Jumat, April 19, 2024

Revolusi Pemikiran dan Gerakan IMM

Hasnan Bachtiar
Hasnan Bachtiar
Mahasiswa pascasarjana di the Centre for Arab and Islamic Studies (CAIS), The Australian National University (ANU) dan aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).

Selamat Milad yang ke 54 untuk Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)! Jayalah Islam, jayalah Indonesia! Ada tugas berat yang menanti kita semua sebagai aktivis IMM, terutama di tengah dunia global yang serba tidak menentu. Yakni, kita harus mendakwahkan Islam berkemajuan ke seluruh penjuru negeri, mengupayakan transformasi kemanusiaan dan turut serta membangun peradaban. Mengapa kita?

Karena kita adalah pelopor, pelangsung, dan penyempurna, serta penjaga kesempurnaan agar memperbarui dirinya secara dinamis dan berkelanjutan. Karena itu, “Ayolah, ayo, derap-derukan langkah dan kibar geleparkan panji-panji…” (Mars IMM). Karena kita sudah dinanti oleh umat, agar segera membuktikan hal-hal yang bersifat lebih nyata. Karena kita sudah berikrar, mengumandangkan janji setia untuk ber-jihad fi sabilillah, ber-fastabiq al-khairat dan ber-amar ma’ruf nahi munkar. Lantas mengapa Islam berkemajuan, mengapa transformasi kemanusiaan dan mengapa membangun peradaban?

Pertama, Islam sebagai nilai dan ajaran luhur yang diharapkan akan memajukan umat, sudahlah paripurna (selesai). Tetapi “sebagai inspirasi” dalam hidup yang menjunjung martabat kemanusiaan, “sebagai makna dan ungkapan” yang mempererat solidaritas, “sebagai bahasa sehari-hari” di tengah perbincangan yang saling membangkitkan motivasi, “sebagai pengejawantahan sosial, kebudayaan, politik, ekonomi dan seluruh hal ihwal kehidupan yang lebih konkret” yang memastikan kehidupan yang lebih baik, semua itu, belum terwujud. Dengan kata lain, Islam berkemajuan sebagai falsafah yang luar biasa, belum kita amalkan dan diamalkan oleh semua bangsa.

Kedua, transformasi kemanusiaan sudah terjadi, tetapi tidak selalu berjalan menuju ke situasi dan kondisi yang lebih baik. Manusia-manusia modern saat ini, bahkan sebagian kalangan menyebut manusia pasca-modern, hanyalah manusia-manusia berakal namun alpa budi, manusia-manusia yang pandai namun hampa nurani, manusia-manusia yang berambisi namun kehilangan cinta, welas asih dan sucinya hati. Indonesia sudah merdeka, menjalani orde-orde politik hingga terbit reformasi, namun juga tak kunjung mewujudkan kehidupan yang adil, makmur dan sentosa. Situasi di dunia global juga kurang lebih sama.

Di Amerika, di Eropa, di Afrika, di Timur Tengah, di negara-negara Asia lainnya, kemajuan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi, hanya melahirkan tren kompetisi yang mengagungkan keserakahan, arogansi dan kesewenang-wenangan. Jika dahulu kala kita harus berjuang melawan kolonialisme, saat ini, kita harus menghadapi neo-kolonialisme dan segala bentuk kejahatan yang serba baru, yang sudah bertransformasi.

Ketiga, pembangunan peradaban belum berlangsung, atau sekurang-kurangnya berjalan di tempat. Hampir semua orang akan bersepakat dengan sistem dan tatanan kehidupan yang lebih damai, adil, makmur, sejahtera, mengedepankan cinta, menjunjung asa dan rasa yang mulia, serta pada akhirnya, Ilahi Rabbi melimpahkan karunia rahmat dan ridha-Nya. Sistem dan tatanan yang demikian, disebut sebagai tatanan yang beradab. Lantas segala yang lahir dari sistem dan tatanan yang beradab ini, secara ideal disebut peradaban.

Sayangnya hal ini mengalami stagnasi. Jika para cendekiawan mengakui bahwa dahulu kala, peradaban Islam pernah ada, lalu digantikan oleh peradaban barat modern sejak abad ke 19, sekarang ini, apa yang disebut sebagai peradaban, bangsa yang beradab, hasil karya peradaban, agaknya susah ditemui. Sebaliknya, kebiadaban lebih mudah kita sorot.

Urgensi dari ketiga hal tersebut, bukan sekedar latihan intelektual semata-mata, atau bahkan merely theoretical exercises. Kita paham betul bahwa, di hadapan “Islam berkemajuan” ada banyak jenis pemikiran, falsafah dan ideologi Islam lainnya. Namun yang jelas berseberangan dengan prinsip berkemajuan adalah Islam yang merendahkan martabat kemanusiaan, mengedepankan amarah, kebencian, kekerasan dan teror.

Komitmen

Jika kita benar-benar berkomitmen dengan keunggulan Islam berkemajuan ini, lantas apa sumbangsih terbesar kita dalam menghadapi secara bijaksana masalah “interpretasi ekstrem” mengenai Islam? Dan juga, apa peran kita berhadapan dengan gerakan-gerakan seperti Taliban, al-Qaeda, Jamaah Islamiyyah dan ISIS?

Situasi lain yang saling berkaitan erat dengan masalah ini, yakni krisis kemanusiaan yang dihadapi oleh kaum Muslim di seluruh belahan dunia, terutama di pelbagai tempat yang rawan konflik, seperti di Timur Tengah. Kita tahu bahwa masalah ini sangatlah kompleks. Peran kekuasaan yang otoriter, menindas dan sadis, telah memporakporandakan mereka dari dalam.

