Dalam enam bulan terakhir, terutama sejak diangkat sebagai putera mahkota Kerajaan Saudi Arabia, Muhammad bin Salman (MBS) meluncurkan gebrakan politik, kebijakan luar negeri, ekonomi, dan sosial keagamaan. Tampaknya, apa yang dilakukan oleh MBS bukan sekadar gebrakan biasa, tapi sebuah perubahan revolusioner yang ditaksir bakal mengubah wajah negara monarki absolut yang dibangun oleh Ibn Saud ini pada tahun 1930-an.
Thomas L. Friedman (2017) menyamakan “gebrakan MBS” sebagai Arab Spring ala Saudi sebagaimana yang terjadi di Afrika Utara dan Timur Tengah. Uniknya, dibanding negara lainnya, Arab Spring ala Saudi ini berlangsung dari pusaran kekuasan elite dan dilakukan oleh pemegang kekuasaan, tepatnya MBS.
Tidak aneh, MBS lalu melakukan serangkaian reformasi kebijakan tanpa perlawanan. Ia meluncurkan proyek ambisius pembangunan kota satelit ekonomi seharga US$500 miliar di zona belikat Mesir, Saudi Arabia, dan Yordania. Selang kemudian, 200-an keluarga kerajaan dan para menteri ditangkap atas tuduhan korupsi. Tidak berhenti di situ, ia juga menegaskan perlunya membangun kedekatan dan hubungan baik dengan Israel di segala bidang, untuk bersama menghadapi ancaman Iran.
Putera mahkota milenial itu juga menuduh Wahabisme sebagai biang kerok kemunduran sosial dan keagamaan negara petro dolar tersebut. Dalam hal ini, MBS berjanji menggantikannya dengan Islam moderat yang lebih terbuka. MBS mencabut peraturan yang melarang perempuan menyetir kendaraan dan menarik polisi syariah dari wilayah publik. Sebuah isu dan kebijakan sensitif yang dampaknya global, termasuk di Indonesia.
Dampak Strategis
Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, tampaknya, akan terpapar dampak revolusi Arab Saudi ini. Setidak-tidaknya hal ini terkait erat dengan konfigurasi paham, pola dan gerakan Islam di Indonesia. Jika ditilik melalui teori pusat (central) dan pinggiran (pheripherial), Arab Saudi adalah kiblat bagi umat Islam–tidak hanya karena dua kota suci Mekkah dan Madinah berada, tetapi karena posisinya vital bagi perkembangan dan pertumbuhan Islam di Indonesia.
Dalam hal ini, sebagai negara pinggiran, apa yang terjadi di pusat sedikit banyak akan mempengaruhi Indonesia sebagai negara pinggir dalam konteks peradaban Islam. Isu dan debat keagamaan di Indonesia, setidaknya, sejak dua dekade belakagan, tidak bisa dilepaskan dari isu sosial keagamaan dan politik yang terjadi di Arab Saudi dan Timur Tengah: isu salafisme wahabisme, konflik Israel-Palestina, ketegangan ideologis dan politik antara Sunni dan Syiah, dan yang terbaru perang satelit (proxy war) di Yaman, Syiria, dan Lebanon.
Salafisme-Wahabisme masuk ke Indonesia, secara intensif, sejak awal tahun 1980-an. Meskipun secara historis hal ini bermula dari kedekatan hubungan pragmatis antara mantan elite politik Masyumi dengan Rabithah Alam Islami yang berkantor di Mekkah pada akhir tahun 1960-an atau awal Orde Baru.
Sejarahwan Remy Madinier (2015) meyakini hubungan informal tersebut terajut akibat terjadinya “raidisement ideologique”, pengerasan ideologis di kalangan elite Masyumi yang dilarang terjun ke politik. Sebagai gantinya mereka membangun Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), yang salah satu program unggulannya adalah mengirimkan para mahasiswa Muslim belajar ke Arab Saudi dan Timur Tengah. Tahun 1980-an adalah tahun-tahun di mana para alumni awal tersebut kembali ke Indonesia dan melakukan gerakan dakwah.
Kini, isu salafisme dan wahabisme yang dilekatkan dengan Saudi Arabia menjadi bola panas. Hal ini terkait dengan perkembangan kondisi sosial dan politik keagamaan di masyarakat. Salafisme dan Wahabisme dianggap menjadi sarang dan akar dari ekstrimisme dan radikalisme, apalagi terungkap bahwa Osamah bin laden dan teroris WTC sebagiannya berpaspor Saudi.
Arab Saudi dan Wahabisme lalu dicitrakan sebagai negara pengekspor radikalisme dan terorisme, meskipun anggapan ini tentunya tidaklah bersifat absolut. Bagi yang menganalisa secara ekonomi dan politik, radikalisme, ekstremisme dan terorisme tidak berkaitan dengan ideologi primordial apapun, tetapi akibat dari simptoma ekonomi dan persoalan politik yang membalut. Salafisme-Wahabisme dijadikan sebagai bungkus primordial untuk meletupkan gerakan ekonomi dan politik supaya gerakan sentripental dan sentrifugalnya lebih terasa.
