Jumat, April 26, 2024

Pertanyaan Abadi Manusia: Siapakah Aku? (1)

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.

LAKI-LAKI itu entah siapa. Telanjur kami tak saling berkenalan. Kusalami siapa saja yang duduk melingkar di bangku, pun laki-laki itu. Ia ternyata bukan siapa-siapa, setidaknya itulah yang diucapkannya berulangkali. Ia cepat akrab dengan siapa pun, dan oleh karena itu bisa turut menjemput aku di bandara. Lalu, laki-laki tanpa nama itu bisa berbaur dengan kami. Dan di akhir kegiatan, laki-laki yang bukan panitia itulah yang mengantar aku kembali ke hotel. Ketika tak lagi banyak orang, ia menanyakan suatu kegelisahan pelik: siapakah aku?

Kami kembali duduk di pojok depan hotel, memang, seperti sebelum kami berangkat ke majelis Minggu Wagen Prie GS tadi. Dini hari itu, laki-laki ini menyodorkan padaku koleksi foto di ponsel: foto-foto hasil pekerjaannya. “Saya seorang juru supit. Mengurusi kenikmatan orang lain, saya keliling Indonesia,” jelasnya. Spesialisasi juru supit yang satu ini menyunat pria-pria dewasa yang telat khitan, mualaf, akil balikh dengan kondisi tertentu, dan memberi pelatihan tenaga profesional. Dan, perjalanan hidup ini mengajari ia agar ramah dan cepat beradaptasi.

Tapi, aku tak tergiur menjawab. Aku kembalikan pertanyaan kepada yang menanyakan. “Siapa kamu? Sudah berapa lama jadi manusia?” Ia kaget dengan lontaran balik itu. “Umurku, maksudnya?” tukas laki-laki itu. “Ya!” Lantas ia menyebut angka 33. “Lima tahun saja di dunia kerja menjadikan seseorang layak disebut mumpuni, apalagi 33 tahun. Nah, kamu sudah sekian tahun jadi manusia, jadi diri sendiri, namun masih saja bertanya ‘siapa aku?’. Terus, selama ini kamu ngapain saja?” Tanpa tahu diri, tak akan tahu pula apa peran kita di sini.

Tapi, laki-laki lain, seorang kiai muda, bisa jadi tahu siapa dirinya dan apa perannya di dunia. Gus Lukman nama beliau. Di penghujung acara, Mas Prie memintanya memimpin doa penutup. Tapi, gus berambut panjang terurai ini tidak berkenan beranjak ke podium. Ia tidak suka menjadi pusat perhatian, konon. Namun, karena aku dan Mas Prie turun dari panggung demi Gus Lukman, maka seluruh pandangan di ruangan itu justru tertuju padanya. Beliau menjadi pusat perhatian tanpa merasa perlu menjadi pusat perhatian. Paling tidak, itu pelajaran yang kupetik.

Izinkan aku meloncat sedikit. Dalam kolom komentar di media sosial, aku membaca seseorang menulis: guruku berdakwah ke desa-desa tanpa perlu publikasi. Sayangnya, batinku, si murid justru menodai tekad sang guru untuk tidak mengumbar misi tanpa publikasi itu. Atau, setidaknya, ia tak tahu harus bagaimana. Tak sadar peran. Dan, hal itu menjadikannya tidak tahu apa saja kegiatan yang perlu publikasi dan apa yang tidak. Dalam kasus ini, aku belajar betapa murid tak selalu cerminan guru. Dan sulit bagi guru menyembunyikan kebaikan budi pekertinya dari murid.

Pun sore yang lain ketika aku berdiri di depan ratusan santri Pondok Pesantren Sunan Drajat, Lamongan. Dalam “Kelas Menulis Kreatif” itu, aku minta mereka menulis ringkas tentang Prof Dr KH Abdul Ghofur, pengasuh di pondok pesantren yang kaya raya itu; bahkan ada pesawat parkir di depan masjid pondok! Dipimpin Abah Kiai Ghofur, pesantren ini berkembang amat pesat. Memiliki berbagai usaha, dari bakso sampai air mineral, dari ternak ikan lele sampai bikin kapal laut, dari majalah sampai radio dan televisi lokal, dari garam dapur sampai biodesel.

Malam sebelum istirahat, kubaca satu demi satu tulisan para santri. Seluruh tulisan menunjukkan betapa mereka sangat menyayangi Abah Kiai dan tak ada yang tak mencercap kebaikannya. Bahkan, yang sudah bertahun-tahun mondok di sana tapi belum sekali pun bertatap muka langsung dengan Abah Kiai, tetap merasakan pancaran kasih. Itulah pula yang kulihat sendiri ketika duduk di antara dua belas ribu santri yang mendaras kitab kuning di bawah asuhan langsung Abah Kiai. Sampai di sini, aku kian tahu bagaimana rasanya mengenal diri dan peran kita di dunia.

Sewaktu mengajar meditasi di majelis Jum’at Legi di kawasan makam Mbah Mayang Madu, di dekat pondok, juga pada waktu-waktu lain dalam kegiatan serupa, aku memang sering ditanya tentang bagaimana belajar mengenal diri sendiri. Juga oleh seorang laki-laki yang bersila di sisi kiriku. Ia bertanya, ”Roh saya seperti lepas dari tubuh. Apa yang terjadi?” Seorang lainnya, yang duduk di baris tengah, masih gemetar badannya usai meditasi. Bagi mereka, ini pengalaman pertama meditasi. Dan aku membikin akronim meditasi, yaitu mengenal diri kita sendiri. Klop!

Dengan meditasi, siapa pun bisa belajar untuk merasakan kehadiran diri sendiri. Tanpa disadari, kita sering kehilangan diri dalam keramaian. Ingin jadi seperti orang lain, meniru orang lain, bahkan memplagiasi orang lain. Dengan nafas yang diatur sedemikian rupa dan mata yang ditutup kelopaknya untuk melihat diri sendiri, kita dapat mengenal badan manusia yang terdiri atas dua: jasmani dan rohani. Kita juga dapat menyadari betapa sebanyak-banyak bagian tubuh yang tampak, masih lebih banyak yang tidak tampak. Kita cenderung makhluk nirkasat, tapi kita lalu mengingkarinya.

Banyak pendekatan yang dapat kita gunakan untuk mengenal diri sendiri. Juga dengan menulis. Dalam kelas menulis di Malang, suatu siang, aku mengatakan, sesungguhnya setiap penulis menulis tentang diri sendiri. Penulis menulis penglihatannya atas sesuatu hal. Pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba penulis juga tak luput dari menginderai obyek yang ditulisnya. Kejujuran menjadi mutlak bagi setiap manusia, dan itu harus dimulai dari diri sendiri. Kita toh bisa berdusta pada orang lain, tapi tidak bisa tidak jujur pada diri sendiri, kan?

Kepada laki-laki tanpa nama, yang ternyata juru supit itu, aku katakan, sesungguhnya tidak ada orang yang tidak mengenal dirinya sendiri. Justru karena kenal, maka kita gelisah dan merasa bahwa dunia bukanlah rumah kita sesungguhnya. “Aku bukan dari sini, dan takkan selamanya di sini,” kataku. Setiap kali ada pertanyaan tentang dari mana asalku, kujawab, ”Palsunya, sih, dari Solo, aslinya dari Allah.” Sebagai asal muasal segala sesuatu yang padaNya pula kembali segala sesuatu, Allah ialah rujukan utama untuk kita mengenal diri. (bersambung)

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.