat. Yang sesat niscaya yang menyalahgunakan kenikmatan dari Allah; bukan untuk membantu mereka yang kekurangan tapi justru untuk memamerkan kelebihan. Padahal, barangsiapa yang bersyukur dan berbagi, ia akan menerima kenikmatan sejati, yaitu kebahagiaan dunia akhirat (selesai).

Kolom terkait:

Persimpangan dan Penyimpangan di Jalan yang Lurus 

Menuju Jalan Lurus dengan Menyadari Siklus

Bahkan untuk MenyembahNya, Hamba Perlu Pertolongan Tuhan

Tuhan Tidak Menghendaki Olok-olok

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.