Rasa bangga terhadap kekuasaan dan ketamakan dalam menumpuk harta kekayaan, juga membuat negara-negara “Muslim” saling bertikai satu sama lain. Sementara itu dari luar, negara-negara adikuasa dengan seenaknya mengadu-domba, memfitnah, menekan, menduduki, menjarah sumber daya alam (terutama minyak dan gas) dan menjajah tanpa rasa belas kasihan. Iraq, Suriah, Yaman, Palestina dan seterusnya, benar-benar menjadi dadu di dalam kaleng perjudian Amerika, negara-negara Eropa dan korporasi-korporasi neoliberal yang bejat dan beringas.

Di Indonesia sendiri tidak jauh berbeda. Penguasa yang sebenarnya adalah korporasi-korporasi multinasional neoliberal, terutama yang bertengger di negara-negara adikuasa. Mayoritas sumber daya alam kita, terutama barang tambang, bukan negara yang menguasai, tetapi mereka. Dengan kekuasaan kapital yang adiluhung, mereka mengendalikan ekonomi, politik, militer, urusan sosial dan kebudayaan, dan seluruh sendi kehidupan berbangsa. Di tengah keprihatinan ini, korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela.

Di samping itu, instrumen-instrumen perubahan yang dianggap penting, seperti institusi sosial, politik dan kenegaraan, lebih suka mementingkan diri mereka sendiri dan kelompok mereka, ketimbang kepentingan umum atau kepentingan seluruh rakyat. Persoalan lainnya adalah masyarakat semakin cepat terpancing untuk membenci, mencaci-maki, dan menyakiti, hanya karena persoalan keberbedaan kultural. Yang paling fundamental, kemiskinan dan kebodohan massal menjamur luar biasa.

Bagaimana dengan organisasi-organisasi Islam? Tentu kita bersama-sama membangun negeri ini. Masalahnya adalah mereka juga menikmati kontestasi politik, yang terkadang begitu kotor dan amoral. Bahkan banyak dari mereka yang mengatakan bahwa, medan laga perpolitikan Indonesia yang berlumur dosa, adalah hal yang biasa saja. Dalam kondisi yang demikian, fragmentasi sosial dan konflik, tidak dapat dihindari.

Lebih dari itu, persoalan umat, jelas terabaikan begitu saja. Kerja dakwah dan pemberdayaan umat, yang sebenarnya diharapkan akan mampu mendorong transformasi dan perubahan sosial, malah menjadi alat propaganda yang picik dan licik, legitimasi kepentingan yang remeh-temeh, dan bahkan menjadi instrumen segala perilaku yang dehumanistik.

Kondisi yang lebih khusus, yang harus kita hadapi dalam waktu dekat ini adalah Pemilihan Umum Presiden 2019. Dalam rangka menyambut “gawe besar” ini, partai politik berlomba-lomba memenangkan pilihannya, organisasi-organisasi Islam turut merayakannya, umat juga berpesta-pora.

Akan tetapi, fitnah-fitnah telah menjadi berita, yang dikonsumsi oleh jutaan jiwa dan menganggapnya benar adanya. Lalu perilaku saling menikam saudara sendiri, menegasikan, mengusir, mengumbar aib dan bahkan kampanye hitam yang penuh dusta, telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Di pelbagai media sosial, seperti Facebook, Twitter, Whatsapp, Instagram dan seterusnya, tidak lagi menjadi alat demokratisasi yang sehat, tetapi justru menjadi penyebar virus kejahatan yang bengis.

Oleh karena semua hal yang berat ini, kita harus memberanikan diri bertanya, di mana sesungguhnya posisi kita, apa yang memungkinkan kita lakukan untuk memberikan kontribusi yang paling bermanfaat, apa rancangan, strategi dan peran yang paling signifikan yang mampu kita upayakan?

KH Ahmad Dahlan telah berkontribusi dalam mendirikan Muhammadiyah yang mampu bertahan seabad lebih di negeri ini. Sementara itu Muhammadiyah, “dianggap” telah menyumbangkan banyak hal untuk bangsa ini, terutama dalam pembangunan sumber daya manusia, melalui pendidikan, kesehatan dan filantropi.

Akan tetapi kita harus berpikir “melampaui” atas segala yang sudah diupayakan. Apa yang bisa kita lakukan dalam membangun peradaban global? Apa sumbangsih kita untuk umat Islam di seluruh belahan dunia? Apa peran kita dalam mendorong perdamaian bangsa-bangsa, Timur Tengah dan secara lebih khusus, kemerdekaan Palestina? Apa yang bisa kita lakukan untuk membuat Indonesia semakin Jaya?

Sebagai ikhtitam dari perayaan Milad IMM ini, kita harus merenungkan kembali ajaran-ajaran luhur KH Ahmad Dahlan, Surat al-Ma’un dan transformasinya dalam wujud Persyarikatan Muhammadiyah.

Di tengah situasi global yang berlipat-lipat jauh lebih kompleks saat ini, kita harus bisa mengupayakan sesuatu yang lebih baik, lebih kuat, lebih signifikan, lebih berpengaruh dan lebih revolusioner dari apa yang sudah dilakukan oleh Muhammadiyah. Mudah-mudahan IMM semakin hebat!

Kolom terkait:

Menjadi Muhammadiyah Milenial

Tentang Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah Jilid II

Muhammadiyah Di Antara PAN, Perindo, dan PSI

Hasnan Bachtiar
Hasnan Bachtiar
Mahasiswa pascasarjana di the Centre for Arab and Islamic Studies (CAIS), The Australian National University (ANU) dan aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.