Secara kontras, isu Salafisme-Wahabisme juga dikontraskan dengan isu Sunni-Syiah, dan juga kelompok minoritas Ahmadiyah serta kebangkitan komunisme dan sekularisme. Revolusi Iran 1979, perang Irak-Iran pada awal tahun 1980-an, Perang Teluk tahun 1990, dan perang di Yaman dan Syiria belakangan ini dibingkai dalam konflik laten dan manifes antara Sunni dan Syiah. Kasus Syiah di Sampang, Madura, penyebaran spanduk segregatif Sunni-Syiah di beberapa kota seperti Jogja dan Jakarta, tampaknya, merupakan implikasi dari apa yang terjadi secara politik dan geopolitik di Timur Tengah.
Oleh karena itu, rencana aliansi Arab Saudi dan Israel untuk menghadapi pengaruh dan dominiasi Iran di Timur Tengah, sedikit banyak dan diperkirakan, akan memicu-runcingkan perdebatan dan ketegangan Sunni dan Syiah di Indonesia. Lebih mengkhawatirkan lagi, jika sektarianisme ini dipelihara dan diledakkan menjadi konflik sektarian dan SARA jelang tahun-tahun politik. Tentu, meski jauh dari pusatnya, Indonesia dapat berubah menjadi “medan perang satelit” baru di Nusantara dan Asia Tenggara.
Tumpuan Terakhir
Bertumpu pada beberapa kejadian dan fakta belakangan ini, (pem) benturan ideologi dan keagamaan antara satu paham dengan paham lain, menguatnya segregasi ideologis dan sosial di kalangan umat Islam dan bangsa Indonesia, yang diperparah oleh situasi ekonomi dan politik dan isu ketidakadilan sosial, dapat menjadi benih-benih terbaik bagi rusaknya temali sosial dan keagamaan di Indonesia.
Untuk itu, kelompok Islam moderat yang semakin hari kehilangan pendukungnya sebagaimana terungkap dalam lembaga survei nasional belakangan ini, perlu tampil aktif kembali. Persyarikatan Muhammadiyah dan Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), di tengah meredupnya vitalitas keduanya dalam isu-isu keagamaan kontemporer, masih diyakini sebagai pilar utama dan terbaik moderatisme Islam di Indonesia. Kedua organisasi merupakan avant gardist, penjaga utama, Islam yang damai, ramah, dan berkemajuan.
Perubahan yang dihembuskan MBS dari Wahabisme ke moderatisme Islam adalah faktor penting bagi Muhammadiyah dan NU. Ini bisa ditafsirkan bahwa wasathiyatul Islam adalah ajaran dan karakter dasar Islam. Arab Saudi meralat paham ketat Wahabisme yang dianggap menjadikan warganya menjadi muslim tertutup, kaku, dan lekat dengan sematan peyoratif lainnya.
Karena itu, MBS secara tegas meminta dukungan internasional untuk mengubah negaranya menjadi negara Muslim yang maju, terbuka dan moderat. Perubahan bandul keagamaan ini, sejatinya, selaras dengan apa yang selama ini ditutur tinularkan Muhammadiyah dan NU, dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan kata lain, kedua ormas Islam yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari yang dulu sama-sama berguru di Mekkah selama bertahun-tahun, perlu membangun kerjasama dan kemitraan strategis dan taktis untuk memperkuat moderatisme Islam di Indonesia dan dunia Islam.
Sebaliknya, pengalaman Muhammadiyah dan NU selama ratusan tahun dapat menjadi best practices atau model bagi Saudi Arabia dalam mengembangkan Islam moderat di sana. Kerajaan Saudi perlu mendorong tumbuhnya organisasi Islam moderat yang tidak hanya berkutat pada persoalan teologi dan fikih yang ketat, tetapi pada kerja-kerja amal sholeh di berbagai bidang kehidupan seperti yang dilakukan Muhammadiyah dan NU serta ormas Islam moderat lainnya Persis, Al-Washliyah, dan Perti.
Kerja sama taktis dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan sosial keagamaan juga dapat dilakukan tidak hanya bersifat G to G, tetapi juga B to B dan people to people contacts. Sebagai aktor non negara, Muhammadiyah dan NU, selama ini, telah melakukan informal diplomasi pada persoalan dan isu-isu global di fora internasional. Secara konseptual, Islam Berkemajuan Muhammadiyah dan Islam Nusantara NU dapat dijadikan sebagai basis strategi dan taktis bagi pemantapan Islam moderat di tingkat lokal, nasional, regional, dan global.
Namun, ketika Muhammadiyah dan NU tidak piawai memanfaatkan isu moderatisme Islam, maka ideologi keagamaan Islam non moderat yang telah lama tertanam dan kini mendapatkan momentumnya untuk berkembang biak justeru akan melakukan adaptasi dan membangun karakter Indonesianya (homeground character).
Salafisme dan Wahabisme lalu akan tumbuh secara asimetrikal menggantikan negara asalnya Arab Saudi sebagi pusat baru bagi dunia Islam. Jika ini yang terjadi, generasi Muslim anak cucu kita nanti akan sulit mengenal Islam sebagai ajaran yang damai, berserah diri, lembut, terbuka, dan maju serta berperadaban adi luhung, dan mampu menyeimbangkan agama, modernitas, dan perubahan zaman. Wallahu a’lam bis shawab.
Kolom terkait:
Pangeran Muhammad bin Salman dan Kontraksi Kelahiran Arab Saudi Baru
Benarkah Muhammad bin Salman “Menista” Ulama Saudi?
Muluskah Skenario Suksesi di Arab Saudi?
Islam Moderat: Indonesia, Arab Saudi, dan Turki
5 Tahun Terusir: Syiah Sampang, Kesetiaan dan Absennya Negara