Selasa, April 23, 2024

Ramadhan dan Masa Depan Islam di China

Ali Romdhoni
Ali Romdhoni
Pengajar FAI Universitas Wahid Hasyim, Semarang. Saat ini sedang studi doktoral di Heilongjiang University, China. Pengurus Cabang Istimewa NU Tiongkok.

Komunitas Muslim di Masjid Xiangfang, Harbin, China 30 Mei 2017. [Dok. Penulis]
Pada minggu pertama Ramadhan 1438 H, saya sengaja memilih mengajak keluarga untuk berbuka puasa di luar rumah. Kami ingin menikmati kebahagiaan menjelang waktu maghrib tiba dengan berkumpul bersama saudara muslim di masjid-masjid terdekat di Kota Harbin, China. Terlebih lagi, kami ingin melupakan kesadaran sebagai kaum minoritas dengan cara bertemu dan bersama-sama berbuka puasa di masjid.

 

Di masjid, kami tidak merasa sebagai kelompok minoritas, apalagi merasa sendirian di negeri orang. Berbaur dengan warga setempat dan beberapa mahasiswa Muslim dari negara lain seperti Mesir dan Sudan, suasana berbuka puasa bersama terasa lebih bergairah, penuh suka-cita. Isteri saya sampai berbisik lirih, “… kalau suasananya seperti ini terasa hangat, ya Yah. Tidak merasa sendirian.”

Dalam artikel ini saya ingin menceritakan Islam di Harbin, China, khususnya seputar kegiatan selama Ramadhan. Saya juga membahas keseriusan organisasi Islam di Harbin dalam mengirimkan kader mudanya untuk mempelajari Islam di jantung kota Islam, Madinah Munawarah.

Sore itu, saya tiba di Masjid Xiangfang sekitar pukul 18.30 waktu setempat. Saya disapa oleh beberapa jamaah. Mereka terlihat menyiapkan hal-ihwal yang dibutuhkan untuk acara ifthar (makan-minum sekadar untuk menyudahi puasa), salat maghrib dan dilanjutkan dengan makan bersama.

Saya menandai, mayoritas peserta buka puasa bersama di masjid ini adalah jamaah (laki-laki dan perempuan) paruh baya, meski juga ada satu dua remaja dan anak-anak usia sekolah. Dalam obrolan ringan saya bersama Yang Wei (50), warga Muslim di Masjid Xiangfang, saya menangkap kesan bahwa jamaah di masjid ini senang apabila ada saudara Muslim dari tempat lain yang datang.

Seperti yang saya rasakan, beberapa dari mereka menanyakan asal-usul saya. Ketika saya menyebut kewarganegaraan, sebagian besar dari mereka biasanya mengenal nama Indonesia sebagai negara dengan jumlah umat Islam yang banyak. Mereka pun kemudian mengagumi Islam di Indonesia.

Tiga puluh menit sebelum waktu maghrib, para jamaah sudah memenuhi ruangan di bagian depan area masjid. Mereka bersama-sama membaca doa. Saya pun ikut larut, khusu’ dalam berdoa. Mereka berkali-kali melantunkan doa Allahumma irhamna bi al-Qur’an…, kemudian dilanjutkan membaca tasbih, tahmid, dan takbir. Sementara di meja yang memanjang sudah dihidangkan makanan dan minuman untuk ifthar.

Corak Islam di Harbin
Saya merasa kagum bercampur kaget mendengar cerita Ustad Bolin Ahong (39), sang Imam muda Masjid Xiangfang. Kepada saya dia bercerita telah belajar agama Islam (Islamic studies) di Kota Madinah, Saudi Arabia. Dia adalah lulusan Fakultas Syar’iah, Islamic University of Madinah, Saudi Arabia.

Secara khusus Ahong dikirim oleh majelis agama Islam di Harbin untuk mendalami muqaranat al-Madzahib (perbandingan mazhab) di Kota Nabi, Madinah Al-Munawarah. Tidak sebentar, salah satu tokoh agama harapan umat Islam di China ini menghabiskan waktu selama kurang lebih enam tahun (2001-2007) untuk belajar keislaman dan melihat langsung jejak kelahiran Sang Nabi. Maka, wajar ketika dia juga fasih berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Arab.

Muslim di China menjelang buka puasa. [Dok. penulis]
Setelah kembali dari Madinah, kepada umat Islam di Xiangfang Ahong ingin mengenalkan ajaran Islam yang mempersatukan. Islam yang bersedia menjalin persaudaraan dengan siapa pun. “Saya tidak tertarik menonjolkan perbedaan faham (firqah), tetapi lebih fokus kepada mengenalkan syariat Islam,” katanya.

 

Terkait dengan ritual ibadah sunnah di bulan Ramadhan, jamaah di masjid ini melaksanakan salat tarawih sebanyak dua puluh rakaat, kemudian dilanjutkan dengan salat witir tiga rakaat. Sampai di sini, Ahong kemudian berkata kepada saya, pernah melihat di televisi atau media sosial bahwa di Indonesia ada model tarawih yang sangat cepat.

Mendengar hal ini, saya hanya tersenyum. Dia pun mengejar dengan pertanyaan, “…mengapa bisa demikian? Itu kan tidak baik.”

Cerita di atas tentu menarik ketika dihubungkan dengan anggapan sebagian masyarakat Indonesia yang aktif mengikuti pemberitaan di media sosial. Saya melihat, oleh sebagian dari saudara kita, akhir-akhir ini China diberitakan sebagai bangsa yang tidak mengenal Islam dan cenderung ingin memusuhi Indonesia. Dalam pandangan mereka, ketika mendengar kata China yang tersisa hanya kesan negatif.

Menurut saya, memberikan label buruk kepada pihak lain untuk komoditas politik maupun karena benci yang tidak beralasan akan sangat merugikan, baik bagi pelaku maupun bagi objek yang dikorbankan. Kita tidak bisa menafikan fakta bahwa di China, misalnya, juga ada saudara kita, kaum Muslim yang hidup sebagai minoritas.

Tidak hanya itu, dari China kita bisa belajar bagaimana menjadi bangsa yang memiliki etos kerja yang tinggi; negara yang serius ingin menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Nilai-nilai yang demikian juga sangat penting bagi bangsa Indonesia, sebagai negara yang ingin menjadi lebih baik lagi.

Dalam konteks ini, sangat penting untuk membiasakan berlaku selektif terhadap berita. Jangan sampai setiap berita kita terima sebagai kebenaran. Juga jangan buru-buru berkomentar, apalagi menyebarkan berita, dengan disertai komentar yang menyesatkan. Boleh berkomentar, tetapi hanya kepada pembahasan yang kita mengerti dengan baik.
Bagaimana kita berani menilai, kemudian menjustifkasi kejadian yang tidak kita ketahui. Justifikasi ini kemudian dibaca dan diikuti oleh penerima kabar kedua, dan seterusnya.

Inilah yang terjadi dalam dunia informasi kita. Akibatnya, masyarakat kita tiba-tiba telah terlibat jauh dalam pembahasan tema yang sebenarnya mereka tidak mengerti.
Kembali lagi kepada perkembangan Islam di China, saya melihat ada upaya serius yang dilakukan organisasi Islam di Harbin dalam mempersiapkan kaderisasi ulama. Saya lihat umat Islam di Harbin sangat faham bahwa ke depan dunia Islam modern membutuhkan figur ulama yang berfikiran moderat dan inklusif.

Perlu upaya serius dan dukungan umat Islam secara umum agar Islam yang berkembang di China bisa berkontribusi dalam perdamaian dunia, di tengah maraknya gempuran kelompok teroris untuk menghitamkan warna Islam dunia.

Ali Romdhoni
Ali Romdhoni
Pengajar FAI Universitas Wahid Hasyim, Semarang. Saat ini sedang studi doktoral di Heilongjiang University, China. Pengurus Cabang Istimewa NU Tiongkok.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.